Sabtu, 29 Maret 2025

NEGERI PARA PANGLIMA TALAM

Di sebuah negeri yang mulai maju peradabannya, berada diantara lembah kabut pekat dan memiliki lahan pertanian yang subur, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Dipamanggala, yang berarti kerajaan memiliki pemimpin yang bercahaya atau bijaksana. Kerajaan Dipamanggala dipimpin oleh seorang raja bernama, Baginda Maharaksa, dimana Ia adalah raja yang bijaksana, tetapi usianya sudah semakin tua, sehingga ia sangat bergantung kepada para panglimanya untuk mengatur jalannya roda pemerintahan di kerajaan.


Negeri ini kaya raya, istana kerajaan yang megah bertahtakan emas dan permata. Namun, di balik kemewahannya itu, negeri ini banyak menyimpan rahasia kelam akhir-akhir ini. Dimana, para panglima kerajaan yang tampak gagah di depan rakyat, mengenakan baju perang berlapis baja terbaik, berbicara lantang kepada prajurit tentang kehormatan dan kesetiaan kepada kerajaan.

Ternyata, para panglimanya bukanlah seorang pejuang sejati, melainkan ahli dalam seni bermuka dua. Mereka saling menusuk dari belakang, mempermainkan janji kepada rakyat, menjual kepercayaan rakyat demi kepentingan pribadi dan melakukan monopoli perdagangan serta banyak melakukan perampasan tanah petani, mengakibatkan banyak petani yang menjadi buruh tani yang mendapatkan bayaran rendah atau bahkan mengemis di jalanan.

***

Suatu hari, hadir seorang pemuda bernama Zarsa, yang pulang ke tanah kelahirannya, setelah bertahun-tahun lamanya merantau di negeri orang. Ia adalah anak seorang rakyat biasa, hatinya terbakar amarah melihat keadaan negerinya saat ini. Zarsa melihat, banyak rakyat sengaja dibuat kelaparan, rakyat terpaksa membeli makanan dengan harga tinggi atau malah dibiarkan mati kelaparan. Ia juga melihat para petani ditindas dengan pajak yang tinggi dan yang tidak bisa membayar pajak, lalu menyerahkan tanahnya kepada para bangsawan atau saudagar kaya yang menjadi sekutu Panglima Talam, sedang para bangsawan dan saudagar kaya raya terbebas dari kewajiban membayar pajak.

Zarsa berkesimpulan setelah sebelumnya berhadapan masalah hukum perampasan tanah para petani di negerinya dengan para saudagar kaya yang menjadi sekutu para Panglima Talam, ternyata hukum yang dialaminya hanya berpihak kepada mereka, para saudagar kaya. Mereka cukup membayar para Panglima Talam untuk menghilangkan kasusnya. Sedang Zarsa mengalami penderitaan yang berat. Keadilan yang sudah tergadaikan, kondisi yang sedang dialaminya.

“Keadaan ini tidak mungkin dibiarkan terus menerus terulang kembali. Banyak rakyat yang sudah terabaikan hak-haknya untuk melakukan pembelaan atas kesalahan yang bukan dilakukannya, termasuk diriku.” Ucap Zarsa lirih, saat raganya telah dijebloskan ke dalam penjara, oleh pengadilan kerajaan, tapi tidak dengan jiwanya.

Setelah terbebas menjalani hukuman penjara kerajaan, kembali Zarsa mendapatkan cerita dari desas-desus informasi yang beredar di kalangan rakyat yang tertindas selama ia di dalam penjara, bahwa para panglima kerajaan tidak pernah bersungguh-sungguh berperang melawan para perompak, yang telah terjadi beberapa tahun lalu dan berhasil menyerang negerinya. Mereka hanya berpura-pura bertempur, setelah adanya kesepakatan jahat antara mereka dengan perompak, sementara para prajurit bawah dan rakyat yang berjuang mati-matian melawan para perompak, tidak pernah diperhatikan keberadaannya. Singkatnya, setelah kemenangan diraih dengan kesepakatan jahat antara perompak dengan para Panglima Talam, lalu mereka mengklaim, telah berjasa dan berhak mendapatkan hadiah yang besar dari raja.

***

Dengan hati penuh amarah, Zarsa mulai menyusun rencana. Ia mulai mengumpulkan para warga yang jujur, berintegritas dan memiliki akses dengan kerajaan. Mereka bersama-sama mulai membongkar kebusukan para Panglima Talam. Dengan kecerdikannya, ia mulai menyebarkan surat-surat rahasia ke seluruh negeri, berisi bukti penghianatan para panglima kerajaan.

Baginda Maharaksa, sangat terpukul dengan keadaan negeri yang dipimpinnya. Ia murka dengan kejadian yang telah mencoreng kerajaannya. Raja mengumpulkan para panglima di balairung istana. Setelah kebenaran akhirnya terbongkar.

“Kalian telah membuatku malu. Mencoreng kehormatan negeri ini dengan kepalsuan dan penghianatan.” Ucap Baginda Maharaksa dengan nada penuh amarah.

Namun, para panglima tetap tersenyum. Mereka tahu, selama mereka masih memiliki kekayaan dan pengaruh, mereka akan selalu bisa lolos dari hukuman. Mereka menunduk penuh hormat kepada raja, berkata dengan penuh kepalsuan.

“Ampun beribu-ribu ampun, Baginda. Semua pemberitaan tentang kami di luar sana tidaklah benar adanya. Semua yang kami lakukan adalah yang terbaik untuk negeri ini.” Ucap penuh santun salah seorang Panglima Senior kepada Baginda Raja Maharaksa.

Baginda Maharaksa terdiam. Ia sadar, negeri ini sudah terlalu lama dikuasai oleh para Panglima Talam, yang tidak pernah benar-benar berjuang untuk rakyat, hanya berpura-pura demi kepentingan dan ambisi pribadi mereka.

Dan di sudut istana, sosok Zarsa terdiam. Ia menggenggam sebuah pedang, ia yakin untuk menyelamatkan negeri yang sangat dicintainya, kata-kata tidak dapat memberikan efek yang dahsyat untuk merubah negeri ini dari penghianatan yang bergejolak.

***

Baginda Maharaksa belum memutuskan siapa yang bersalah atas kejadian ini, para panglima pun dipersilahkan untuk keluar dari balairung istana. Meraka tersenyum puas. Mereka tahu, raja sudah semakin tua dan tidak akan berani mengambil tindakan tegas. Dengan pengaruh yang mereka miliki, para panglima kerajaan merasa yakin dan mampu meredam kemarahan rakyat. Seperti yang sudah mereka lakukan berkali-kali sebelumnya.

Ternyata, dugaan mereka kali ini salah.

Zarsa dan orang-orang terpilihnya mampu bergerak cepat. Di masing-masing sudut kota, di pasar-pasar atau pusat keramaian, dan di masing-masing rumah penduduk, mereka menyebarkan cerita tentang penghianatan para panglima kerajaan. Mereka membacakan surat-surat rahasia, dimana isi surat rahasia itu tentang pembuktian para panglima kerajaan yang telah menjual senjata kerajaan ke pihak musuh, pajak rakyat digelapkan dan yang lebih fatal lagi adalah secara diam-diam membuat perjanjian jahat dengan para perompak yang dulu menyerang negeri. Serta menciptakan musuh palsu, untuk membuat kekacauan di pasar dan desa-desa, lalu tampil sebagai “penyelamat”, dengan cara seperti ini, rakyat tetap percaya bahwa mereka dibutuhkan sebagai pelindung negeri. 

***

Rakyat telah bergejolak. Dari desa terpencil hingga ke ibu kota kerajaan. Suara kemarahan rakyat telah menggema, mereka yang dulu tertindas, petani, pedagang dan prajurit rendahan, kini telah mantap bersatu. Mereka tahu, jika negeri ini ingin berubah, maka para Panglima Talam di kerajaan, harus disingkirkan.

Sosok Zarsa yang memiliki akses bisa bertemu langsung dengan Raja Maharaksa, lalu datang menghadap. 

“Baginda Raja Maharaksa, rakyat sudah siap untuk bangkit dan melawan. Kami tidak ingin membiarkan negeri ini, untuk terus diperbudak oleh penghianatan. Tapi kami membutuhkan restu Baginda” Ucap Zarsa dengan nada lantang kepada Raja.

Sang Raja menatap pemuda itu lama. Ia melihat keberanian dan ketulusan yang telah lama hilang dari istananya.

“Apa yang akan kamu lakukan, wahai pemuda.” Balas Baginda Raja kepada Zarsa.

Zarsa hanya tersenyum tipis. “Izinkan kami bersama rakyat menyingkirkan mereka. Malam ini juga.”

Raja Maharaksa gelisah dan resah. Ia duduk sendirian di takhta singgasana emasnya. Mulai merenungi, bagaimana ia membiarkan para panglima kerajaan mengendalikan negeri ini. Ia mengerti, bahwa jika ia tidak bertindak sekarang, maka khawatir takhta dan negerinya akan jatuh dikuasai para Panglima Talam.

***

Para panglima talam telah banyak menjalankan berbagai intrik kejahatan politik untuk mempertahankan kekuasaan yang mereka miliki, seperti penghianatan di medan perang, melakukan penjualan senjata dan informasi kepada musuh, memanipulasi pajak yang memberatkan rakyat kecil, mengarang laporan palsu tentang keadaan negeri kepada raja, menciptakan kegaduhan agar mereka tetap berkuasa dan mengendalikan peradilan dan hukum di negeri itu untuk mereka yang punya harta dan koneksi.

Di puncak bukit yang berbatasan langsung dengan ibu kota kerajaan, Zarsa menatap negerinya yang mulai kembali mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Ia tidak pernah ingin menjadi panglima, tetapi ia tahu, perjuangan tidak pernah benar-benar selesai.

Karena keadilan bukan sesuatu yang datang sekali, lalu bertahan untuk waktu yang lama, tetapi keadilan adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Di negeri para Panglima Talam, yang dulu berkuasa dengan kepalsuan, sekarang rakyat berhak untuk memperjuangkan dan menentukan masa depan mereka sendiri.

***

Saat malam tiba, dimana para Panglima Talam sedang berpesta di istana mereka, pasukan rakyat yang dipimpin Zarsa yang jumlahnya ratusan ribu, mulai menyerbu dan mengepung mereka semua yang berada di dalam istana. Dengan senjata seadanya, malam yang hening, seketika menjadi riuh. Rakyat beramai-ramai meneriakkan nama keadilan, para panglima mulai panik. Mereka berteriak memerintahkan para prajurit bersiaga, untuk bersiap menghadapi situasi yang mulai tidak terkendali.

Mereka memerintahkan prajurit kerajaan untuk menyerang rakyat yang datang menyerbu ke dalam istana. Dan sebahagian diperintahkan untuk bersiaga melindungi para panglima, ternyata perintah para Panglima Talam tidak dipatuhi, prajurit sudah berpihak kepada rakyat, bahkan seketika tidak melakukan perlawanan sama sekali kepada rakyat yang telah bersiaga mengepung kerajaan dari segala penjuru. Para prajurit bahkan menyerahkan senjata mereka kepada rakyat, tanda menyerah.

Para Panglima Talam sudah memperkirakan hasil dari pertempuran ini, mereka pasti kalah. Satu persatu panglima yang dulu sombong dan angkuh, kini telah berlutut memohon ampunan kepada Zarsa dan rakyat Dipamanggala.

“Para penghianat ini tidak lagi pantas memimpin negeri. Kami tidak mau diperintah oleh para Panglima Talam.” Sorak-sorak rakyat menggema di dalam istana. Di tengah kerumunan, Zarsa tersenyum. Ia telah berhasil menaklukan musuh terbesar Kerajaan Dipamanggala, para Panglima Talam telah ditumpas. Dihukum dengan pengadilan kerajaan yang disaksikan langsung oleh rakyat Dipamanggala.

Zarsa tahu bahwa perjuangan itu baru saja dimulai, negeri ini masih harus diperbaiki, tapi setidaknya, ia telah menyalakan api harapan kepada rakyat Dipamanggala. Dan negeri Para Panglima Talam telah runtuh, digantikan dengan panglima baru, harapannya memberikan perubahan untuk kesejahteraan rakyat Dipamanggala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...