Di tengah kesederhanaan desanya, cahaya ilmu telah dinyalakan dan semua itu berawal dari tekad seorang pemuda yang tidak pernah menyerah untuk berusaha mengubah nasib generasi baru di desanya, yang percaya bahwa pendidikan adalah jawaban dari permasalahan di desanya dan bisa mengubah nasib mereka.
***
Sepulang dari kota, dan telah menyelesaikan gelar sarjananya, ia melihat keadaan desanya masih sama, kumuh dan terbelakang. Tidak pernah tersentuh pembangunan di semua lini, baik infrastruktur jalan dan bangunan, terutama bangunan sekolah SMA-nya dulu, masih tetap sama dan tidak ada perubahan sama sekali. Bangunan tua yang mau roboh. Anak-anak yang segenarasinya dulu, kini banyak menjadi buruh nelayan atau merantau ke negeri jiran tanpa pendidikan yang cukup untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Melihat keadaan desanya yang masih sama dan tidak ada perubahan yang berarti, dengan penuh semangat, Rama mulai berani menggagas ide untuk mendirikan sekolah sederhana di desanya. Ia berbicara dengan para tetua desa, meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menimpa desa mereka.
“Pak Buana yang saya hormati dan muliakan, mohon kiranya saya diberikan izin untuk mendirikan sekolah yang nantinya diperuntukkan untuk anak-anak desa yang putus sekolah di desa kita, Pak.” Ucap Rama saat memulai pembicaraannya di ruang kerja Pak Buana, ketua adat sekaligus menjabat sebagai kepala desa di kampung Rama.
“Saya merestui keinginanmu, Rama. Saya memberikan dukungan untuk pembangunan sekolah yang akan kamu dirikan nanti di desa kita.” Balas Pak Buana kepada Rama, dan menyatakan sikap keberpihakannya untuk tujuan mulia ini.
Namun, tantangannya tidak sedikit. Banyak warga desa yang masih ragu, beberapa diantaranya menganggap Rama terlalu idealis. Bahkan cenderung memusuhinya. Dan mereka tidak menyetujui pembangunan fasilitas pendidikan baru, selain fasilitas yang sudah ada selama ini di desa. Rama sudah menaruh curiga, sikap dan perbuatan sekelompok warga yang melakukan penolakan, adalah suruhan dari begundal-begundal para pemilik kapal. Mereka, para tengkulak pemilik kapal, beranggapan bahwa jika nantinya pendidikan menjadi pilihan warga, maka terputuslah mata rantai yang membelenggu kemisikinan para warga desa, yang secara sengaja telah diciptakan dan dikendalikan oleh mereka selama ini.
***
Rama perlahan mulai mendirikan bangunan sekolahnya, di lokasi tanah yang telah diberikan oleh Kepala Desa. Ia masih kekurangan dana membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan untuk mendirikan sekolah. Ia tidak menyerah, isi tabungannya yang jumlahnya serba pas-pasan, ia korbankan untuk ikut membiayainya, ia membeli papan dan seng bekas untuk mendirikan sekolah darurat. Ia juga meminta bantuan dana kepada masyarakat dan pemerintah daerah, untuk ikut membantu mendirikan sekolahnya. Banyak warga menolak, walaupun ada juga yang masih bersedia memberikan bantuan dana dan bahan material lainnya, yang mana mereka tersentuh atas perjuangan dan kegigihannya Rama.
***
Setelah beberapa waktu lamanya, hampir sekitar 6 bulan, sekolah itu akhirnya berdiri. Meskipun hanya berdinding kayu dan beratapkan seng seadanya, tapi itu adalah simbol dari harapan anak-anak desa. Rama mengajar sendiri dengan buku-buku yang ia bawa dari kota. Membaca, menulis dan berhitung, bahkan dasar-dasar ilmu sains telah ia ajarkan kepada anak-anak yang menimba ilmu di sekolahnya.
Mimpinya tidak berhenti sampai disitu. Ia ingin membangun perpustakaan desa agar anak-anak memiliki akses belajar lebih luas terhadap ilmu pengetahuan. Dengan bantuan teman-teman alumninya yang tinggal di kota, ia mulai mengumpulkan buku-buku baru dan bekas. Setiap minggu, ia sempatkan pergi ke kota untuk menemui sahabat-sahabatnya yang mau berbagi donasi dan siap menyuplai kebutuhan buku-buku di perpustakaan desanya. Ia menumpuk dan menyusun buku-buku di rak perpustakaan kecilnya, yang ia bangun dari uangnya sendiri dan bantuan serta sumbangsih dari para donatur.
***
Tahun demi tahun berlalu, sekolah kecil itu berkembang. Beberapa lembaga swasta mulai melirik dan memberikan bantuan. Kini, bangunan sekolahnya sudah mulai lebih kokoh, perpustakaan desa semakin penuh dengan koleksi buku-buku yang beragam. Rama tidak lagi sendirian mengajar di sekolahnya, ia mulai dibantu oleh kawan-kawan alumninya yang mau menyempatkan datang ke desanya, untuk sekedar mengajar dan berbagi pengalaman dengan siswa-siswa di sekolah.
Rama tahu perjuangannya ini tidaklah mudah, tetapi ia tidak menyangka bahwa gelombang penolakan dari warga masih belum surut. Banyak yang mencemoohnya. Terutama para tengkulak pemilik kapal, yang dulu merasa berkuasa, kini mulai gelisah. Mereka menyadari telah kehilangan buruh murah, karena selama ini anak-anak desa yang berangkat ke laut mencari ikan, bisa mereka gaji semurah-murahnya. Anak-anak desa yang dulu hanya tahu lautan, kini sudah mulai mau belajar, bisa membaca dan berhitung dengan baik, bahkan diantara mereka telah berani bercita-cita lebih tinggi untuk pendidikan mereka. Rama terharu mendengar celotehan anak-anak desa yang berani bermimpi tentang masa depan mereka.
“Pak Rama, Awin bermimpi setelah selesai sarjana nanti, bisa memberikan kapal besar untuk ayah, dan kami bersama-sama mengarungi lautan dengan gagah.” Ungkap salah satu murid Rama, Awin, yang selalu berwajah ceria menyampaikan cita-citanya. Rama meneteskan air mata bahagia. Ia berhasil menanamkan semangat pendidikan kepada murid-muridnya.
***
Mereka, para pemilik kapal, mulai berani menghasut beberapa warga, bersama-sama menolak pendidikan yang ditawarkan oleh Rama di desanya. Bahkan terdengar isu, para warga ingin membakar sekolahnya. Ia pun berusaha mencari bantuan lebih banyak, ia mendatangi media cetak dan online di kota yang peduli dengan pendidikan, mengangkat cerita agar orang tahu tentang perjuangannya. Usaha yang dilakukan Rama, mengundang para penggiat media cetak dan online untuk datang dan meliput berbagai aktifitas di sekolahnya, ternyata tidak sia-sia dan bisa meredam isu pembakaran sekolahnya.
“Pendidikan hanya buang-buang waktu! Kalau anak-anak kami sekolah terus, siapa yang bantu ayahnya nanti ke laut.” Kata seorang bapak di warung kopi kampung kepada Rama.
“Kamu ini mimpi, Rama! Lebih baik ajari mereka mencari ikan di laut yang bisa mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Dari pada sibuk baca buku yang tidak bisa memberi kami makan!” tambah yang lain, saat Rama dan beberapa warga duduk bersama-sama di warung kopi kampung. Rama hanya bisa diam dan tidak mau membalas cemoohan warga kepadanya.
Beberapa orang tua bahkan melarang anak-anaknya untuk datang ke sekolah kecil yang Rama bangun. Bagi mereka, pendidikan bukan prioritas, yang penting perut bisa terisi dan dapur bisa mengepul.
***
Namun, Rama tidak menyerah. Keringat dan air matanya setiap hari berjatuhan, membasahi pipinya. Tak pernah Rama hiraukan. Setiap waktu masih selalu berupaya dan berusaha sekuat tenaga mendekati warga satu per satu, memberitahukan kepada warga bahwa pendidikan di sekolahnya tidak harus meninggalkan usaha orang tua mereka, anak-anak masih bisa ikut membantu orang tuanya mencari ikan di laut.
Ia bahkan mulai mengajarkan hal-hal praktis di sekolahnya, seperti cara menangkap ikan dengan alat tangkap yang modern, cara mengelola hasil laut agar lebih menguntungkan dengan proses pengawetan hasil laut yang lebih modern, dan dasar-dasar bisnis kecil lainnya, seperti pemasaran penjualan hasil laut secara online dengan harga jual yang lebih kompetitif.
“Robi, kamu harus belajar yang tekun. Jangan pernah menyerah dengan keadaan.” Nasehat Rama kepada siswanya, Robi, dimana kedua orang tuanya sangat menentang sang anak untuk datang ke sekolah Rama.
Suatu hari, muridnya Rama, yaitu Robi, berhasil menjual hasil tangkapan laut ayahnya secara online, dengan harga lebih tinggi setelah belajar hitungan dan pemasaran sederhana di sekolah Rama. Ketika ayahnya melihat keuntungan penjualan yang lebih besar diperoleh anaknya, sang ayah mulai tersentuh dan sedikit banyaknya mulai merubah pikiran dan paradigmanya selama ini tentang sekolah Rama.
Dan kali ini, bukan hanya anak-anak yang ingin belajar, tetapi para orang tua juga. Mereka ingin tahu, mengapa selama ini mereka dibodohi dan mengapa mereka selalu dipaksa untuk tetap miskin, oleh para tengkulak pemilik kapal.
Tidak hanya dari warga desa, tetapi dari luar warga desa pun, mulai sadar bahwa mereka selama ini telah diperdaya oleh para pemilik kapal. Kini, mereka tidak takut lagi. Mereka turut serta membangun sekolah, menyumbangkan bahan, waktu dan tenaga untuk keberlanjutan sekolah ini.
***
Rama merasa senang dengan antusias para warga desa, peduli terhadap kemajuan sekolah yang telah didirikannya, lalu Rama pun mencoba beberapa pendekatan lainnya. Ia mengundang sahabat lamanya yang dulu putus sekolah, tapi kini telah sukses berusaha dan berinvestasi perikanan darat di negeri jiran, Malaysia, untuk berbicara di hadapan para warga.
Sahabatnya banyak membawa buku-buku tentang perikanan, yang bisa meningkatkan hasil produksi panen perikanan darat yang telah dirintisnya jauh hari di negeri seberang. Ia ingin menunjukkan bahwa sahabatnya yang dulu putus sekolah, masih sungguh-sungguh belajar dan selalu membaca buku-buku tentang perikanan darat yang membuat usahanya maju dan sukses. Rama menyampaikan kepada para warga yang datang, bahwa pendidikan bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi juga tentang cara berpikir lebih maju dan memiliki peradaban yang lebih baik dan berkelanjutan.
***
Pelan tapi pasti, tembok penolakan perlahan mulai runtuh. Satu per satu, warga mulai percaya bahwa pendidikan itu bukan musuh, melainkan sebuah harapan. Butuh pengorbanan dan kerja keras bertahun-tahun lamanya, akhirnya sekolah kecil itu bukan lagi sekedar impian Rama, melainkan harapan seluruh masyarakat desa untuk bisa hidup lebih baik lagi.
Dan pada hari pertama penerimaan mahasiswa di universitas-universitas negeri, seorang siswa dari desanya telah lulus di salah satu universitas negeri di kotanya, dengan bantuan beasiswa dari kementerian yang dulu pernah Rama terima. Rama tersenyum, ia tahu perjalanan masih panjang. Tetapi Rama telah memenangkan satu pertempuran, membuktikan bahwa pendidikan bukan beban, melainkan sebuah cahaya kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar