Minggu, 19 Januari 2025

DI AMBANG USIA 40 TAHUN: REFLEKSI DAN HIKMAH

Usia sering dikaitkan dengan puncak kedewasaan, dimana seseorang memiliki pemahaman yang lebih matang tentang kehidupan, tanggung jawab dan spiritualitas. Allah SWT telah menyebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an tentang kedewasaan seseorang pada usia 40 tahun (QS. Al-Ahqaf: 15), tetapi di usia 38-39 tahun dianggap sebagai persiapan menuju puncak kedewasaan, kematangan akal dan fase kehidupan yang penuh tanggung jawab secara spiritual.

“…….Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, “ Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhai….” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Usia ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi apa yang telah dicapai dalam kehidupan dunia dan bagaimana persiapan untuk menuju akhirat. Fokus pada konsistensi dalam ibadah wajib dan sunnah, mendidik anak dengan nilai-nilai Islam, menjadi panutan yang baik dalam keluarga dan masyarakat serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW telah menerima wahyu pertamanya pada usia 40 tahun. Dan usia 38-39 tahun adalah waktu yang sangat dekat dengan usia ini, sehingga bisa menjadi momen untuk lebih meneladani akhlak dan perjuangan beliau. Sadarilah bahwa usia ini adalah waktu untuk meninggalkan dosa dan kesalahan yang telah diperbuat dimasa lalu.

Pada usia ini adalah momen refleksi mendalam dan transformasi diri serta titik balik untuk menjadi lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Ada rasa syukur atas pelajaran hidup yang telah diperoleh, baik dari kesuksesan maupun kegagalan. Dan di usia ini banyak orang telah berada di puncak peran sebagai orang tua, suami/ isteri atau sebagai pemimpin didalam keluarga. Islam telah mengajarkan tanggung jawab besar terhadap keluarga, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)

Dalam filsafat timur, khususnya Konfusianisme, usia 40 tahun dianggap sebagai tahap dimana seseorang telah mencapai kematangan moral dan stabilitas dalam mengelola emosional. Dan dalam filsafat Taoisme, usia 40 tahun telah dianggap sebagai waktu untuk memulai menyelaraskan diri dengan alam semesta dan memahami kebijaksanaan dalam kesederhanaan hidup. Selanjutnya dalam Psikologi Analitik Carl Gustav Jung (1875-1961M), seorang psikolog dan psikiater berkebangsaan Swiss, yang berfokus pada perjalanan menuju kebijaksanaan, menekankan pada usia 40 tahun disebut sebagai momen penting dalam individuation yaitu proses mencapai keutuhan diri. Dimana seseorang mulai menerima semua aspek dirinya (baik sisi terang dan gelap) dan mencari makna yang lebih tentang kehidupan.

Filsuf seperti Marcus Aurelius (121-180M), seorang kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 161-180M, dihormati tidak hanya kebijaksanaannya dalam memimpin tetapi juga karena ajaran filosofinya yang mendalam, tercatat dalam karya besarnya yang terkenal yaitu Meditations (sebuah catatan pribadinya yang ditulis pada masa pemerintahannya) dan Seneca (4SM-65M), seorang filsuf Romawi, yang keduanya mengajarkan faham Stoisisme, sebuah aliran filsafat Yunani-Romawi yang menitikberatkan pada kebajikan, pengendalian diri dan hidup selaras dengan alam, bahwa usia 40 tahun adalah masa untuk mendorong refleksi diri dan diharapkan mampu fokus pada apa yang bisa dikontrol, mengembangkan kebajikan dan mampu melepaskan pada peristiwa keterikatan dan keinginan duniawi yang tidak penting.

Pertanyaan eksistensial seperti “Apa arti hidup saya?” atau “Apakah saya hidup sesuai dengan nilai-nilai saya?” sering muncul, mendorong pencarian makna yang lebih mendalam. Filsuf seperti Soren Kierkegaard (1813-1855M) lahir di Kopenhagen, Denmark, salah satu ungkapannya yang terkenal yaitu “Kebenaran adalah subjektivitas” dan Jean–Paul Sartre (1905-1980M), lahir di Paris, Prancis dimana ungkapannya yang terkenal adalah “Manusia dikutuk untuk bebas” telah mendorong kita untuk terus bertanya, merenung dan menemukan jawaban yang autentik bagi diri kita sendiri. Dalam fase ini menitikberatkan pada pentingnya harmonisasi antara pengalaman hidup, nilai-nilai moral dan tujuan akhir manusia.

Dalam berbagai tulisannya, Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981M), seorang ulama, sastrawan dan pemikir besar bangsa Indonesia, memiliki pandangan yang mendalam tentang usia, waktu dan kehidupan. Beliau selalu menghubungkan usia dengan tanggung jawab, refleksi diri, dan hubungan manusia dengan Allah SWT. Sebab usia adalah amanah dari Allah SWT yang harus dipergunakan untuk kebaikan dan bertanggung jawab atas manfaat waktu yang telah diperbuatnya.

Pada kesimpulannya, pengalaman hidup memberikan hikmah tentang pentingnya kesabaran, kedewasaan dalam pengambilan keputusan dan nilai-nilai kebahagiaan sejati lainnya. Sebab semakin bertambah usia diri, selayaknya seseorang harus semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalani hidup yang lebih bermakna yaitu hidup yang digunakan untuk memberi manfaat kepada orang lain, sebagai jalan untuk menuju kebahagian dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...