Sabtu, 29 Maret 2025

NEGERI PARA PANGLIMA TALAM

Di sebuah negeri yang mulai maju peradabannya, berada diantara lembah kabut pekat dan memiliki lahan pertanian yang subur, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Dipamanggala, yang berarti kerajaan memiliki pemimpin yang bercahaya atau bijaksana. Kerajaan Dipamanggala dipimpin oleh seorang raja bernama, Baginda Maharaksa, dimana Ia adalah raja yang bijaksana, tetapi usianya sudah semakin tua, sehingga ia sangat bergantung kepada para panglimanya untuk mengatur jalannya roda pemerintahan di kerajaan.


Negeri ini kaya raya, istana kerajaan yang megah bertahtakan emas dan permata. Namun, di balik kemewahannya itu, negeri ini banyak menyimpan rahasia kelam akhir-akhir ini. Dimana, para panglima kerajaan yang tampak gagah di depan rakyat, mengenakan baju perang berlapis baja terbaik, berbicara lantang kepada prajurit tentang kehormatan dan kesetiaan kepada kerajaan.

Ternyata, para panglimanya bukanlah seorang pejuang sejati, melainkan ahli dalam seni bermuka dua. Mereka saling menusuk dari belakang, mempermainkan janji kepada rakyat, menjual kepercayaan rakyat demi kepentingan pribadi dan melakukan monopoli perdagangan serta banyak melakukan perampasan tanah petani, mengakibatkan banyak petani yang menjadi buruh tani yang mendapatkan bayaran rendah atau bahkan mengemis di jalanan.

***

Suatu hari, hadir seorang pemuda bernama Zarsa, yang pulang ke tanah kelahirannya, setelah bertahun-tahun lamanya merantau di negeri orang. Ia adalah anak seorang rakyat biasa, hatinya terbakar amarah melihat keadaan negerinya saat ini. Zarsa melihat, banyak rakyat sengaja dibuat kelaparan, rakyat terpaksa membeli makanan dengan harga tinggi atau malah dibiarkan mati kelaparan. Ia juga melihat para petani ditindas dengan pajak yang tinggi dan yang tidak bisa membayar pajak, lalu menyerahkan tanahnya kepada para bangsawan atau saudagar kaya yang menjadi sekutu Panglima Talam, sedang para bangsawan dan saudagar kaya raya terbebas dari kewajiban membayar pajak.

Zarsa berkesimpulan setelah sebelumnya berhadapan masalah hukum perampasan tanah para petani di negerinya dengan para saudagar kaya yang menjadi sekutu para Panglima Talam, ternyata hukum yang dialaminya hanya berpihak kepada mereka, para saudagar kaya. Mereka cukup membayar para Panglima Talam untuk menghilangkan kasusnya. Sedang Zarsa mengalami penderitaan yang berat. Keadilan yang sudah tergadaikan, kondisi yang sedang dialaminya.

“Keadaan ini tidak mungkin dibiarkan terus menerus terulang kembali. Banyak rakyat yang sudah terabaikan hak-haknya untuk melakukan pembelaan atas kesalahan yang bukan dilakukannya, termasuk diriku.” Ucap Zarsa lirih, saat raganya telah dijebloskan ke dalam penjara, oleh pengadilan kerajaan, tapi tidak dengan jiwanya.

Setelah terbebas menjalani hukuman penjara kerajaan, kembali Zarsa mendapatkan cerita dari desas-desus informasi yang beredar di kalangan rakyat yang tertindas selama ia di dalam penjara, bahwa para panglima kerajaan tidak pernah bersungguh-sungguh berperang melawan para perompak, yang telah terjadi beberapa tahun lalu dan berhasil menyerang negerinya. Mereka hanya berpura-pura bertempur, setelah adanya kesepakatan jahat antara mereka dengan perompak, sementara para prajurit bawah dan rakyat yang berjuang mati-matian melawan para perompak, tidak pernah diperhatikan keberadaannya. Singkatnya, setelah kemenangan diraih dengan kesepakatan jahat antara perompak dengan para Panglima Talam, lalu mereka mengklaim, telah berjasa dan berhak mendapatkan hadiah yang besar dari raja.

***

Dengan hati penuh amarah, Zarsa mulai menyusun rencana. Ia mulai mengumpulkan para warga yang jujur, berintegritas dan memiliki akses dengan kerajaan. Mereka bersama-sama mulai membongkar kebusukan para Panglima Talam. Dengan kecerdikannya, ia mulai menyebarkan surat-surat rahasia ke seluruh negeri, berisi bukti penghianatan para panglima kerajaan.

Baginda Maharaksa, sangat terpukul dengan keadaan negeri yang dipimpinnya. Ia murka dengan kejadian yang telah mencoreng kerajaannya. Raja mengumpulkan para panglima di balairung istana. Setelah kebenaran akhirnya terbongkar.

“Kalian telah membuatku malu. Mencoreng kehormatan negeri ini dengan kepalsuan dan penghianatan.” Ucap Baginda Maharaksa dengan nada penuh amarah.

Namun, para panglima tetap tersenyum. Mereka tahu, selama mereka masih memiliki kekayaan dan pengaruh, mereka akan selalu bisa lolos dari hukuman. Mereka menunduk penuh hormat kepada raja, berkata dengan penuh kepalsuan.

“Ampun beribu-ribu ampun, Baginda. Semua pemberitaan tentang kami di luar sana tidaklah benar adanya. Semua yang kami lakukan adalah yang terbaik untuk negeri ini.” Ucap penuh santun salah seorang Panglima Senior kepada Baginda Raja Maharaksa.

Baginda Maharaksa terdiam. Ia sadar, negeri ini sudah terlalu lama dikuasai oleh para Panglima Talam, yang tidak pernah benar-benar berjuang untuk rakyat, hanya berpura-pura demi kepentingan dan ambisi pribadi mereka.

Dan di sudut istana, sosok Zarsa terdiam. Ia menggenggam sebuah pedang, ia yakin untuk menyelamatkan negeri yang sangat dicintainya, kata-kata tidak dapat memberikan efek yang dahsyat untuk merubah negeri ini dari penghianatan yang bergejolak.

***

Baginda Maharaksa belum memutuskan siapa yang bersalah atas kejadian ini, para panglima pun dipersilahkan untuk keluar dari balairung istana. Meraka tersenyum puas. Mereka tahu, raja sudah semakin tua dan tidak akan berani mengambil tindakan tegas. Dengan pengaruh yang mereka miliki, para panglima kerajaan merasa yakin dan mampu meredam kemarahan rakyat. Seperti yang sudah mereka lakukan berkali-kali sebelumnya.

Ternyata, dugaan mereka kali ini salah.

Zarsa dan orang-orang terpilihnya mampu bergerak cepat. Di masing-masing sudut kota, di pasar-pasar atau pusat keramaian, dan di masing-masing rumah penduduk, mereka menyebarkan cerita tentang penghianatan para panglima kerajaan. Mereka membacakan surat-surat rahasia, dimana isi surat rahasia itu tentang pembuktian para panglima kerajaan yang telah menjual senjata kerajaan ke pihak musuh, pajak rakyat digelapkan dan yang lebih fatal lagi adalah secara diam-diam membuat perjanjian jahat dengan para perompak yang dulu menyerang negeri. Serta menciptakan musuh palsu, untuk membuat kekacauan di pasar dan desa-desa, lalu tampil sebagai “penyelamat”, dengan cara seperti ini, rakyat tetap percaya bahwa mereka dibutuhkan sebagai pelindung negeri. 

***

Rakyat telah bergejolak. Dari desa terpencil hingga ke ibu kota kerajaan. Suara kemarahan rakyat telah menggema, mereka yang dulu tertindas, petani, pedagang dan prajurit rendahan, kini telah mantap bersatu. Mereka tahu, jika negeri ini ingin berubah, maka para Panglima Talam di kerajaan, harus disingkirkan.

Sosok Zarsa yang memiliki akses bisa bertemu langsung dengan Raja Maharaksa, lalu datang menghadap. 

“Baginda Raja Maharaksa, rakyat sudah siap untuk bangkit dan melawan. Kami tidak ingin membiarkan negeri ini, untuk terus diperbudak oleh penghianatan. Tapi kami membutuhkan restu Baginda” Ucap Zarsa dengan nada lantang kepada Raja.

Sang Raja menatap pemuda itu lama. Ia melihat keberanian dan ketulusan yang telah lama hilang dari istananya.

“Apa yang akan kamu lakukan, wahai pemuda.” Balas Baginda Raja kepada Zarsa.

Zarsa hanya tersenyum tipis. “Izinkan kami bersama rakyat menyingkirkan mereka. Malam ini juga.”

Raja Maharaksa gelisah dan resah. Ia duduk sendirian di takhta singgasana emasnya. Mulai merenungi, bagaimana ia membiarkan para panglima kerajaan mengendalikan negeri ini. Ia mengerti, bahwa jika ia tidak bertindak sekarang, maka khawatir takhta dan negerinya akan jatuh dikuasai para Panglima Talam.

***

Para panglima talam telah banyak menjalankan berbagai intrik kejahatan politik untuk mempertahankan kekuasaan yang mereka miliki, seperti penghianatan di medan perang, melakukan penjualan senjata dan informasi kepada musuh, memanipulasi pajak yang memberatkan rakyat kecil, mengarang laporan palsu tentang keadaan negeri kepada raja, menciptakan kegaduhan agar mereka tetap berkuasa dan mengendalikan peradilan dan hukum di negeri itu untuk mereka yang punya harta dan koneksi.

Di puncak bukit yang berbatasan langsung dengan ibu kota kerajaan, Zarsa menatap negerinya yang mulai kembali mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Ia tidak pernah ingin menjadi panglima, tetapi ia tahu, perjuangan tidak pernah benar-benar selesai.

Karena keadilan bukan sesuatu yang datang sekali, lalu bertahan untuk waktu yang lama, tetapi keadilan adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Di negeri para Panglima Talam, yang dulu berkuasa dengan kepalsuan, sekarang rakyat berhak untuk memperjuangkan dan menentukan masa depan mereka sendiri.

***

Saat malam tiba, dimana para Panglima Talam sedang berpesta di istana mereka, pasukan rakyat yang dipimpin Zarsa yang jumlahnya ratusan ribu, mulai menyerbu dan mengepung mereka semua yang berada di dalam istana. Dengan senjata seadanya, malam yang hening, seketika menjadi riuh. Rakyat beramai-ramai meneriakkan nama keadilan, para panglima mulai panik. Mereka berteriak memerintahkan para prajurit bersiaga, untuk bersiap menghadapi situasi yang mulai tidak terkendali.

Mereka memerintahkan prajurit kerajaan untuk menyerang rakyat yang datang menyerbu ke dalam istana. Dan sebahagian diperintahkan untuk bersiaga melindungi para panglima, ternyata perintah para Panglima Talam tidak dipatuhi, prajurit sudah berpihak kepada rakyat, bahkan seketika tidak melakukan perlawanan sama sekali kepada rakyat yang telah bersiaga mengepung kerajaan dari segala penjuru. Para prajurit bahkan menyerahkan senjata mereka kepada rakyat, tanda menyerah.

Para Panglima Talam sudah memperkirakan hasil dari pertempuran ini, mereka pasti kalah. Satu persatu panglima yang dulu sombong dan angkuh, kini telah berlutut memohon ampunan kepada Zarsa dan rakyat Dipamanggala.

“Para penghianat ini tidak lagi pantas memimpin negeri. Kami tidak mau diperintah oleh para Panglima Talam.” Sorak-sorak rakyat menggema di dalam istana. Di tengah kerumunan, Zarsa tersenyum. Ia telah berhasil menaklukan musuh terbesar Kerajaan Dipamanggala, para Panglima Talam telah ditumpas. Dihukum dengan pengadilan kerajaan yang disaksikan langsung oleh rakyat Dipamanggala.

Zarsa tahu bahwa perjuangan itu baru saja dimulai, negeri ini masih harus diperbaiki, tapi setidaknya, ia telah menyalakan api harapan kepada rakyat Dipamanggala. Dan negeri Para Panglima Talam telah runtuh, digantikan dengan panglima baru, harapannya memberikan perubahan untuk kesejahteraan rakyat Dipamanggala.

Jumat, 21 Maret 2025

CAHAYA DARI DESA PANTAI

Di tengah kesederhanaan desanya, cahaya ilmu telah dinyalakan dan semua itu berawal dari tekad seorang pemuda yang tidak pernah menyerah untuk berusaha mengubah nasib generasi baru di desanya, yang percaya bahwa pendidikan adalah jawaban dari permasalahan di desanya dan bisa mengubah nasib mereka.


Sebuah desa di ujung pantai, seorang pemuda bernama Rama. Sejak kecil, ia menyaksikan anak-anak di desanya harus bersekolah melewati kondisi jalan yang rusak dan sulit dilewati kendaraan. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, yang jaraknya berkilo-meter untuk sampai ke sekolah. Tidak sedikit yang akhirnya putus sekolah, karena jarak dan biaya. Rama, salah satu pemuda beruntung yang bisa menyelesaikan kuliahnya di kota dengan bantuan beasiswa dari kementerian, selalu bermimpi untuk membangun sekolah dan perpustakaan di desanya.

***

Sepulang dari kota, dan telah menyelesaikan gelar sarjananya, ia melihat keadaan desanya masih sama, kumuh dan terbelakang. Tidak pernah tersentuh pembangunan di semua lini, baik infrastruktur jalan dan bangunan, terutama bangunan sekolah SMA-nya dulu, masih tetap sama dan tidak ada perubahan sama sekali. Bangunan tua yang mau roboh. Anak-anak yang segenarasinya dulu, kini banyak menjadi buruh nelayan atau merantau ke negeri jiran tanpa pendidikan yang cukup untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Melihat keadaan desanya yang masih sama dan tidak ada perubahan yang berarti, dengan penuh semangat, Rama mulai berani menggagas ide untuk mendirikan sekolah sederhana di desanya. Ia berbicara dengan para tetua desa, meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menimpa desa mereka.

“Pak Buana yang saya hormati dan muliakan, mohon kiranya saya diberikan izin untuk mendirikan sekolah yang nantinya diperuntukkan untuk anak-anak desa yang putus sekolah di desa kita, Pak.” Ucap Rama saat memulai pembicaraannya di ruang kerja Pak Buana, ketua adat sekaligus menjabat sebagai kepala desa di kampung Rama.

“Saya merestui keinginanmu, Rama. Saya memberikan dukungan untuk pembangunan sekolah yang akan kamu dirikan nanti di desa kita.” Balas Pak Buana kepada Rama, dan menyatakan sikap keberpihakannya untuk tujuan mulia ini.

Namun, tantangannya tidak sedikit. Banyak warga desa yang masih ragu, beberapa diantaranya menganggap Rama terlalu idealis. Bahkan cenderung memusuhinya. Dan mereka tidak menyetujui pembangunan fasilitas pendidikan baru, selain fasilitas yang sudah ada selama ini di desa. Rama sudah menaruh curiga, sikap dan perbuatan sekelompok warga yang melakukan penolakan, adalah suruhan dari begundal-begundal para pemilik kapal. Mereka, para tengkulak pemilik kapal, beranggapan bahwa jika nantinya pendidikan menjadi pilihan warga, maka terputuslah mata rantai yang membelenggu kemisikinan para warga desa, yang secara sengaja telah diciptakan dan dikendalikan oleh mereka selama ini.

***

Rama perlahan mulai mendirikan bangunan sekolahnya, di lokasi tanah yang telah diberikan oleh Kepala Desa. Ia masih kekurangan dana membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan untuk mendirikan sekolah. Ia tidak menyerah, isi tabungannya yang jumlahnya serba pas-pasan, ia korbankan untuk ikut membiayainya, ia membeli papan dan seng bekas untuk mendirikan sekolah darurat. Ia juga meminta bantuan dana kepada masyarakat dan pemerintah daerah, untuk ikut membantu mendirikan sekolahnya. Banyak warga menolak, walaupun ada juga yang masih bersedia memberikan bantuan dana dan bahan material lainnya, yang mana mereka tersentuh atas perjuangan dan kegigihannya Rama.

***

Setelah beberapa waktu lamanya, hampir sekitar 6 bulan, sekolah itu akhirnya berdiri. Meskipun hanya berdinding kayu dan beratapkan seng seadanya, tapi itu adalah simbol dari harapan anak-anak desa. Rama mengajar sendiri dengan buku-buku yang ia bawa dari kota. Membaca, menulis dan berhitung, bahkan dasar-dasar ilmu sains telah ia ajarkan kepada anak-anak yang menimba ilmu di sekolahnya.

Mimpinya tidak berhenti sampai disitu. Ia ingin membangun perpustakaan desa agar anak-anak memiliki akses belajar lebih luas terhadap ilmu pengetahuan. Dengan bantuan teman-teman alumninya yang tinggal di kota, ia mulai mengumpulkan buku-buku baru dan bekas. Setiap minggu, ia sempatkan pergi ke kota untuk menemui sahabat-sahabatnya yang mau berbagi donasi dan siap menyuplai kebutuhan buku-buku di perpustakaan desanya. Ia menumpuk dan menyusun buku-buku di rak perpustakaan kecilnya, yang ia bangun dari uangnya sendiri dan bantuan serta sumbangsih dari para donatur.

***

Tahun demi tahun berlalu, sekolah kecil itu berkembang. Beberapa lembaga swasta mulai melirik dan memberikan bantuan. Kini, bangunan sekolahnya sudah mulai lebih kokoh, perpustakaan desa semakin penuh dengan koleksi buku-buku yang beragam. Rama tidak lagi sendirian mengajar di sekolahnya, ia mulai dibantu oleh kawan-kawan alumninya yang mau menyempatkan datang ke desanya, untuk sekedar mengajar dan berbagi pengalaman dengan siswa-siswa di sekolah.

Rama tahu perjuangannya ini tidaklah mudah, tetapi ia tidak menyangka bahwa gelombang penolakan dari warga masih belum surut. Banyak yang mencemoohnya. Terutama para tengkulak pemilik kapal, yang dulu merasa berkuasa, kini mulai gelisah. Mereka menyadari telah kehilangan buruh murah, karena selama ini anak-anak desa yang berangkat ke laut mencari ikan, bisa mereka gaji semurah-murahnya. Anak-anak desa yang dulu hanya tahu lautan, kini sudah mulai mau belajar, bisa membaca dan berhitung dengan baik, bahkan diantara mereka telah berani bercita-cita lebih tinggi untuk pendidikan mereka. Rama terharu mendengar celotehan anak-anak desa yang berani bermimpi tentang masa depan mereka.

“Pak Rama, Awin bermimpi setelah selesai sarjana nanti, bisa memberikan kapal besar untuk ayah, dan kami bersama-sama mengarungi lautan dengan gagah.” Ungkap salah satu murid Rama, Awin, yang selalu berwajah ceria menyampaikan cita-citanya. Rama meneteskan air mata bahagia. Ia berhasil menanamkan semangat pendidikan kepada murid-muridnya.

***

Mereka, para pemilik kapal, mulai berani menghasut beberapa warga, bersama-sama menolak pendidikan yang ditawarkan oleh Rama di desanya. Bahkan terdengar isu, para warga ingin membakar sekolahnya. Ia pun berusaha mencari bantuan lebih banyak, ia mendatangi media cetak dan online di kota yang peduli dengan pendidikan, mengangkat cerita agar orang tahu tentang perjuangannya. Usaha yang dilakukan Rama, mengundang para penggiat media cetak dan online untuk datang dan meliput berbagai aktifitas di sekolahnya, ternyata tidak sia-sia dan bisa meredam isu pembakaran sekolahnya.

“Pendidikan hanya buang-buang waktu! Kalau anak-anak kami sekolah terus, siapa yang bantu ayahnya nanti ke laut.” Kata seorang bapak di warung kopi kampung kepada Rama.

“Kamu ini mimpi, Rama! Lebih baik ajari mereka mencari ikan di laut yang bisa mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Dari pada sibuk baca buku yang tidak bisa memberi kami makan!” tambah yang lain, saat Rama dan beberapa warga duduk bersama-sama di warung kopi kampung. Rama hanya bisa diam dan tidak mau membalas cemoohan warga kepadanya.

Beberapa orang tua bahkan melarang anak-anaknya untuk datang ke sekolah kecil yang Rama bangun. Bagi mereka, pendidikan bukan prioritas, yang penting perut bisa terisi dan dapur bisa mengepul.

***

Namun, Rama tidak menyerah. Keringat dan air matanya setiap hari berjatuhan, membasahi pipinya. Tak pernah Rama hiraukan. Setiap waktu masih selalu berupaya dan berusaha sekuat tenaga mendekati warga satu per satu, memberitahukan kepada warga bahwa pendidikan di sekolahnya tidak harus meninggalkan usaha orang tua mereka, anak-anak masih bisa ikut membantu orang tuanya mencari ikan di laut.

Ia bahkan mulai mengajarkan hal-hal praktis di sekolahnya, seperti cara menangkap ikan dengan alat tangkap yang modern, cara mengelola hasil laut agar lebih menguntungkan dengan proses pengawetan hasil laut yang lebih modern, dan dasar-dasar bisnis kecil lainnya, seperti pemasaran penjualan hasil laut secara online dengan harga jual yang lebih kompetitif.

“Robi, kamu harus belajar yang tekun. Jangan pernah menyerah dengan keadaan.” Nasehat Rama kepada siswanya, Robi, dimana kedua orang tuanya sangat menentang sang anak untuk datang ke sekolah Rama.

Suatu hari, muridnya Rama, yaitu Robi, berhasil menjual hasil tangkapan laut ayahnya secara online, dengan harga lebih tinggi setelah belajar hitungan dan pemasaran sederhana di sekolah Rama. Ketika ayahnya melihat keuntungan penjualan yang lebih besar diperoleh anaknya, sang ayah mulai tersentuh dan sedikit banyaknya mulai merubah pikiran dan paradigmanya selama ini tentang sekolah Rama.

Dan kali ini, bukan hanya anak-anak yang ingin belajar, tetapi para orang tua juga. Mereka ingin tahu, mengapa selama ini mereka dibodohi dan mengapa mereka selalu dipaksa untuk tetap miskin, oleh para tengkulak pemilik kapal. 

Tidak hanya dari warga desa, tetapi dari luar warga desa pun, mulai sadar bahwa mereka selama ini telah diperdaya oleh para pemilik kapal. Kini, mereka tidak takut lagi. Mereka turut serta membangun sekolah, menyumbangkan bahan, waktu dan tenaga untuk keberlanjutan sekolah ini.

***

Rama merasa senang dengan antusias para warga desa, peduli terhadap kemajuan sekolah yang telah didirikannya, lalu Rama pun mencoba beberapa pendekatan lainnya. Ia mengundang sahabat lamanya yang dulu putus sekolah, tapi kini telah sukses berusaha dan berinvestasi perikanan darat di negeri jiran, Malaysia, untuk berbicara di hadapan para warga.

Sahabatnya banyak membawa buku-buku tentang perikanan, yang bisa meningkatkan hasil produksi panen perikanan darat yang telah dirintisnya jauh hari di negeri seberang. Ia ingin menunjukkan bahwa sahabatnya yang dulu putus sekolah, masih sungguh-sungguh belajar dan selalu membaca buku-buku tentang perikanan darat yang membuat usahanya maju dan sukses. Rama menyampaikan kepada para warga yang datang, bahwa pendidikan bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi juga tentang cara berpikir lebih maju dan memiliki peradaban yang lebih baik dan berkelanjutan.

***

Pelan tapi pasti, tembok penolakan perlahan mulai runtuh. Satu per satu, warga mulai percaya bahwa pendidikan itu bukan musuh, melainkan sebuah harapan. Butuh pengorbanan dan kerja keras bertahun-tahun lamanya, akhirnya sekolah kecil itu bukan lagi sekedar impian Rama, melainkan harapan seluruh masyarakat desa untuk  bisa hidup lebih baik lagi. 

Dan pada hari pertama penerimaan mahasiswa di universitas-universitas negeri, seorang siswa dari desanya telah lulus di salah satu universitas negeri di kotanya, dengan bantuan beasiswa dari kementerian yang dulu pernah Rama terima. Rama tersenyum, ia tahu perjalanan masih panjang. Tetapi Rama telah memenangkan satu pertempuran, membuktikan bahwa pendidikan bukan beban, melainkan sebuah cahaya kehidupan.

Sabtu, 15 Maret 2025

CAHAYA PEMUDA, BERKAH UNTUK UMMAT

Di pelosok pedalaman desa yang jauh dari pusat keramaian kota. Ada sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah bagi warga setempat. Masjid As-Siraj namanya, memiliki arti masjid sebagai penerang atau pusat cahaya agama bagi warga kampung, nama itu telah tersusun indah yang diberikan pemuka agama terdahulu, dimana mereka ingin warganya tetap dalam naungan cahaya agama. Namun, kenyataannya sekarang sungguh jauh berbeda. Arti dan makna dari nama masjid tersebut, tidak lagi mampu memberikan penerangan atau cahaya agama bagi warga kampung. Keterbatasan penerangan listrik membuat masjid sering gelap pada malam hari, menjadi permasalahan yang sampai saat ini belum ada titik terang solusinya. Lampu di dalam masjid hanya bisa menerangi sebentar saja saat malam tiba, atau setelah menjalankan ibadah sholat maghrib tepatnya. Saat malam telah mendekati waktu isya, lampu masjid mulai padam. Sedang sumbangan warga tidak terlalu cukup untuk bisa menerangi masjid sepanjang malam. Akibatnya, jamaah yang datang untuk melaksanakan sholat isya dan tahajud di malam hari semakin berkurang.



Melihat kondisi tersebut, warga pun mulai resah. Permasalahan ini menjadi perhatian dari beberapa pemuda desa. Pemuda-pemuda tersebut, yaitu Akbar, Hakim dan Marwan yang memiliki latar belakang pendidikan teknik, mulai berinisiatif mencari solusi jangka panjang untuk penerangan masjid dari energi yang terbarukan. Mereka ingin mengembalikan cita-cita mulia dari pemuka agama terdahulu, dimana masjid adalah sumber cahaya penerangan agama bagi warga, sesuai dengan namanya, walau sekarang mulai kehilangan jati diri dari namanya tersebut.

***

Dengan latar belakang pengetahuan yang mereka miliki, perlahan tapi pasti, mereka bersama-sama mulai menggali ide untuk menghadirkan penerangan masjid tanpa membebani uang infak jamaah yang terkumpul di masjid. Berhari-hari, mereka berdiskusi dan menyusun perencanaan yang matang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk membangun beberapa panel surya sederhana, harapan mereka panel surya tersebut mampu menyuplai kebutuhan listrik bagi masjid secara gratis.

“Kami ingin memberikan solusi untuk penerangan masjid di kampung ini Pak. Nantinya, penerangan masjid tidak lagi bergantung dengan listrik berbayar. Semuanya gratis, kami berupaya penerangannya dari energi terbarukan Pak” Ucap Akbar memulai pembicaraan dengan Kepala Desa dan Ketua BKM Masjid beserta warga di aula pendopo desa. Setelah penawaran audiensi mereka dengan Kepala Desa dan BKM Masjid disetujui dan mendapatkan respon positif dari warga desa. Sehingga, terlaksanalah musyawarah ini, untuk mendapatkan solusi dari permasalahan penerangan masjid, pada akhirnya tercapai kesepakatan bersama, dimana pembiayaannya tidak membebani keuangan masjid.

***

Dengan dana yang minim, mereka mulai mencari cara untuk mendapatkan panel surya dengan harga yang terjangkau. Mereka mulai melakukan penggalangan dana kepada warga yang bersedia membantu, mencari sponsor, dan bahkan mereka, Akbar, Hakim dan Marwan menggunakan tabungan pribadi untuk membeli peralatan yang dibutuhkan.

“Jangan mudah menyerah kawan, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini.” Kalimat tegas Akbar memberikan semangat kepada para sahabat seperjuangannya, Hakim dan Marwan. Akbar yakin bahwa apa yang telah mereka lakukan, bernilai ibadah yang hanya berharap kepada Tuhannya. Bukan kepada prasangka manusia lainnya. Mereka pun saling menguatkan keyakinan satu sama lainnya. 

Setelah beberapa bulan mengumpulkan dana dari warga dan sponsor, akhirnya mereka berhasil membeli beberapa panel surya dan baterai penyimpanan untuk proyek ini. Dengan semangat gotong royong, mereka mulai memasang alat-alat tersebut, meletakkannya di atap Masjid As-Siraj. Pemasangan panel surya tersebut tidaklah mudah, tapi dengan kerja keras dan bantuan dari warga yang juga turut serta membantu mereka, akhirnya panel-panel surya tersebut berhasil terpasang dengan baik.

***

Setelah panel surya dan baterai penyimpanan telah selesai dipasang, mereka mulai menguji sistem alatnya di malam hari. Saat malam tiba, masjid yang dulu pencahayaan remang-remang, kini telah bersinar terang dengan cahaya lampu dari energi matahari. Para jamaah masjid yang dulu enggan datang karena masjid gelap pada malam hari, kini mulai datang dengan harapan yang penuh kebahagiaan. Masjid telah terang dengan cahaya listrik gratis. Warga bergembira dengan keberhasilan alat ini. 

Keberhasilan proyek ini, menjadi inpirasi bagi para pemuda di kampung sebelah. Para pemuda kampung sebelah, yang dulu banyak mencemooh, sekarang mulai datang belajar bagaimana mereka bisa menerapkan hal yang sama di tempatnya. Akbar dan kawan-kawan dengan senang hati berbagi ilmu dengan mereka, berharap lebih banyak masjid dan fasilitas umum lainnya bisa mendapatkan manfaat dari energi terbarukan ini.

***

Setelah Masjid As-Siraj berhasil mendapatkan penerangan gratis dari energi matahari, dampak positifnya semakin terasa. Setiap malam, cahaya masjid menjadi magnet bagi warga kampung. Jamaah sholat isya dan subuh yang dulu sepi dengan jamaah, kini semakin ramai. Anak-anak datang untuk belajar mengaji, para orang tua berkumpul dalam kajian agama, dan para pemuda yang dulunya sering menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna, sekarang aktif dalam kegiatan keagamaan di masjid kampung. Perlahan, mereka telah mengembalikan cita-cita mulia dari pemuka agama terdahulu, Masjid As-Siraj telah berhasil menjadi sumber cahaya penerangan agama bagi warga.

***

Para pemuda, Akbar, Hakim dan Marwan tidak mau berhenti sampai di situ, mereka melihat peluang untuk memperluas manfaat dari energi terbarukan ini, mereka melihat masih ada harapan itu. Dengan sistem yang sudah terpasang dan telah berjalan dengan baik, mereka mulai mencari cara agar energi yang dihasilkan bisa lebih optimal lagi dalam pemanfaatannya. Mereka berinisiatif, mulai menambahkan kapasitas baterai penyimpanan yang lebih besar lagi, agar listrik yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk fasilitas umum lainnya di kampung.

“Hakim, kita masih ada peluang untuk memanfaatkan energi surya ini, jika kapasitas penyimpanan dayanya, bisa lebih besar lagi dari daya yang kita simpan saat ini.” Ucap Akbar memulai diskusi mereka berdua. Tanpa kehadiran sahabat mereka, Marwan, yang masih berada di luar kota untuk menyelesaikan permohonan bantuan peralatan panel surya ke Universitas mereka dahulu, telah disetujui oleh pihak kampus.

“Aku setuju Bar. Ini langkah yang baik untuk memberikan harapan kepada warga yang rumahnya membutuhkan pencahayaan di malam hari. Nantinya, anak-anak mereka bisa belajar dengan rajin di malam hari.” Balas Hakim untuk melanjutkan pembicaraan dengan Akbar. Dan diskusi mereka berdua selesai, setelah Akbar meyakinkan Hakim untuk mencari donatur penambahan alat-alat penyimpanan daya listrik yang mereka butuhkan tersebut.

***

Suatu malam, salah satu pengusaha terpandang di kota sebelah desa datang berkunjung ke rumah tetua desa, menawarkan diri menjadi donatur. Ia mendengar tentang proyek panel surya sederhana, dimana mampu menerangi masjid kampung di malam hari. Kagum dengan para pemuda yang telah memberikan perubahan luar biasa, untuk penerangan masjid dan juga beberapa rumah warga kurang mampu yang sangat membutuhkan pencahayaan di malam hari.

Donatur tersebut menawarkan bantuan untuk mengembangkan proyek ini lebih lanjut. Para pemuda, Akbar, Hakim dan Marwan pun merasa senang dengan penawaran dari donatur, harapan mereka bisa memasang lebih banyak panel surya, sehingga listrik gratis bisa dialirkan ke rumah warga kampung yang kurang mampu, dan juga madrasah di samping masjid yang sebelumnya masih minim penerangan di malam hari.

***

Kampung yang dulu sering gelap pencahayaannya di malam hari, perlahan mulai terang. Masjid As-Siraj tidak hanya menjadi tempat ibadah saja, tetapi sekarang menjadi pusat kegiatan sosial dan pendidikan agama. Para ibu kelompok pengajian, memanfaatkan ruangan masjid untuk kelas membaca Al-Qur’an di malam hari, dan anak-anak mulai nyaman memiliki tempat belajar agama di malam hari tanpa khawatir listrik akan padam.

Bagi mereka, Akbar, Hakim dan Marwan, ini bukan hanya tentang listrik atau teknologi semata, tapi tentang bagaimana ilmu pengetahuan dan kepedulian bisa membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat. Ide dan gagasan yang dulu mereka anggap hal yang mustahil untuk diwujudkan, kini telah mampu mengubah kehidupan banyak orang di kampung.

Keberhasilan ini juga telah membuat pemerintah desa tertarik dan ikut mendukung lebih banyak lagi untuk inisiatif energi terbarukan. Mereka mulai mempertimbangkan untuk menerapkan sistem serupa, di sekolah-sekolah dan fasilitas umum lainnya.

Dan sejak saat itu, cahaya dari para pemuda, Akbar, Hakim dan Marwan, benar-benar telah menjadi simbol harapan, bukan hanya sebatas menerangi masjid, tetapi juga mampu membawa keberkahan dan kebahagian serta kebangkitan bagi seluruh warga kampung.

Minggu, 09 Maret 2025

TERLELAP DALAM CINTA-NYA

Firman, seorang pemuda yang memiliki harapan dan impian besar dalam hidupnya. Ia ingin menjadi seorang pengusaha sukses, dengan bekerja keras akan selalu membuahkan hasil yang terbaik. Namun, setiap langkah yang ia ambil, berakhir dengan kegagalan. Harapan hidup yang penuh dengan kehampaan.


Ia pernah berbisnis kecil-kecilan, namun usahanya bangkrut. Setiap kali merasa sudah diambang keberhasilan, entah kenapa semuanya runtuh begitu saja. Lebih menyakitkan lagi, bahkan orang-orang terdekatnya sendiri, tidak pernah turut serta mendukung usahanya.

“Kamu itu mimpi terlalu tinggi, Firman.” Kata ayahnya suatu hari kepadanya. “Lihat saja dirimu sekarang, berapa banyak usahamu yang telah gagal. Kenapa tidak seperti orang biasa saja, melanjutkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikanmu. Bekerja menjadi seorang guru atau pendidik” Lanjut sang ayah lagi kepadanya.

“Kamu hanya buang-buang waktu saja. Semua saudaramu sudah berhasil, sudah punya pekerjaan yang tetap. Hanya kamu yang masih mencoba hal yang sia-sia selama ini.” Ucapan ibunya yang tidak kalah menyakitkan kepadanya.

Kata-kata itu, seperti pisau yang telah menghujam jantungnya. Firman merasa sendirian, tak ada satu orang pun yang percaya pada cerita suksesnya kelak. Orang tua dan sahabatnya telah ikut menjauhi dirinya. Di tengah kegelapan dalam hidupnya, Firman mulai mempertanyakan sesuatu yang sangat ia yakini, Tuhan.

“Wahai Tuhan, kenapa Dirimu berikan semua yang mereka inginkan, sedangkan diriku selalu mengalami kegagalan. Apakah ini keadilan? Apakah Dirimu memang tidak pernah peduli kepada diriku, wahai Tuhan?” Cerita Firman kepada Tuhannya, di dalam doanya, di tengah kesunyian malam.

***

Dikala senja dan mendung pun tiba, ditengah rintik hujan, Firman berjalan tanpa arah dan tujuan. Pikirannya kosong, hatinya telah hancur. Sepanjang jalan, banyak orang-orang tertawa bahagia dilihatnya, pasangan kekasih yang berjalan bergandengan tangan. Dunia seolah bersekongkol kepadanya, tertawa memperlihatkan betapa gagal dirinya dalam menjalani hidup ini.

Saat itu, ia telah berdiri di tepi jembatan. Memandang air sungai yang keruh, arusnya deras. “Mungkin jika aku menghilang dari muka bumi ini, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang kehilangan diriku, bahkan Tuhan pun tidak akan menyesal.” Ucap sang pemuda lirih dalam hatinya.

Namun, di saat itu sebuah suara kecil di dalam hatinya berbisik, suara yang hampir saja ia lupakan selama ini. “Dirimu sudah sejauh ini Firman. Apakah dirimu benar-benar ingin menyerah?”

Sang pemuda pun terdiam. Hatinya gaduh. Bukankah itu yang diinginkannya? Mengakhiri segalanya? Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ada sesuatu harapan yang masih tetap ingin bertahan, walau hanya secercah saja.

Ia mengurungkan niatnya, dan perlahan duduk merenung di tepi jembatan. Menangis untuk pertama kalinya, setelah sekian lama. Ia tidak tahu apakah Tuhan masih ada untuk mendengarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak meminta keberhasilan. Ia meminta hanya satu hal, “Wahai Tuhan, beri aku alasan untuk tetap hidup di dunia ini.”

Bahwa harapan tidak selalu datang dalam bentuk keberhasilan, tapi dalam bentuk keberanian untuk tetap bertahan di dalam hidup. Malam itu, walaupun Firman tidak menemukan harapan untuk hidupnya, tapi ia memilih untuk tidak menyerah dalam menjalani hidupnya. Dan mungkin itu sudah cukup untuk saat ini.

***

Di luar sana, teman-temanya telah berhasil. Mereka memiliki pekerjaan yang mapan, keluarga yang mendukung dan kehidupan yang stabil. Sementara dirinya? Ia bahkan tidak punya siapa-siapa yang mendukung dan percaya kepadanya. Saudara-saudaranya, menganggapnya sebagai orang yang gagal. Bahkan dunia seolah tidak peduli, apakah ia masih ada atau tidak di muka bumi ini.

Tapi entah mengapa, meskipun segalanya terasa begitu gelap. Meskipun dirinya sudah lelah, seolah Tuhan tak berpihak kepadanya lagi. Ia masih tetap di sini, masih bergulat dengan rasa sakit yang tidak pernah benar-benar hilang. Dan doa-doa yang terasa menggema di langit, dan belum menemukan jawabannya. Namun, ia masih bersyukur, ia masih hidup dan bernafas.

Dan mungkin, walaupun ia tidak tahu alasannya sekarang. Tapi suatu hari nanti, ia akan mengerti jawaban dari semua peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya selama ini.

“Apakah diriku telah ditakdirkan seperti ini, wahai Tuhan? Aku tidak tahu, apakah aku masih punya alasan untuk selalu berharap kepada-Mu. Jika memang ini takdirku, apakah itu berarti Dirimu tidak mencintaiku lagi, wahai Tuhan?” pertanyaan yang selalu disampaikan kepada Tuhannya, saat malam datang mengiringi kesunyiannya. Air mata kembali menetes dan membasahi pipinya. Ia tahu, ia masih mencintai Tuhannya. Bagaimanapun, Tuhan adalah tempatnya bersandar selama ini. Tapi bagaimana mungkin, ia bisa terus mencintai Tuhannya, sedang cinta Tuhannya seakan tidak pernah membalasnya? Bagaimana mungkin ia bisa tetap percaya pada Tuhannya, sedang janji yang Tuhan berikan seakan tidak pernah terwujud kepadanya?

Sudah berpuluh tahun lamanya ia berusaha, sudah tak terhitung doa yang ia panjatkan. Tetesan keringat telah membasahi tubuhnya. Serta air mata kesedihan yang juga telah membasahi pipinya. Ia selalu berusaha dan mencoba segala hal, berkali-kali jatuh bangun di dalam bisnis yang digelutinya. Namun, hasilnya tetap sama. Kegagalan demi kegagalan yang terus menghantui hidupnya, sementara orang-orang di sekitarnya melangkah semakin sukses dan jauh meninggalkannya. Namun, ada satu hal yang masih diyakininya sampai saat ini, yang tidak pernah meninggalkannya, cinta kepada Tuhannya.

***

Dulu, ia pernah bertanya apakah Tuhan masih mencintainya. Ia pernah merasa bahwa mungkin dirinya adalah jiwa-jiwa yang terlupakan. Tubuhnya yang dulu tegap, sekarang mulai melemah. Kulit wajahnya yang dulu kencang, sekarang telah berkerut. Kini di usia senjanya, ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia pun telah berhenti bertanya. Bukan karena ia telah menemukan jawaban, tetapi karena ia telah menerima bahwa ia tidak perlu jawaban itu lagi.

Firman duduk sendiri di tepi ranjang tuanya. Tangannya bergetar, saat ia menyatukan jemarinya dalam doa. Seperti yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya, tidak ada lagi permohonan yang ia panjatkan. Tidak ada lagi harapan yang ia pinta dari dunia ini.

“Wahai Tuhan, jika memang diri ini ditakdirkan menjalani hidup tanpa keberhasilan, maka diri ini ikhlas menerimanya. Aku tidak lagi menyesal, tidak lagi bertanya mengapa, aku hanya ingin pulang…., dan menemukan-Mu berada di sisiku, wahai Tuhan.”

***

Dan saat malam tiba, merayap semakin larut. Firman pun terlelap dalam tidurnya, senyum bahagia masih terukir di wajahnya. Seolah ia telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian yang selama ini ia cari dalam hidupnya. Ia tahu, bahwa akhirnya ia akan kembali kepada satu-satunya yang tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya selama ini.

Ketika fajar menyingsing, tubuhnya telah kaku, jiwanya telah pergi. Dunia tidak berkabung atas kepergiannya. Tidak ada tangisan dari mereka yang dulu pernah ada dalam hidupnya. Namun, di tempat yang lebih tinggi, mungkin Tuhan telah menyambutnya dengan cinta yang selama ini ia cari.

Dan akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Firman tidak lagi merasa gagal. Ia telah menemukan rumahnya. Ia telah menemukan cinta sejatinya, untuk selama-lamanya.

Minggu, 02 Maret 2025

CAHAYA DI BALIK SENYUMAN

Sejak kecil, Soraya melihat ibunya, seorang dokter kandungan, membantu para ibu yang melahirkan. Namun, ada satu hal yang menarik perhatiannya, bukan hanya proses persalinan ibu melahirkan, melainkan bagaimana perasaan para ibu setelah melahirkan. Ada yang bahagia, ada yang cemas bahkan ada yang tampak begitu lelah dan putus asa. Saat Soraya tumbuh dewasa, ia menyadari bahwa tidak semua ibu siap untu peran barunya. Ada yang mengalami kesulitan menyusui, ada yang merasa ketakutan dan bahkan ada yang mengalami depresi pascamelahirkan.


Ketika memasuki universitas, Soraya memilih untuk mengambil jurusan psikologi. Soraya banyak belajar tentang kesehatan mental ibu. Ia pun berkesempatan magang di sebuah klinik laktasi ibu dan anak. Disitu banyak mendengarkan para ibu yang merasa gagal produksi ASI nya, merasa sedih karena merasa tidak cukup ASI yang diberikan ke bayinya dan bahkan sampai tertekan karena omongan keluarga terdekatnya.

***

Perjalanan Soraya tidaklah mudah, tetapi ia percaya bahwa perjuangannya akan membuahkan hasil. Saat Soraya memutuskan untuk membuka klinik laktasi, khusus untuk ibu menyusui, banyak yang meragukannya. Terutama dari keluarganya sendiri.

“Kenapa harus fokus ke ibu menyusui? Apa ada yang mau datang nanti ke klinik itu?” ujar ibunya suatu malam saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga.

Ibunya meski seorang dokter, tidak sepenuhnya yakin kepada Soraya. “Mungkin sebaiknya kamu bisa jadi psikolog umum dulu. Baru pelan-pelan mengembangkan klinik ini, Nak.” Ucap ibunya kepada Soraya.

Setiap ibu yang datang ke kliniknya, membawa cerita yang berbeda. Tetapi satu hal yang sama: mereka butuh dukungan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Beberapa orang masih meremehkan usahanya. Ada yang menganggapnya tidak lebih dari sekedar “tempat curhat”. Bahkan ada beberapa koleganya sesama psikolog berkata “Mungkin kamu harus lebih fokus ke permasalahan yang lebih berat misal deprsesi berat, gangguan kecemasan, mungkin masalah itu lebih penting untuk ditangani.”

Soraya tidak goyah, ia hanya tersenyum. Baginya, kesehatan mental ibu menyusui adalah fondasi awal dari kesehatan anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa. Jika seseorang ibu menyusui didukung, anak-anaknya pun akan tumbuh lebih sehat secara fisik dan emosional. Sebab banyak ibu-ibu yang merasa gagal ketika proses menyusui, banyak dari mereka yang depresi dan sayangnya, kesehatan mental mereka masih banyak diabaikan oleh keluarga terdekatnya pula.

Salah satu kisah yang masih membekas sampai saat ini dalam hati Soraya adalah tentang sosok ibu muda yang bernama Asma, yang baru melahirkan seorang bayi pertamanya. Namun, setiap kali mencoba menyusui bayinya, Asma merasa cemas dan takut yang luar biasa. Ketakutannya kalau bayinya tidak mendapatkan ASI yang cukup, setiap malam Asma menangis diam-diam agar suaminya tidak tahu betapa tertekan dirinya saat itu. Itulah salah satu alasannya untuk membuka klinik ini. Bisa mendampingi Asma dengan penuh kesabaran, tanpa menghakimi dan meyakinkan sosok ibu muda bahwa ia bukan ibu yang buruk dan bisa memberinya dukungan secara emosional.

***

Benar saja, ketika kliniknya dibuka, pasien tidak langsung datang dalam jumlah yang besar. Banyak ibu menyusui masih enggan untuk datang, berbagi cerita tentang kecemasan, depresi dan ketakutan yang mereka alami selama menyusui. Tapi Soraya tidak menyerah, ia mulai mengadakan seminar-seminar di rumah sakit, puskesmas dan komunitas ibu menyusui. Berbicara tentang pentingnya ASI, bukan hanya sebagai nutrisi terbaik untuk bayi, tetapi juga sebagai momen ikatan emosional yang mendalam antara ibu dan anak. Dari seminar-seminar yang menarik perhatian tersebut, perlahan kliniknya pun mulai dikenal.

Setiap hari, saat Soraya duduk di ruang konsultasinya, mendengarkan cerita para ibu yang datang dengan mata sembab, suara yang bergetar dan hati penuh kecemasan. Ia melihat air mata yang jatuh tanpa suara, sebagai seorang psikolog, ia tahu itu adalah tanda dari ketakutan yang sering kali tidak terucapkan. Ia dengan sabar, mendengarkan dengan penuh perhatian.

Ia mulai mengambil langkah lebih besar. Ia tidak hanya duduk manis di kliniknya, hanya diam menunggu pasien datang. Tapi, Ia mendatangi berbagai rumah sakit, mengunjungi komunitas-komunitas ibu menyusui, berbicara di seminar-seminar. Ia ingin setiap ibu tahu bahwa mereka tidak sendirian, bahwa ada tempat bagi mereka untuk berbagi dan mendapatkan dukungan. 

“Kamu ibu yang hebat. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu adalah ibu yang menjadi tempat bernaung bagi anakmu.” Ucap Soraya disetiap sesi pertemuan dengan ibu yang menangis ketika ASI nya tidak keluar, ibu yang takut bayinya tidak cukup kenyang meski sudah menyusui berjam-jam dan ibu yang merasa sendirian dihakimi oleh keluarga karena memilih menyusui atau bahkan karena tidak bisa menyusui bayinya. Semakin banyak Soraya mendengar kisah-kisah ini, semakin kuat tekadnya. Ia tidak ingin ada tangisan ibu yang merasa sendiri dalam perjalanan menyusui bayinya. Baginya, setiap tangisan ibu adalah panggilan untuknya agar terus berjuang. 

Kini, klinik Soraya berkembang lebih besar. Beberapa organisasi kesehatan mulai bekerja sama dengannya, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental ibu menyusui. Bahkan, kliniknya sekarang tidak hanya menangani ibu menyusui, tetapi juga memberikan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang bagaimana mendukung kesehatan mental ibu dan anak. Ia membangun komunitas yang lebih luas, memastikan bahwa setiap ibu mendapatkan tempat untuk berbagi dan mendapatkan dukungan.

***

“Ibu yang bahagia akan melahirkan generasi yang sehat dan kuat. Dan tugas kita semua adalah memastikan mereka, para ibu, tidak berjalan sendirian.” Pesan Soraya di setiap seminar yang ia adakan kepada para ibu yang hadir.

Tanpa disangka, suatu hari ibunya datang ke salah satu seminar yang dihadiri oleh Soraya. Ia duduk di barisan paling belakang, memperhatikan dengan seksama bagaimana putrinya berbicara penuh semangat. Menyampaikan pentingnya kesehatan mental ibu menyusui. Ibunya melihat bagaimana para tamu yang hadir, kebanyakan adalah ibu-ibu yang sedang berjuang menyusui anaknya, menyimak dengan serius. Bahkan beberapa dari mereka sampai meneteskan air mata karena merasa didengar dan dimengerti.

Setelah selesai seminar, ibunya mendekati seorang ibu muda yang tampak emosional. Dengan nada pelan, ibu itu berkata, “ Saya ingin berterima kasih kepada Bu Soraya. Saya hampir menyerah menyusui karena tekanan dari keluarga saya sendiri. Tapi setelah konsultasi dengan beliau, saya merasa lebih kuat.”

Mendengar perihal itu, mata ibu Soraya berkaca-kaca. Ia baru sadar bahwa seberapa besar dampak yang telah diberikan putrinya. Sore itu, ketika Soraya pulang ke rumah, ibunya memeluknya erat.

“Maafkan Mama kalau dulu ragu. Sekarang Mama telah mengerti. Kamu telah melakukan sesuatu yang sangat luar biasa.” Ucap ibunya kepada Soraya. Mereka berdua berpelukan erat, saling menguatkan satu sama lain.

“Iya Ma. Mohon doakan Soraya disetiap sujud Mama. Agar mampu menjalani ini semua. Menjadi seorang psikolog bukan hanya sekedar pekerjaan, ini adalah panggilan hati Ma.” Balas Soraya kepada Ibunya.

***

Tak hanya Ibunya, ayahnya yang awalnya pesimis, perlahan mulai berubah. Ia melihat berita, putrinya yang diundang sebagai pembicara dalam konferensi kesehatan mental ibu nasional. Ia mendengar teman-temannya berbicara tentang betapa penting dan bermanfaatnya klinik yang didirikan oleh Soraya. Perlahan, rasa bangga mulai menghilangkan keraguan yang dulu pernah ada di dalam benak ayahnya.

“Para ibu yang dulu menangis di ruang konsultasi, kini datang bukan lagi sebagai pasien, tetapi sebagai sahabat bagi ibu-ibu yang lain. Mereka berbagi pengalaman, memberi dukungan dan menciptakan komunitas yang saling peduli serta menguatkan satu sama lain.” Cerita Soraya kepada ayahnya dengan penuh semangat, di ruang tamu tempat mereka berbagi cerita dan saling menguatkan.

“Aku bangga padamu, Nak.” Ucap ayahnya kepada Soraya. Ayahnya tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah anaknya sekarang.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun berjalan sendiri, kini Soraya tidak lagi sendirian. Dulu, ketika dukungan keluarganya ragu. Mereka menganggap klinik ini tidak akan bertahan lama. Mimpinya terlalu idealis. Tapi Soraya tidak peduli, bahkan ketika Soraya mulai dikenal, menjadi pembicara di berbagai tempat seminar, keluarga mengganggap bahwa perjuangannya masih sia-sia. Namun, seiring berjalannya waktu, semua mulai berubah. Sekarang, dukungan dari keluarganya berdiri disampingnya, mendukung setiap langkah yang ia ambil. 

Pertanyaan mereka tak lagi berkutat “Apakah klinik ini akan bertahan?.” Tetapi justru sekarang berkata, “Kami bangga padamu. Teruslah membantu para ibu.”

Dan baginya, itu adalah hadiah terbaik yang ia terima dalam perjalanan panjang ini. Ia tahu, perjuangannya belum berakhir. Tapi kini, ia melangkah lebih kuat, karena ia tidak hanya membawa mimpinya sendiri, tetapi juga harapan dari ribuan ibu yang pernah merasa sendiri. Soraya tersenyum, satu hal yang ia fahami bahwa ia tidak pernah salah memilih jalan. Ia ingin ada di sana, menjadi cahaya bagi para ibu yang merasa sendirian dalam perjalanan menyusui dan membesarkan anak. Ia akan terus melangkah, karena masa depan generasi emas Indonesia, dimulai dari ibu yang sehat dan bahagia.

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...