Minggu, 02 Februari 2025

DI BAWAH LANGIT YANG RETAK

Konflik batin yang masih belum reda. Amarah masih belum hilang. Masalah yang datang dan terus menimpa tiada terperih. Hanya sisakan asa untuk meredam gelombang yang datang menerjang kembali. Aku lepas kendali. Aku limbung.

Masih belum sempat luka ini terobati oleh waktu dan keadaan, engkau hadir kembali. Membawa luka lama untuk kedua kalinya. Hebat nian dirimu, sekejam itu kepadaku. Sebegitu besar rasa sakit hatimu yang masih belum hilang kepadaku. Aku sudah berusaha menjauh dari hidupmu. Tak ada niat untuk kembali hadir dalam hidupmu lagi. Setelah banyak luka yang tak terperih, telah kau sayat dan kau cabik-cabik di dalam hatiku. Aku hancur adindaku. Aku yang dahulu sudah ikhlas melepas kepergianmu. Sebab keputusan dirimu, telah tentukan pilihan pendamping hidupmu sendiri, pilihan itu bukan diriku. Aku pergi dari hidupmu. Untuk selama-lamanya.

***

Setelah sekian purnama silih berganti, menghampiri malam-malamku tanpa dirimu. Hanya seorang diri, harus mampu berjuang sekuat tenaga menjalani hidup ini. Aku tersesat dan hilang arah dalam labirin hatimu, berusaha bangkit untuk mampu menapak dan seolah diberikan kesempatan hidup kedua kalinya di atas muka bumi ini. Setelah kejadian itu, engkau telah memutuskan tuk memilih dirinya wahai adindaku. Sosok pengusaha muda nan sukses, penuh wibawa dan berakhlak mulia menurutmu. Sedang janji yang dulu pernah sama-sama kita ikrarkan di taman itu. Setia sampai ajal menjemput. Kau hancurkan dengan kejamnya egomu. Ego keluarga besarmu.

Harta bagimu adalah segala-galanya. Begitu juga dengan orangtuamu. Mereka memilih jodohmu untuk menikahkan dirimu dengan pengusaha muda berakhlak mulia. Dan kontras dengan diriku dulu. Pria muda yang hidupnya penuh dengan kesengsaraan. Masa depan yang suram. Tak ada harapan untuk bisa menghidupimu dan keluargamu, jika kita menikah saat itu. Begitu penuturan halusnya bahasa penolakan dari kedua orangtuamu. Saat dahulu aku memberanikan diri untuk menyampaikan niatku, niat mulia ingin mempersunting dirimu. Ternyata hanya membawa harapan hampa. Dimana dirimu hanya diam, tanpa ada sikap pembelaan kepadaku. Seolah membenarkan semua perilaku orangtuamu kepadaku. Ruang tamu jadi saksi bisu. Saat mereka, kedua orangtuamu dengan yakinnya mempersilahkan diriku untuk mencari sosok pendamping wanita yang lain. Yang sudi kiranya menerima diriku, sosok durjana yang hidupnya penuh dengan kesengsaraan. Malam itu, aku pulang dari rumahmu, masih ditemani cahaya bulan purnama. Aku pamit mengundurkan diri dari hidupmu wahai adindaku. 

“Ira maafkan aku. Aku undur diri dari hidupmu. Doaku semoga pilihanmu dan orangtuamu adalah pilihan yang terbaik untuk hidupmu nanti.” ucapku dengan nada terbata-bata dan penuh penyelasan yang mendalam.

“Maafkan diriku Bang Alga yang sudah menolak cintamu. Suatu saat nanti dirimu akan mengerti tentang keputusan yang telah kupilih saat ini.“ balas Ira kepadaku dengan nada gelisah dan penuh kesedihan. Entah itu hanya sekedar sandiwara belaka, atau memang realita yang sedang dialami batinnya. Bersedih telah berpisah denganku.

***

Bulan Sya’ban, kalender dalam penanggalan Islam, telah dijalani dan akan segera berakhir pula. Sebentar lagi bulan yang dinanti akan segera tiba. Bulan Ramadhan tepatnya. Bulan penuh rahmat dan ampunan-Nya. Aku rindu bulan itu, ingin setiap siang dan malamnya selalu berusaha menghiasi dengan beribadah kepada Tuhanku, Sang Maha Pemilik Hati dan Hidup. Semoga doa ini dapat dikabulkan oleh Tuhanku.

Sosok seorang mamak nun jauh dikampung halaman, selalu mengingatkanku dengan lembut dan halus bahasa kasih sayangnya kepadaku, bahwasanya bulan Ramadhan akan segera tiba. Dan nasehatnya perbanyak amalan wajib dan sunnah dibulan itu. 

“Harus bergembira menanti datangnya bulan Ramadhan ya bang Al.” suara dari ujung telepon yang doa dan nasehatnya selalu kurindukan setiap malam.

“Iya Mak. Mohon doanya, agar anakmu selalu bahagia menanti bulan Ramadhan yang datang tahun ini Mak.” jawabku dengan nada lirih penuh kerinduan yang mendalam kepadanya, mamak yang dirinya sudah mulai ujur termakan usia, dikampung halaman yang jauh disana dan selalu kurindukan untuk segera pulang menemuinya.

Saat aku berpamitan dahulu, hendak merantau ke Kota Jakarta, setelah kejadian yang menghancurkan hidupku atas pilihan pendamping hidup Ira, memilih calon suaminya yang itu bukan diriku. Perih menimpa diriku, susah dijabarkan dengan kalimat penjelas apapun itu. Sosok Mamak adalah tempatku bersandar, yang saat itu tak rela melepas kepergian anaknya merantau ke negeri jauh. Air mata ikhlas dan pelukan hangatnya saat melepas diriku, masih kuingat sampai saat ini. Aku ingin memberikan disisa hidupnya, kebanggaan atas hidup ini. Yang dulu sudah mereka hinakan kepadaku dan orangtuaku. Aku hancur tak bertepi. Aku hilang arah wahai Tuhanku, Sang Maha Pemilik Siang dan Malam.

***

Sudah seminggu belakangan ini, aku telah bersusah payah, bekerja sampai jauh malam menyusun laporan presentasi ini. 

“Aku takut gagal. Aku takut mengecewakan banyak pihak yang telah terlibat dalam proyek ini.” gumamku dalam hati. Sambil mata ini melirik jam dinding yang serasa begitu cepat meliukkan dentang jarum pendeknya ke angka pukul 02.00 pagi.

Aku selalu berusaha dengan penuh kesungguhan dan kesabaran, untuk kelancaran dan kesuksesan presentasi proyek ini. Setiap malam, sebelum kumulai pengerjaan laporan ini, doa dan munajat selalu ku panjatkan kepada-Nya. Meminta pertolongan semoga diberikan kekuatan pada diriku yang lemah dan tak berdaya ini untuk mampu menyelesaikan tantangan berat yang sedang ku jalani.

Akhirnya malam ini aku telah mampu menyelesaikan seluruh laporan presentasi proyek yang besok pagi akan kusampaikan dikantorku. Tamu undangan yang hadir, mereka para pemilik modal yang akan berinvestasi diproyek tender perumahan yang sedang kami tawarkan sebelumnya. Persiapan dan pengumuman tender melalui undangan langsung telah disampaikan ke masing-masing pihak investor. Pelaksanaan proyek perumahan yang saat ini sedang dirintis bersama dengan tim akan memulai alur cerita hidup bisnis ini, semoga terlaksana dan bisa berjalan dengan sukses kedepannya. Doa yang tak kunjung lelah, yang senantiasa selalu ku panjatkan kepada Tuhanku, Sang Maha Pemilik Langit dan Bumi.

***

Berlinang air mata ini. Telah banyak ku korbankan segalanya, waktu, tenaga dan pikiran. Sampai ditahap ini, aku masih tidak percaya. Perlahan tapi pasti, proyek perumahan yang ku rintis dengan tim mulai membuahkan hasilnya. Para pemilik modal mulai berani mempercayakan uangnya kepada perusahaan kami. Dan aku selalu berusaha meyakinkan diriku. Untuk bisa sukses dan mulai berani melihat masa depan, yang dahulu tak akan mungkin bisa kuraih, walau hanya dalam mimpi sekalipun. Hinaan dan cacian yang mereka lontarkan kepadaku, selalu datang dan hadir menghantui hidupku, yang sekarang perlahan mulai sirna. Hingga kebahagian itu akan datang dengan sendirinya.

“Pagi Pak Al, ada tamu yang mau jumpa dengan Bapak. Sudah menunggu lama di ruangan kerja Bapak sejak jam 8 pagi.” ucap salah satu staf Asisten Marketing kepadaku melalui panggilan telepon.

Setelah turun dari mobil, aku langsung menuju ruang kerjaku. Hingga tergesa-gesa menghampirinya, semoga beliau tidak kecewa menungguku yang terlalu lama sampai dikantor pagi ini. Sebab janji ini begitu penting. Aku hampir menggagalkan proyek ini. Beliau adalah Pak Aritonang, salah satu penanam modal di perusahaan kami. Sosok pengusaha sukses, aku telah banyak belajar kepadanya. Dan telah berhutang budi kepada beliau, besarnya kebaikan yang telah diberikan kepadaku. Tak mampu aku membalasnya. 

Pinjaman modal yang jumlahnya begitu besar sampai diangka milyaran, telah dipercayakannya kepada perusahaan kami. Tanpa pernah takut akan rugi yang dialaminya nanti, apabila proyek yang dijalankan tidak berhasil atau gagal. Kami tahu, perusahaan ini masih mulai merintis dan masih belum banyak pengalaman untuk menjalankan bisnis dibidang properti ini.

“Mohon maaf Pak telah menunggu lama. Jalan menuju kantor macet Pak.” ucapku memulai pembicaraan kami berdua dengan nada lirih menunjukkan penyesalan. Sambil berjabat tangan. Dan menawarkan minuman teh pahit tanpa gula kegemarannya, kalau sedang berkunjung ke kantorku. 

Panjang lebar telah ku sampaikan maksud dan tujuan proyek ini, hingga mampu meyakinkan beliau. Bahwasanya mega proyek perumahan ini akan dibangun tahun depan dan butuh investor atau penanam modal yang besar pula, dengan konsep keuntungan atau bagi hasil yang sangat menjanjikan telah kusampaikan kepadanya. Semoga bisa terlaksana dengan sukses dan kelak nantinya punya kisah perjuangannya sendiri. Waktu yang akan berikan jawaban itu nantinya.

“Baiklah Pak Alga, perusahaan kami akan senang dan bangga, jika diizinkan untuk ikut bergabung dengan mega proyek ini nantinya. Kami akan memberikan investasi berupa pendanaan yang besar kepada proyek ini.” ucap Pak Aritonang dengan nanda meyakinkan kepadaku, sambil menyeruput teh pahit kegemarannya.

“Terima kasih Pak. Perusahaan kami akan berusaha memberikan hasil dan keuntungan yang terbaik bagi para investor atau penanam modal yang telah mempercayakan investasinya kepada perusahaan kami.” jawabku dengan nada yang tegas kepada Pak Aritonang, sosok pengusaha sukses yang sikapnya sederhana dan bersahaja dimataku.

***

Gambar profile pesan yang sampai di handphoneku, serasa tidak asing. Pernah ada dan hadir dalam hidupku dulu. Sebuah pesan singkat di WA handphoneku. Meminta bantuanku. Aku baca perlahan pesan tulisannya. Sosok itu memintaku untuk membantu hidupnya dan keluarganya. Wanita itu tak lain adalah Ira, sosok perempuan yang dulu telah mencampakkan diriku. Setelah puluhan tahun berlalu, masa lalu yang begitu pahit menimpaku, telah ku simpan rapat-rapat. Berharap jangan datang kembali dihidupku, ternyata Ira datang memohon belas kasihanku. Seakan dunia ini masih belum sepenuhnya ikhlas melepas ketersiksaan batin dan hidupku.

“Aku masih belum kuat untuk menerima kehadiranmu kembali dihidupku Ira. Aku sudah menemukan kebahagian hidupku disini, dengan jerih payah yang telah ku bangun sampai dititik ini. Aku terlalu mencintaimu, sampai sekarang rasa itu masih ada. Kenapa engkau hadir kembali, masih belum lelah dirimu menyiksa batin dan hidupku.” gumamku dalam hati, seraya mengutuk diriku yang masih menyisakan rasa cinta yang begitu mendalam kepadanya.

“Maafkan kesalahanku yang dulu wahai lelaki yang pernah singgah dihatiku. Aku tidak bermaksud mengganggu hidupmu lagi. Aku berharap dirimu telah berusaha memaafkan kesalahanku dimasa lalu. Aku saat ini bermohon belas kasihanmu. Bisnis keluargaku telah hancur. Harta benda kami telah tergadaikan semuanya. Orangtuaku terlilit hutang. Semoga dirimu sudi kiranya memberikan bantuan kepadaku. Dan orang tuaku yang dahulu telah membuatmu sengsara, sudikah dirimu memberikan maaf kepada mereka berdua.” Lama kubaca pesan yang ditulis Ira kenomor WA pribadiku, yang permohonannya sulit dan tak mungkin dapat ku tolak. Aku hilang kewarasan. Terbesit dipikiranku ingin membalaskan dendam rasa sakit hati ini yang tak terperihkan dulu. Aku lemah dan tak berdaya.

***

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Aku memutuskan pulang, untuk menemui Mamak di kampung halaman. Telah lama rasa rindu ini ku pendam. Menjelang sehari sebelum Ramdhan tiba, aku telah sampai di kampung halaman, tanpa sepengatuan Mamak pastinya, aku tiba disini. Dikampung ini untuk waktu yang lama telah ku ikhlaskan rindu ini, untuk tak berjumpa dengan suasana itu, suasana lampu jalanan nan redup dikala menjelang senja hari, masjid tua yang kurindukan sholat berjamaah di dalamnya dan rumah masa kecilku yang telah direnovasi dan tidak menghilangkan nilai kenangan dibangunannya.

Kepulanganku kali ini, ada kisah cerita cinta masa lalu yang belum selesai dan harus diputuskan akhir ceritanya. Berpisah atau lanjut, kisah cinta antara aku dan Ira.

Malam Ramadhan pertama telah tiba. Udara sore terasa sejuk. Lampu-lampu jalan nan redup mulai menghiasi senja. Suasana sakral malam bulan suci ini, seolah menjadi saksi bisu pertemuan terakhir kami berdua. 

Setelah seharian aku merenung, akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan Ira. Kami duduk di taman yang tenang, jauh dari keramaian, tempat kami dahulu berdua menghabiskan waktu bersama. Kali ini suasana terasa begitu berbeda, aku sudah mempersiapkan diri untuk mampu berbicara jujur kepadanya.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini. Aku sudah memikirkan semuanya Ira.” ujarku memulai pembicaraan dengan suara tenang namun tegas.

“Hati ini masih mencintaimu, itu tidak dapat ku pungkiri. Tapi rasa cinta ini belum cukup untuk menyembuhkan luka yang telah lama kau tinggalkan.” sambung ku lagi kepada Ira dengan nada lembut nan menghanyutkan.

Ira menatap ku dengan harap, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku juga tidak menyangka. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk kita berbicara, di bulan yang penuh ampunan ini. Aku tahu, aku telah menyakitimu. Aku menyesal. Aku benar-benar berubah. Aku tidak lagi mencari harta benda atau kekayaan. Aku hanya ingin kembali kepadamu, kepada cinta kita yang sejati Bang Al.” balas Ira kepadaku, setelah sebelumnya Ira menyampaikan kepadaku bahwasanya dirinya telah lama berpisah dengan mantan suaminya yang dahulu. 

Aku menghela napas. Lalu dengan perlahan berucap kepada Ira kembali.

“Aku percaya kamu sudah berubah. Tapi aku juga telah berubah Ira. Saat ini, aku masih belum bisa melupakan kejadian itu, bagaimana dirimu bisa meninggalkan diriku dulu, memilih orang lain hanya karena dia lebih berada dan berkecukupan secara materi dibandingkan dengan diriku. Itu menyakiti hatiku, lebih dari yang bisa kamu rasakan dan bayangkan.”

Ira menunduk, air matanya mulai jatuh perlahan membasahi pipinya.  

“Aku tahu aku salah, aku benar-benar menyesal, maafkan aku yang tidak mungkin mampu tuk mengubah masa lalu kita. Tapi aku berjanji akan merubah dan memperbaiki semuanya dimasa ini dan masa depan kita berdua nanti.”

Aku tersenyum simpul, tanpa terasa air mata ini pun menetes dipipiku.

“Aku menghargai kejujuranmu. Tapi kali ini, aku harus memilih diriku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dengan keadaan yang sama, dan terluka lagi seperti yang dulu. Aku sudah memafkan dirimu jauh sebelumnya. Semoga dirimu menemukan kedamaian dan kebahagiaan dihidupmu yang sekarang. Kita berpisah dengan ikhlas, tanpa dendam dan saling mendoakan di Ramdhan ini dengan doa yang terbaik untuk hidup masing-masing. Mungkin ini cara Tuhan mengajarkan kita untuk ikhlas.”

Ira mengangguk tanda isyarat setuju. Sambil sesekali menyeka air mata yang membasahi pipinya. Lalu menyampaikan kalimat penutupnya kepadaku.

“Aku tahu ini sudah keputusanmu Bang Al. Aku berharap dirimu bisa menemukan kebahagian yang sejati, walau tanpa diriku lagi dihidupmu nanti. Mungkin sudah waktunya kita melangkan ke depan, dengan tujuan hidup kita masing-masing.”

Sebelum pertemuan ini berakhir dengan tiada lagi penyelasan diantara kami berdua. Aku selalu berdoa dan berharap yang terbaik buat Ira dan keluarganya. Aku telah memenuhi seluruh kebutuhan materi yang kemarin sempat Ira sampaikan kepadaku. Seluruh hutang piutang kedua orang tuanya telah kulunasi, tanpa sedikit pun menyimpan rasa amarah dan dendam kepada kedua orang tuanya. Aku telah ikhlas dengan keputusan ini. Keputusan yang terbaik untuk kami berdua. Berpisah untuk selama-lamanya. Aku telah melepas senja di Ramadhan pertama ini dengan perasaan lega dan meski ada sedikit rasa sedih dalam diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...