Sore itu, di kamar kos sempitnya hanya diterangi lampu meja, Rian duduk menatap layar laptopnya. Tumpukan buku kuliah terbuka di sampingnya, menunggu untuk dipelajari. Matanya lelah, pikirannya penuh, tapi bukan hanya karena tugas kuliah. Ada beban lebih hebat lagi menghimpit pikirannya, rasa kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Sedari kecil, ia tumbuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti, keluarganya akan berdiri di sampingnya, mendukung seluruh impiannya. Namun ternyata, kenyataan berkata lain. Setiap kali Rian bercerita tentang kesusahan hidupnya di perantauan, jawabannya selalu sama, “Kamu harus kuat. Jangan mengeluh. Kami juga sedang berjuang di sini.”
Di layar ponselnya, ramai percakapan di grup keluarga yang tak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Hanya tentang acara keluarga, tentang pencapaian saudara-saudaranya, tapi tidak pernah ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, “Rian, bagaimana kabarmu disana? Kapan kuliahmu akan selesai?”.
Ia menghela nafas, mematikan layar laptopnya. Tidak ada gunanya larut dalam kekecewaan. Ia telah sampai sejauh ini, bukan karena dukungan mereka, tapi karena tekad dan usahanya sendiri.
Suasana malam semakin larut, tapi Rian masih tetap terjaga. Dibalik kesunyian malam, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu saat nanti ia akan berhasil. Bukan untuk membuktikan diri pada keluarga yang tak pernah peduli, tapi untuk penghargaan terhadap dirinya sendiri. Karena pada akhirnya nanti, hanya dirinya yang benar-benar tahu seberapa berat perjuangan ini.
***
Aktivitas hari ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya, pagi kuliah, sore bekerja paruh waktu, dan malam harinya belajar sampai larut malam, kembali mengulanginya lagi esok hari. Rutinitas yang dijalani Rian hampir sepanjang tahun. Terkadang rasa jenuh dan bosan itu datang, tapi Rian tidak menghiraukannya. Selama matahari masih bersinar, ia tidak pernah lelah menggapai impiannya.
Sudah seminggu, sejak pesan itu sampai kepada orang tuanya di kampung halaman, meminta tambahan uang bulanan. Kemungkinan tidak direspon sudah pasti, sebab permintaan ini sudah pernah sampai dua bulan yang lalu kepada orang tuanya. Mereka melupakan begitu saja, tidak ada kabar dan kepedulian kepada dirinya. Ia sudah hafal pola ini, setelah pesan dikirim, dibaca, dan dilupakan begitu saja.
Rian tidak lagi berharap banyak. Ia sering kecewa. Sejak meninggalkan kampung halaman, mengejar mimpi menjadi seorang arsitek, ia tahu tantangannya, berjuang sendiri. Orang tuanya sibuk membantu keluarga besar di desa, membantu paman merintis usaha, membiayai sepupu menikah, dan ikut membiayai renovasi rumah nenek, sedang untuknya? Tidak ada.
Awalnya, ia sampaikan kebutuhan dan biaya hidupnya di perantauan, ia berharap ada perhatian, tapi seiring berjalannya waktu, ia berhenti menunggu jawabannya. Ia tahu, ia harus bertahan, sebab tidak ada pilihan lagi.
Karena itu, ia bekerja paruh waktu, mencuci piring di warteg, menjadi asisten dosen, bahkan mengerjakan tugas dari mahasiswa lain, untuk mendapatakan uang tambahan. Lelah? Sudah pasti, tapi ia bertahan dan tidak boleh menyerah.
Selama matahari masih bersinar, ia berdiri dan berjuang. Untuk dirinya, sebab di dunia ini, terkadang orang yang bisa diandalkan adalah diri sendiri.
***
Rian menatap jendela kamar kosnya, memikirkan jalan mana yang harus dipilih, saat angin malam berhembus pelan, membawa kegelisahan yang tak kunjung reda. Di satu sisi, ia tinggal selangkah lagi menuju kelulusan. Tapi di sisi lain, ia masih memiliki tunggakan uang kuliah yang segera dilunasi.
Tak berselang lama, pesan Rian yang dikirim kepada sahabatnya, mengerjakan proyek dosen mereka di luar kota. Akhirnya, balasan pesan sahabatnya sampai ke ponselnya.
“Bro, ikut kami saja kerjakan proyek dosen. Enam bulan cukup untuk melunasi semua biaya kuliahmu yang masih terhutang. Nanti kamu bisa ikut wisuda tanpa beban lagi.”
Sebuah tawaran yang menggiurkan. Tapi, akan menunda kelulusannya, yang ia perjuangkan mati-matian selama ini. Di sisi lain, tetap bertahan di kota ini tanpa kepastian dana, membuatnya semakin terpuruk. Mencari pinjaman? tapi dari siapa, orang tuanya? Hanya berkata: “Tidak ada dana, sabarlah.”
Rian menutup matanya sejenak, ia terlalu lama bersabar. Untuk kali ini, ia harus membuat keputusan. Malam ini, ia bersujud, memohon petunjuk kepada Tuhannya. Semoga diberikan pilihan yang benar untuk masa depannya. Setelah ia bangkit dari sajadahnya, hatinya kembali tenang. Apa pun pilihannya, ia tahu perjuangan belum berakhir, melangkah atau bertahan sejenak, satu hal yang pasti, ia harus menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
***
Enam bulan berlalu, dan Rian kembali ke kota tempat semua perjuangannya bermula. Tak ada spanduk penyambutan, tak ada peluk haru dari keluarga, hanya dirinya dan sebuah koper yang mulai lusuh karena terlalu sering menemaninya berpindah-pindah tempat kos. Ia menginjakkan kaki kembali di kampusnya dengan hati yang lapang. Uang sudah terkumpul, tunggakan lunas, dan ia siap kembali mengejar mimpinya yang sempat tertunda.
Satu demi satu langkah kecil ia tempuh, menyelesaikan skripsi yang sempat terbengkalai, menyiapkan laporan KKN, hingga akhirnya tiba hari yang selama ini hanya berani ia impikan: hari wisuda.
***
Gedung auditorium dipenuhi wajah-wajah penuh senyum, orang tua memeluk anak-anak mereka dengan bangga. Rian berdiri sendirian, mengenakan toga yang disewa dari koperasi kampus. Ia tersenyum kecil, pahit manis hidup ini seolah terwakili oleh kain hitam di tubuhnya.
Namun ketika namanya dipanggil naik ke panggung, seluruh ruang seolah membeku sesaat. Ia melangkah kan kaki ke depan, suara riuh kecil terdengar di antara barisan belakang penonton.
"Rian!"
Ia menoleh. Di antara kerumunan, berdiri ibu dan ayahnya, berpakaian sederhana, wajah mereka menua, lelah, namun kali ini penuh penyesalan dan haru. Mereka datang. Terlambat, mungkin. Tapi tetap datang.
Setelah turun dari panggung, mereka menghampirinya. Ibunya memeluknya erat, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah.
“Maafkan kami, Nak... Kami terlalu sibuk menjaga harga diri di depan orang lain, sampai lupa kamu sedang berjuang sendiri.”
Rian diam sejenak. Hatinya berkecamuk. Ada luka, ada kecewa, tapi juga ada kelegaan. Ia mengangguk pelan.
“Aku tidak butuh maaf. Aku cuma butuh kalian tahu… aku sampai di sini bukan karena siapa-siapa. Tapi aku senang kalian datang.”
Hari itu, matahari bersinar terang. Bukan sekadar terang biasa, tapi hangat, menyinari lembar baru hidup Rian. Tak lama setelah wisuda, ia diterima di sebuah firma arsitektur ternama lewat proyek luar kota yang dulu ia kerjakan. Bukan karena koneksi, tapi karena kualitas karyanya yang luar biasa.
Ia menyewa apartemen kecil di tengah kota, mulai hidup mandiri dengan penghasilannya sendiri. Setiap kali ia membuka jendela dan melihat matahari pagi, ia tersenyum. Bukan lagi senyum getir, tapi senyum pemenang, karena ia tahu, semua luka, semua lelah, telah berubah menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depannya.
Dan saat ia menggambar rancangan rumah pertamanya untuk klien, bukan rumah megah, melainkan rumah kecil sederhana di desa, ia menulis di pojok bawah kertas itu:
“Untuk semua pemuda yang berjuang sendirian: matahari masih bersinar, dan kita masih punya harapan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar