Kamis, 12 Juni 2025

BAYANG DI UJUNG SENJA

Senyumannya tak lagi sama. Hati beku, seolah telah padam. Namun, harapan tidak boleh hilang. Untuk dapat mencintai dirinya. Kesalahan telah diperbuat, semoga pintu maaf masih terbuka. Perasaan berkecamuk, antara kebencian dan cinta. Meski rasa itu telah pergi, harapan masih ada. 


Dulu, senyumnya adalah cahaya pagi yang menghangatkan hari-hari Damar. Kini, senyum itu telah redup, hilang entah ke mana, seakan tak pernah hadir untuknya. Rania, sang bidadari yang pernah mengisi relung hatinya, telah pergi. Bukan karena jarak, tapi karena luka yang Damar torehkan sendiri.

Kesalahannya bukan kecil, ia mengabaikan, menyakiti tanpa sadar, dan terlambat menyadari bahwa cinta tidak selalu menunggu. Kata-katanya tajam, tindakannya dingin, hingga saat itu tiba, Rania memilih pergi…tanpa menoleh lagi.

***

Damar dan Rania telah menjalin kasih tiga tahun lamanya. Rania, wanita yang penuh kesetiaan dan perhatian kepada Damar. Setelah menginjak tahun ketiga hubungan mereka, Damar mulai berubah. Bukan karena ia tak cinta, tapi karena terlalu fokus mengejar ambisi dan cita-citanya. Ia mulai menjauh, bersikap dingin, dan meremehkan perasaan Rania. Ia lupa bahwa cinta tak bisa dibiarkan tumbuh sendiri.

Puncaknya terjadi ketika Rania sedang mengalami masa sulit, ayahnya sakit keras, keluarganya mengalami masalah finansial, dan ia membutuhkan sandaran. Tapi Damar, sandaran hatinya, justru menghilang.

Bukan hanya itu. Dalam satu malam penuh emosi, Damar sempat menuduh Rania terlalu bergantung padanya. Ia mengucapkan kalimat yang tak pernah bisa dilupakan Rania:

"Kamu ini terlalu lemah. Semua masalah kamu lempar ke aku. Aku juga punya hidup sendiri!"

Rania tidak berkata apa-apa malam itu. Ia hanya menangis diam-diam, lalu pergi, dan tidak kembali.

Beberapa minggu setelahnya, Damar sadar, bukan Rania yang lemah, tapi ia yang gagal menjadi sandaran. Ia menghancurkan kepercayaan yang selama ini dibangun dengan cinta dan kesabaran.

***

Sudah berbulan-bulan Damar hidup dalam penyesalan. Ia mencoba menulis, memahat kenangan dalam puisi, menggali makna dari tiap air mata. Tapi semua itu tak cukup. Maaf belum datang, dan Rania pun tak pernah memberi tanda. Untuk memberi maaf kepada Damar.

Namun Damar tahu, harapan adalah teman yang tak pernah meninggalkannya. Maka, ia mulai menapak perlahan, berjalan menyusuri tempat-tempat kenangan yang dulu pernah mereka singgahi. Ia menanam bunga di taman kecil pinggir kota, tempat mereka pernah duduk bersama, sambil mendengarkan rintik hujan yang turun membasahi tanah taman kota.

Saat malam tiba, Ia menulis surat diheningnya malam, lalu membakarnya saat fajar menyingsing, bukan karena putus asa, tapi menebus kesalahan dengan kejujuran.

Hari demi hari dilalui, ia belajar menjadi pribadi yang baru. Bukan untuk menunjukkan perubahan, tapi untuk menjadi lebih baik, meski cinta itu tak pernah kembali.

***

Damar berdiri di bawah lampu kamar yang remang. Di tangannya selembar surat yang telah kusut. Ia menatap langit, lalu berbicara, seolah kepada Rania yang tak terlihat.

“Sudah berbulan-bulan aku berjalan, Ran...

Bukan ke tempat yang jauh-tapi ke dalam diriku sendiri. Setiap langkah di taman tempat kita dulu berbagi tawa, adalah langkah yang mengingatkanku pada hari-hari ketika aku lupa menjadi manusia, yang seharusnya ada untukmu. Menjadi sandaranmu.

Aku menanam bunga di sana. Satu per satu. Bukan karena aku ingin kau melihatnya, tapi karena aku butuh melihat sesuatu tumbuh…dari luka yang aku tanam sendiri.

Setiap malam, aku menulis surat. Bukan untukmu, tapi untuk hatiku sendiri. Lalu kubakar saat fajar. Bukan karena aku ingin melupakan, tapi karena aku ingin menebus kesalahan.

Dengan setiap huruf yang terbakar, aku hancurkan ego,

aku bakar angkuhku.

Kau tahu, Ran? Keheningan adalah guru yang tak pernah berbohong. Dan selama ini, aku mendengarnya.

Aku salah. Dan kesalahan itu bukan hanya menyakitimu.

Tapi membunuh bagian terbaik dalam diriku.

Tapi aku tak di sini untuk meminta maaf itu datang.

Tidak. Karena maaf…bukan hakku.

Aku hanya ingin kau tahu: Jika suatu hari langkahmu kembali melewati taman itu, dan kau melihat bunga yang mekar di bawah rinai hujan

Ketahuilah…itu tumbuh dari penyesalan yang jujur.

Dan dari cinta, yang tak pernah benar-benar pergi.”

***

Suatu senja, saat matahari menggantung rendah di ujung cakrawala, Damar berdiri di tepi danau. Tempat terakhir ia dan Rania bertemu, tempat di mana ia berjanji untuk berubah, namun tak kunjung terjadi. Kini ia kembali, bukan untuk meminta, tapi untuk menyerahkan seluruh harapannya kepada waktu.

Tak disangka, Rania datang menghampiri, tak disengaja, katanya. Matanya menatap Damar lama, dingin namun tak sekeras dulu.

“Kenapa dirimu masih di sini?” tanya Rania pelan kepada Damar.

Damar tersenyum, getir namun tulus. “Meski cintamu telah pergi, aku masih mencintaimu. Bukan untuk memaksamu kembali, hanya ingin kau tahu…aku tak pernah lari dari kesalahan.” Balas Damar dengan nada penuh penyesalan.

Rania tak menjawab. Tapi matanya, yang semula beku, mulai mencair. Entah karena angin senja atau karena kejujuran perasaan Damar yang sampai di relung hatinya.

Dan di tengah senyapnya senja, tak ada janji yang dibuat. Tak ada pelukan, tak ada kata cinta. Hanya dua manusia yang saling menatap, menyadari bahwa perjuangan tak selalu tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk menghadapinya.

***

Senja berganti malam. Danau masih tenang, seolah ikut menahan napas menyaksikan pertemuan yang tak terduga itu. Rania masih berdiri di tempatnya, diam, menatap lelaki yang dulu telah membuatnya menangis tanpa suara.

“Sudah berapa lama kamu menunggu di tempat ini?” tanyanya Rania lirih.

“Cukup lama untuk belajar menunggu tanpa mengeluh. Cukup lama untuk sadar bahwa kehilanganmu… mengajarkanku menjadi manusia yang lebih baik.” Jawab Damar kembali.

Jawaban itu membuat dada Rania sesak. Dulu, ia pergi karena merasa Damar tak lagi memperjuangkannya. Ia lelah menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Tapi kini, yang berdiri di hadapannya bukan Damar yang dulu. Mata itu penuh kejujuran, bukan lagi keangkuhan. Suaranya tenang, bukan lagi membungkam.

***

Rania menatap ke danau, lalu kembali menatap langit. Bintang pertama malam itu muncul perlahan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata,

“Aku tak pernah benar-benar berhenti mencintaimu, Damar. Tapi aku takut. Takut kamu akan menyakitiku lagi.” Ucap Rania dengan nada penuh kejujuran.

Damar mendekat, namun menjaga jarak. “Aku tak bisa menjanjikan dunia, Ran. Tapi aku bisa janjikan satu hal: kali ini aku akan berjalan bersamamu, bukan di depanmu, dan bukan pula meninggalkanmu.”

Air mata jatuh di pipi Rania. Bukan karena luka, tapi karena hatinya yang pelan-pelan luluh.

Lalu, dengan langkah perlahan, ia menghampiri Damar. Mereka berdiri berhadapan, hanya sejengkal jaraknya. Tak ada pelukan dramatis, hanya genggaman tangan yang sederhana, tapi hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rania tersenyum, senyum yang dulu hilang, kini kembali menghiasi wajahnya.

“Kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki semuanya,” katanya pelan,

“Maka mari kita mulai dari awal. Bukan sebagai kelanjutan dari masa lalu, tapi sebagai dua orang yang memilih untuk memulai lagi, dengan hati yang baru.”

Damar mengangguk. Malam pun terasa lebih terang dari biasanya.

Di tepi danau itu, dua hati yang dulu hancur perlahan disatukan kembali. Bukan oleh kata-kata manis, tapi oleh kejujuran, luka yang disembuhkan, dan cinta yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan senyuman itu…kini telah kembali. Bukan sekadar kenangan, tapi sebagai harapan yang menjadi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...