Senin, 07 April 2025

MIMPI DI ATAS LANGIT

Di sebuah desa kecil yang terletak di lembah subur pulau Sumatera. Hidup seorang gadis bernama Sina. Sejak kecil, ia dikenal sosok yang cerdas dan penuh semangat dalam belajar. Namun, di desanya, perempuan tidak dididik untuk bermimpi tinggi. Setelah lulus SMA, mereka diharapkan segera menikah, mengurus rumah tangga dan melayani suami dengan baik. Begitulah adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun di desanya.


Namun, Sina sosok gadis muda yang berbeda. Sejak duduk di bangku sekolah pertama, SMP, ia telah bermimpi menjadi seorang dokter. Ia ingin membantu orang-orang di desanya yang sering sakit, tapi sulit mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Sayangnya, keinginannya dianggap angan-angan kosong oleh keluarganya.

“Perempuan jangan terlalu berharap pendidikan yang tinggi, Sina.” Kata ibunya suatu sore, saat Sina memberanikan diri untuk menyampaikan niat baiknya, ingin menjadi seorang dokter.

“Tugas perempuan, menikah, punya anak dan mengurusi suami. Itu kodrat kita, Sina.” Tutup ibunya seketika itu kepada Sina.

Ayahnya, seorang petani yang sangat disegani di desanya, hanya bisa menghela nafas panjang. “Jangan menentang adat, Nak. Tidak ada perempuan di desa ini yang bersekolah tinggi. Mau jadi bahan gunjingan orang kampung kamu, Nak.” 

***

Namun, Sina tidak menyerah. Diam-diam, ia mencari informasi tentang program beasiswa pendidikan ke masing-masing universitas, baik dari dalam dan luar negeri. Ia belajar siang dan malam, bahkan setelah selesai membantu ibunya memasak dan mengurus adik-adiknya. Ia selalu menyempatkan diri di sore harinya, untuk mengajar anak-anak sekolah dasar di desanya. Uang yang didapat dari orang tua anak-anak siswa yang di ajarnya, ia tabung sedikit demi sedikit. Untuk kebutuhan biaya masuk universitas nanti, jika biaya dari orang tua nantinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikannya kelak.

Banyak penawaran beasiswa pendidikan dari berbagai universitas, baik dari dalam dan luar negeri yang telah didaftarkan oleh Sina. Seluruh kelengkapan berkas yang dibutuhkan oleh universitas, dengan hati-hati dipersiapkan oleh Sina. Ia takut gagal. Setiap sore, sebelum mengajar, ia sempatkan untuk datang ke warnet di sebelah desanya, untuk sekedar mengecek balasan email pemberitahuan yang masuk dari masing-masing universitas yang telah dilamarnya.

***

Ketika pengumuman beasiswa dari universitas luar negeri keluar, tangannya bergetar saat membuka surat elektronik di warnet satu-satunya yang berada di kota kecil sebelah desa mereka. Air matanya menetes, ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan ini. Ia dinyatakan lulus.

Tapi perjuangannya belum selesai. Ketika ia menyampaikan berita baik ini kepada orang tua dan keluarga besarnya, kemarahan pun pecah.

“Jangan gila, Sina. Perempuan tidak boleh pergi sejauh ini sendirian. Kau ingin membuat malu keluarga besar kita.” Bentak pamannya kepada Sina, dalam pertemuan keluarga besar mereka di rumahnya.

Ibunya menangis, sementara ayahnya hanya menghela nafas, duduk terdiam. Tapi Sina masih berdiri teguh, tidak takut menghadapi masalah ini seorang diri.

“Bukankah dulu Ayah pernah berkata, bahwa desa ini butuh orang yang bisa membawa perubahan. Aku ingin kembali ke sini, sebagai seorang dokter, Ayah. Aku ingin menolong orang-orang di desa kita.” Cerita Sina dengan bibir bergetar, menyakinkan kedua orang tua dan keluarga besarnya.

Malam itu, Sina tidak bisa tidur dengan lelap. Hanya doa dan air mata yang mampu dipanjatkan kepada Tuhannya. Ia gelisah menanti hari esok tiba. Serasa begitu lama waktu berputar. Ia berharap keputusan yang diberikan ayahnya, terbaik untuk masa depan pendidikannya kelak.

Keesokan harinya, ayahnya datang memanggilnya, berbicara dari hati ke hati di ruang tamu rumah. Dengan wajah Sina yang masih diliputi keraguan, seolah harapan itu akan sirna. Namun, dengan penuh kelembutan ayahnya berkata “Pergilah, Nak. Tunjukkan bahwa perempuan juga bisa bermimpi. Ayah mengikhlaskan kepergianmu. Kuatkan semangatmu, Nak.” Suasana haru terjadi diantara mereka berdua, ayah dan anak saling berpelukan, Sina tak kuasa menahan air matanya. Sambil memeluk ayahnya dengan erat, Ia mengucapkan terima kasih dengan suara yang bergetar, berjanji untuk memenuhi semua mimpinya kepada ayahnya.

***

Hari itu akhirnya tiba. Sina berdiri di bandara, menggenggam tiket pesawatnya dengan erat. Tiket ini bukan hanya selembar kertas perjalanan, melainkan simbol dari mimpi-mimpi dan pengorbanan. Sawah keluarga mereka, telah dijual kepada tuan tanah untuk membiayai pendidikannya di Negeri Belanda. 

Ibunya berkali-kali menyeka air mata, tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam, berpisah dengan anak perempuannya untuk waktu yang lama, sedang ayahnya berdiri tegar, meski matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan, berpisah dengan Sina, putri yang sangat dicintainya.

“Jangan lupa dari mana kau berasal, Nak.” Pesan ayahnya lirih.

“Kami mungkin telah kehilangan sawah keluarga, tapi kami tidak kehilangan harapan, gapailah cita-citamu Sina. Ayah dan ibu selalu mendoakanmu disini.” Lanjut ayahnya dengan nada ketegaran, berusaha menyembunyikan kegamangan hati seorang ayah yang hendak ditinggal putri kesayangannya.

Sina pun berangkat dengan air mata haru, ia tahu perjalanannya tidak akan mudah. Ia memeluk ibu dan ayahnya erat-erat, lalu menggenggam tangan mereka berdua.

“Aku akan kembali, Ayah, Ibu. Aku berjanji.” Ucap Sina bergetar, sambil menyeka air mata yang jatuh menetes di pipinya.

Saat panggilan keberangkatan diumumkan. Sina melangkah menuju pintu gerbang imigrasi bandara, jantungnya berdetak hebat. Ia masih muda, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas, SMAnya, dan kini harus bersiap menghadapi dunia yang asing, di negeri jauh bernama Belanda.

Sina berjanji akan kembali ke desanya. Bukan sebagai gadis yang menentang adat semata, tetapi sebagai bukti bahwa perempuan pun bisa mengubah dunia.

***

Di dalam pesawat, ia menatap keluar jendela, melihat tanah airnya perlahan mengecil di bawah sana. Hatinya dipenuhi ketakutan, tetapi juga semangat yang membara. Di depannya, Leiden menunggu, Universitas Leiden Medical Center (LUMC), tempat di mana ia akan menuntut ilmu kedokteran.

Dan dengan satu tarikan nafas panjang, Sina berbisik di dalam hatinya.

“Aku akan menjadi dokter. Aku akan kembali. Mohon doa dan ikhlasmu wahai Ayah dan Ibu.”

***

Hari demi hari yang dilalui di Leiden tidaklah mudah bagi Sina. Bahasa belanda yang sulit, budaya yang berbeda dan metode pembelajaran yang berbeda pula serta tuntutan akademik yang tinggi dari fakultas kedokteran LUMC sering membuatnya hampir menyerah.

Ada saat-saat dimana ia putus asa pada dirinya sendiri. Namun, setiap kali rasa putus asa itu datang dan menghampiri dirinya, ia kembali mengingat air mata ibunya di bandara dan janji yang ia buat kepada ayahnya, serta sawah keluarganya yang telah terjual untuk membiayai pendidikannya.

Beasiswa pendidikan dari kementerian tidak memberikan toleransi. Ia harus lulus tepat waktu, atau segalanya akan sia-sia semua. Sina banyak mengorbankan waktu tidurnya, mengurangi makan demi menghemat uang bulanannya dan menghindari segala bentuk hiburan. Hidupnya hanya berkutat pada buku, ruang praktik dan rumah sakit tempat ia menjalani praktik dan latihan. 

Meski demikian, ia tidak pernah mengeluh. Sebab ia tahu, banyak orang di kampung halamannya berharap kesuksesannya, bukan cerita kegagalannya. Ia harus kembali dan membangun klinik kesehatan untuk para warga di desanya.

***

Tahun demi tahun telah dilewati dengan pengorbanan waktu, tenaga dan pikirannya. Kawan-kawan yang berasal dari berbagai negara dengan latar belakang yang berbeda pula. Ada Yolana dari Spanyol, Bastian dari Jerman, Raya dari Mesir dan banyak lagi. Mereka semua memiliki impian yang besar, tetapi tidak semua memahami perjuangan yang telah dilalui oleh Sina.

“Sina, tolong ceritakan tentang keindahan negerimu kepada kami, yang selalu kami dengar tentang negeri dari berita.” Ucap Yolana sahabatnya dari Spanyol kepada Sina, suatu hari saat mereka sedang berbincang di dalam kelas.

Sina dengan mata berbinar, dengan senang hati bercerita tentang desa dan adat istiadat di kampung halamannya kepada Yolana dan kawan-kawan yang lain. Mereka secara seksama mendengar cerita dari Sina. Rasa ingin tahu mereka, membuat tidak pernah bosan, untuk selalu menantikan kelanjutan cerita Sina, disela-sela waktu yang terkadang bisa mereka sempatkan untuk berbagi cerita satu sama lainnya.

Disela kesibukan Sina dan sahabat barunya Raya yang berasal dari Mesir, mereka sedang duduk bersebelahan.

“Sina, aku tahu kamu memikirkan sesuatu, bisakah kamu berbagi cerita denganku, permasalahan apa gerangan yang sedang kamu hadapi.” Tanya Raya kepada Sina, saat mereka berdua duduk di depan pintu perpustakaan kampus.

Sina menghela nafas, “Aku takut mengecawakan kedua orang tuaku, semua orang-orang kampung yang berharap padaku, andai terlalu lama di sini, aku tidak bisa membantu mereka secepatnya.” Ucap Sina kepada Raya, menyampaikan pergulatan batin yang sedang dihadapinya.

“Kau tahu, Ibuku adalah seorang bidan di desa kecil di Mesir. Aku kesini bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk semua perempuan yang membutuhkan pertolongan. Dan aku yakin, kau juga seperti itu. Kita disini bukan untuk meninggalkan mereka, tapi untuk kembali agar lebih kuat.”

Kata-kata itu seolah telah menampar kesadaran Sina. Sehingga, membuat ia tidak boleh mudah menyerah dengan penderitaannya menuntut ilmu di negeri ini.

Ia lalu memeluk sahabatnya, Raya. Tak lupa mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Raya atas nasehat-nasehat yang telah diberikan kepadanya. Akhirnya, mereka pun saling menguatkan satu sama lain.

***

Akhirnya, hari yang dinanti telah tiba, hari wisuda tepatnya. Ia memakai jubah hitam dan topi toga di kepalanya, Sina berdiri tegak di tengah aula besar, matanya berkaca-kaca saat namanya dipanggil. Ia telah lulus, tepat waktu dengan nilai yang membanggakan. Walau tanpa kehadiran kedua orang tuanya di hari sakral wisudanya, mereka jauh di kampung halaman, tapi turut bahagia dan bangga dengan kelulusan anaknya. Setengah dari harapan dan doa dari orang tuanya selama ini, telah terjawab. Sina hanya tinggal selangkah lagi menggenapi janjinya kepada mereka, membuka praktik dokter di kampung halamannya.

Saat ia menerima ijazah kelulusannya, hatinya berbisik meyakinkan dirinya.

“Aku akan pulang, Ayah. Tunggu aku di sana. Aku berjanji akan membangun klinik kesehatan itu untukmu, Ibu.”

Dan dengan langkah mantap, Sina bersiap pulang ke tanah air, kampung halaman yang sangat dirindukannya. Bukan lagi sebagai gadis yang melawan adat, melainkan seorang dokter yang membawa harapan kepada orang-orang di kampungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...