Rabu, 08 Januari 2025

HATIMU ADALAH MILIKMU

Semilir angin menyempurnakan kebahagiaan. Dikala sang mentari masih tersenyum simpul. Dan perlahan mulai mengitari gunung ungaran. Memberi harapan dan semangat pagi ini. Kulangkahkan kaki, menatap ke depan dengan penuh keyakinan. Pagi ini, tak terbesit kegagalan yang kemarin menyelimuti kondisiku. Hancur dan berantakan tepatnya. Judul skripsi yang kuajukan ditolak dengan halusnya bahasa dan budaya mereka. Tak bermakna bagi mereka. Gagal adalah gagal. Tak memiliki belas kasihan. Walaupun sebenarnya aku tak ingin dikasihani oleh mahluk seperti mereka.


“Pagi Mas Ardi.” sapa induk semang kami padaku. Aku tersenyum dan langsung membalas sapaannya. “Pagi juga Pak.”

“Maaf Pak, untuk uang kontrakan bulan ini, kami minta waktu seminggu lagi ya Pak. InsyAlloh kami akan melunasi secepatnya Pak.” kumulai pembicaraan dengan mimik wajah yang memelas.

“Iya, ndak apa-apa Mas Ardi. Bapak ndak memaksa kok. Kalau memang belum ada, ya jangan dipaksakan dulu.” balasnya padaku.

Dengan penuh keramah-tamahan Pak Bono menerima alasanku. Tapi aku tahu dengan hatinya, tidak senyaman itu menerima argumentasiku. Semoga.

Sudah hampir tiga bulan uang kontrakan kami belum dibayar. Sementara gajiku mengajar, belum cukup untuk melunasi tunggakan kontrakan kami. Terpaksa harus kais kiri dan kanan. Itupun belum cukup untuk melunasinya.

***

Suasana awan sore menyelimuti kampusku. Belum sempat tetesan peluh ini ku usap. Sosok wanita itu datang mendekat. Perlahan merapat dibangku panjang taman kampus, persis disampingku. Aku beku. Sel-sel darahku serasa berhenti mengalir. Hanya degup jantung yang saat ini mampu tuk berdetak. Dan tak bisa kuajak berkompromi. Diam untuk sejenak.

Sepasang insan yang berdampingan. Hanya berdiam diri. Dan malu untuk meperkenalkan diri. Perlahan sosok itu menoleh padaku. Bertanya sesuatu. Tak mampu ku membalas tanya nya. Hanya beku. Dia mengulangi lagi tanya nya padaku.

“Maaf, anda kenal dengan Mas Ardi. Mahasiswa Jurusan Akuntansi.” ucapnya dengan nada melumpuhkan kewarasanku. Aku menderita amnesia. Tak mengenal siapa namaku sendiri.

“Ya. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu mbak?” balasku dengan nada terbata-bata.

Kondisi pembicaraan yang tak seimbang. Bergaya defensif yang klasik. Tak waras kalau aku masih berkutat dengan basa-basi yang tak bermakna ini. Hanya bergaya bunglon. Tak mampu bersikap apa adanya.

Semua telah dia bicarakan padaku. Hanya butuh kepastian dariku. Bisa fix dengan jadwalku sendiri. Agar maksud dan keinginannya terpenuhi. Menyusun laporan keuangan untuk kantor perangkat desa tepatnya. Dimana ia melakukan penelitiannya sekarang.

“Maaf Ai, aku harus permisi dulu. Janji dengan Dosen pembimbingku telah tiba.” sergahku memotong pembicaraan kami berdua. Wajahnya mengisyaratkan tanda setuju untuk menyudahi pembicaraan ini. Perpisahan disore ini menghancurkan hegemoni hidupku. Aku tak rela dia menjauh dariku. Tapi janji untuk bertemu dengan nya, seakan menginspirasiku untuk bertahan hidup. Walau aku harus menderita dengan lamanya sang waktu akan bergulir. Perlahan, aku beranjak meningggalkan sosoknya. Sendiri, duduk dibangku panjang taman kampus.

***

Bersama sahabat, menyeruput kopi hangat tanpa gula. Diteras depan kontrakan kami. Berbicara mengenai kehidupan sepanjang hari ini. Berbagai aktivitas telah dilakukan. Gagal dan sukses mewarnai. Hanya kesabaran tempat bernaung.

“Di, besok aku akan pulang. Menjumpai kedua orang tuaku.” ucap Ian, sahabat berambut ikal, memulai pembicaraan sore ini. Lalu meneguk kopinya. Aku tak menghiraukan keberadaanya. Diam dengan tatapan kosong. Dan berlogika yang menginspirasi berbagai tanya yang rancu. Menelusuri dalam labirin kehidupan. Yang tak tahu akan ujungnya. Hanya berproses ke arah yang lebih baik.

Lamunanku buyar oleh tepukan Ian dipundakku.

“Eh, iya sampai dimana tadi Ian?” tanyaku dengan nada meyakinkan.

Curahan hati seorang sahabat yang tulus menyayangi seorang wanita. Yang ingin segera dinikahinya. Dan memintaku untuk membantunya. Sebab wanita itu adalah sahabat terdekatku. Dan sumber inspirasi hidupku. Tak lain adalah Ai.

Aku diam dan terhenyak. Dada ini terasa sesak. Pandanganku nanar dan hilang arah. Belum sempat aku berbicara banyak. Suara dentingan teleponku mengusik pembicaraan diantara kami.

Akhirnya, aku menyudahi pembicaraan diantara kami. Dan aku berjanji untuk membantu dan memberikannya solusi mengenai pergulatan batinnya.

***

Keterpaksaan ini membawa duka untukku. Kuberanikan diri untuk mengajak Ai bertemu. Ingin membicarakan perihal harapan yang suci dari sahabatku, Ian. Yang hendak mempersunting dirinya. Tak seperti hari-hari biasanya. Bersemangat dan termotivasi bila hendak berjumpa dengan Ai. Tapi kali ini, langkahku terasa berat dan gontai. Serasa bertumpu pada kemalasan. Perasaan ini perlahan aku redam. Kusimpan dalam bingkai hati. Dan menempatkan sosoknya di singgasana hatiku yang teristimewa.

Lama sosoknya kunantikan. Sendiri hanya sendiri aku menunggunya. Di rumah kepala desa, tempat ia melakukan penelitian. Minuman tersaji hangat. Khas budaya penduduk desa. Berselang sepuluh menit aku menanti. Datanglah sosok itu. Dia tak sendiri. Ditemani oleh sahabatnya. Dan aku mengenalinya, Rahmi, mahasiswa psikologi semester akhir. Aku mempersilahkan mereka duduk, tak sungkan aku berbasa-basi, walau ini perlahan mulai menggrogoti jantungku untuk sekedar berdetak.

“Kalau boleh tau. Mas Ardi ada keperluan apa ya datang kemari? Kok tiba-tiba ingin bertemu dengan saya.” lantun Ai penuh tanya. Kumulai perlahan penjelasan harap dan niatku.

“Begini Ai, rasanya suatu keistimewaan bisa mengenal Ai. Dan tiada salah bila sosoknya banyak dikagumi oleh kaum Adam.” jelasku dengan perumpaan.

“Maksudnya Mas? Kaum Adam.” kejar Ai dengan rentetan pertanyaan yang membingungkannya padaku.

Ternyata Rahmi sudah faham maksud dan tujuanku kesini. Ia memotong pembicaraan kami berdua.

“Mas Ardi, maaf mungkin masalah ini sebaiknya kita berdua yang berbicara. Setelah itu, biar aku yang menjelaskannya pada Ai.” jelas Rahmi padaku.

Aku mengiyakan permintaanya Rahmi. Berbeda dengan raut wajahnya Ai. Seolah kehadiran sosoknya tak mampu meyakinkan kami untuk ikut berlogika dengan permasalahan ini.

Dihalaman depan rumah, tanpa ditemani oleh Ai. Aku dan Rahmi berbicara. Panjang lebar ku jelaskan alasan kedatanganku ke desa ini. Untuk menemui Ai. Dan sampai pada titik kesimpulannya, menyampaikan pesan sahabatku Ian kepada Ai untuk niat mempersuntingnya.

Gemericik tetes air mulai menerpa tubuh kami berdua. Perlahan suara desiran angin mulai menyapa kami. Dingin dan berhawa sejuk udara ini. Sore yang tak kunjung lelah. Ditemani sang hujan melepas kepenatan siang. Akhirnya, kami menyudahi perbincangan ini. Tentang masa depan sahabatku, Ian yang ingin mempersunting Ai.

Gerimis mulai deras. Menghujam jatuh kebumi. Sang mentari mulai enggan bernostalgia dengan senja. Ia lelah dan melepas hari ini. Dan berganti dengan datangnya sang malam. Rahmi telah faham. Dan berjanji padaku untuk secepatnya menyampaikan perihal ini pada Ai.

Aku pun beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah sebelumnya berpamitan dengan Ai dan Rahmi. Aku berpaling ke depan. Berjalan dan menatap penuh kejenakaan. Mengenai perasaan yang menggelikan. Dipermainkan oleh hidup tepatnya.

Aku menangis. Ini diluar akal sehatku. Aku sabar dan ikhlas. Pasti Sang Pemilik Hati menyimpan hikmah untuk kami berdua. Dan kepergianku ditemani sang gerimis senja. Yang membasahi seluruh tubuhku. Tak kuhiraukan.

***

“Berkata jujurlah pada sahabatmu ini Ai. Sudah sejauh mana hatimu terbelenggu dengan goresan-goresan cahaya kasih sayang pada sosok Mas Ardi.” ungkap Rahmi kepada Ai.

Ai hanya terdiam. Air matanya mulai menetes. Membasahi seka pipinya. Isak tangis memberikan jawaban, bahwa hatinya tak dapat dibohongi nya lagi. Yang selama ini mampu dipenjarakannya. Perasaannya terhadap diri Mas Ardi.

Sudah sejauh inikah dirimu menyayangi sosok Mas Ardi. Sambil tangan Rahmi menyeka air mata di pipi Ai. Ia juga merasa bersalah. Kenapa engkau malu untuk mengatakannya padaku Ai. Aku ini adalah sahabatmu. Susah dan senang saling melengkapi. Maafkan aku wahai sahabatku. Tak pernah engkau terluka sedalam ini. Kalian berdua egois Ai. Keterlaluan tepatnya. Saling benci tapi hati mencintai. Saling sayang tapi membiarkan hati masing-masing terluka.

Rahmi menegaskan kembali pada Ai. Bahwa ini bukan nafsu wahai sahabatku. Ini adalah kejujuran hatimu. Ini adalah cinta yang bernuansa kasih dan sayang.

Akhirnya Ai berbicara terbata-bata. Ucapan-ucapan Ai yang terlantun mengenai sosok Mas Ardi, menggetarkan relung hati Rahmi. Dan Rahmi pun terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa.

Setelah ia menceritakan kedatangan Mas Ardi kepada Ai. Untuk memperkenalkan sosok sahabatnya yaitu Mas Ian kepada Ai. Dan selanjutnya, tanpa perasaan bersalah. Rahmi mengajukan pernyataan bahwa Mas Ian berniat untuk memperisteri Ai.

Sosok Mas Ian, sangat dikenal oleh Ai. Kabar mengenai Mas Ardi selalu ia dapat dari Mas Ian. Begitu polosnya perasaan Mas Ian. Sampai ia tak dapat membedakannya. Mengenai sosok Ai, yang menganggap hubungan ini hanya sebatas persahabatan kepada Mas Ian, tak lebih dan tak kurang.

***

Malam semakin larut. Tapi tak mampu melemahkan saraf-saraf dimataku. Untuk terpejam dan terlelap dengan lamunan sang penggoda malam. Hanya dinding yang tertawa. Tak beretika menghargai.

Besok aku akan kembali pulang ke kampung halaman. Meninggalkan berjuta kenangan di kota ini. Setelah lamaranku diterima disalah satu bank syariah dikota kelahiranku, Medan. Tiket pesawat yang kupesan telah kugenggam. Dan tak akan kubiarkan lepas lagi. Biarlah semua kenangan ini, ku kubur dengan minyak kasturi. Walau aku tak kuasa menggalinya lagi. Tapi harumnya masih dapat tercium olehku.

***

Pagi yang bernuansa semangat. Dan tak mampu memberi inspirasi lagi. Sosok yang terlintas dibenakku belum juga mau menghampiriku. Padahal kehadirannya sangat kunantikan. Aku risau. Pesawatku akan segera berangkat. Dan aku akan melepas sore ini dengan memaki masa depanku kelak.

Aku berpamitan dengan seluruh sahabat-sahabatku. Bandara ini seolah mengajariku tak ada yang harus ditunggu. Sebab semua adalah titipan. Ada yang datang dan akhirnya pergi. Walau tanpa permisi kepadanya. Dan ia ikhlas menerimanya.

“Terima kasih untuk persahabatan ini. Aku pamit wahai sahabat-sahabatku.” ucapku dengan nada penuh kesedihan. Seolah bandara ini ikut menderaikan air mata perpisahan untukku pula.

“Selamat jalan Ardi. Kami pasti merindukan sosokmu.” ucap sahabat berambut ikal padaku. Ia telah beristeri, pilihan orang tuanya di kampung halaman.

Ternyata sosok yang kunantikan kehadirannya, tak kunjung datang. Kutegaskan kembali, ia tak akan datang. Sudahlah buat apa menantikan dirinya. Maafkan kelemahanku. Sebab aku adalah manusia. Tempatnya salah dan lupa.

Perjalanan ke kota Medan kurang lebih ditempuh selama tiga jam. Sesampainya di bandara Polonia Kota Medan. Suara rengekan ponselku meminta untuk segera kubaca isi pesannya. Hanya pesan singkat tepatnya. Tapi memberikan jawaban untuk tanya sepanjang perjalanan pulangku.

“Aku ikhlas menunggumu wahai calon imamku, Mas Ardi. Aku siap untuk kau jadikan belahan hatimu, Dari Aisyah.”

----- Selesai ----

Semarang, 26 Juni 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...