Minggu, 09 Maret 2025

TERLELAP DALAM CINTA-NYA

Firman, seorang pemuda yang memiliki harapan dan impian besar dalam hidupnya. Ia ingin menjadi seorang pengusaha sukses, dengan bekerja keras akan selalu membuahkan hasil yang terbaik. Namun, setiap langkah yang ia ambil, berakhir dengan kegagalan. Harapan hidup yang penuh dengan kehampaan.


Ia pernah berbisnis kecil-kecilan, namun usahanya bangkrut. Setiap kali merasa sudah diambang keberhasilan, entah kenapa semuanya runtuh begitu saja. Lebih menyakitkan lagi, bahkan orang-orang terdekatnya sendiri, tidak pernah turut serta mendukung usahanya.

“Kamu itu mimpi terlalu tinggi, Firman.” Kata ayahnya suatu hari kepadanya. “Lihat saja dirimu sekarang, berapa banyak usahamu yang telah gagal. Kenapa tidak seperti orang biasa saja, melanjutkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikanmu. Bekerja menjadi seorang guru atau pendidik” Lanjut sang ayah lagi kepadanya.

“Kamu hanya buang-buang waktu saja. Semua saudaramu sudah berhasil, sudah punya pekerjaan yang tetap. Hanya kamu yang masih mencoba hal yang sia-sia selama ini.” Ucapan ibunya yang tidak kalah menyakitkan kepadanya.

Kata-kata itu, seperti pisau yang telah menghujam jantungnya. Firman merasa sendirian, tak ada satu orang pun yang percaya pada cerita suksesnya kelak. Orang tua dan sahabatnya telah ikut menjauhi dirinya. Di tengah kegelapan dalam hidupnya, Firman mulai mempertanyakan sesuatu yang sangat ia yakini, Tuhan.

“Wahai Tuhan, kenapa Dirimu berikan semua yang mereka inginkan, sedangkan diriku selalu mengalami kegagalan. Apakah ini keadilan? Apakah Dirimu memang tidak pernah peduli kepada diriku, wahai Tuhan?” Cerita Firman kepada Tuhannya, di dalam doanya, di tengah kesunyian malam.

***

Dikala senja dan mendung pun tiba, ditengah rintik hujan, Firman berjalan tanpa arah dan tujuan. Pikirannya kosong, hatinya telah hancur. Sepanjang jalan, banyak orang-orang tertawa bahagia dilihatnya, pasangan kekasih yang berjalan bergandengan tangan. Dunia seolah bersekongkol kepadanya, tertawa memperlihatkan betapa gagal dirinya dalam menjalani hidup ini.

Saat itu, ia telah berdiri di tepi jembatan. Memandang air sungai yang keruh, arusnya deras. “Mungkin jika aku menghilang dari muka bumi ini, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang kehilangan diriku, bahkan Tuhan pun tidak akan menyesal.” Ucap sang pemuda lirih dalam hatinya.

Namun, di saat itu sebuah suara kecil di dalam hatinya berbisik, suara yang hampir saja ia lupakan selama ini. “Dirimu sudah sejauh ini Firman. Apakah dirimu benar-benar ingin menyerah?”

Sang pemuda pun terdiam. Hatinya gaduh. Bukankah itu yang diinginkannya? Mengakhiri segalanya? Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ada sesuatu harapan yang masih tetap ingin bertahan, walau hanya secercah saja.

Ia mengurungkan niatnya, dan perlahan duduk merenung di tepi jembatan. Menangis untuk pertama kalinya, setelah sekian lama. Ia tidak tahu apakah Tuhan masih ada untuk mendengarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak meminta keberhasilan. Ia meminta hanya satu hal, “Wahai Tuhan, beri aku alasan untuk tetap hidup di dunia ini.”

Bahwa harapan tidak selalu datang dalam bentuk keberhasilan, tapi dalam bentuk keberanian untuk tetap bertahan di dalam hidup. Malam itu, walaupun Firman tidak menemukan harapan untuk hidupnya, tapi ia memilih untuk tidak menyerah dalam menjalani hidupnya. Dan mungkin itu sudah cukup untuk saat ini.

***

Di luar sana, teman-temanya telah berhasil. Mereka memiliki pekerjaan yang mapan, keluarga yang mendukung dan kehidupan yang stabil. Sementara dirinya? Ia bahkan tidak punya siapa-siapa yang mendukung dan percaya kepadanya. Saudara-saudaranya, menganggapnya sebagai orang yang gagal. Bahkan dunia seolah tidak peduli, apakah ia masih ada atau tidak di muka bumi ini.

Tapi entah mengapa, meskipun segalanya terasa begitu gelap. Meskipun dirinya sudah lelah, seolah Tuhan tak berpihak kepadanya lagi. Ia masih tetap di sini, masih bergulat dengan rasa sakit yang tidak pernah benar-benar hilang. Dan doa-doa yang terasa menggema di langit, dan belum menemukan jawabannya. Namun, ia masih bersyukur, ia masih hidup dan bernafas.

Dan mungkin, walaupun ia tidak tahu alasannya sekarang. Tapi suatu hari nanti, ia akan mengerti jawaban dari semua peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya selama ini.

“Apakah diriku telah ditakdirkan seperti ini, wahai Tuhan? Aku tidak tahu, apakah aku masih punya alasan untuk selalu berharap kepada-Mu. Jika memang ini takdirku, apakah itu berarti Dirimu tidak mencintaiku lagi, wahai Tuhan?” pertanyaan yang selalu disampaikan kepada Tuhannya, saat malam datang mengiringi kesunyiannya. Air mata kembali menetes dan membasahi pipinya. Ia tahu, ia masih mencintai Tuhannya. Bagaimanapun, Tuhan adalah tempatnya bersandar selama ini. Tapi bagaimana mungkin, ia bisa terus mencintai Tuhannya, sedang cinta Tuhannya seakan tidak pernah membalasnya? Bagaimana mungkin ia bisa tetap percaya pada Tuhannya, sedang janji yang Tuhan berikan seakan tidak pernah terwujud kepadanya?

Sudah berpuluh tahun lamanya ia berusaha, sudah tak terhitung doa yang ia panjatkan. Tetesan keringat telah membasahi tubuhnya. Serta air mata kesedihan yang juga telah membasahi pipinya. Ia selalu berusaha dan mencoba segala hal, berkali-kali jatuh bangun di dalam bisnis yang digelutinya. Namun, hasilnya tetap sama. Kegagalan demi kegagalan yang terus menghantui hidupnya, sementara orang-orang di sekitarnya melangkah semakin sukses dan jauh meninggalkannya. Namun, ada satu hal yang masih diyakininya sampai saat ini, yang tidak pernah meninggalkannya, cinta kepada Tuhannya.

***

Dulu, ia pernah bertanya apakah Tuhan masih mencintainya. Ia pernah merasa bahwa mungkin dirinya adalah jiwa-jiwa yang terlupakan. Tubuhnya yang dulu tegap, sekarang mulai melemah. Kulit wajahnya yang dulu kencang, sekarang telah berkerut. Kini di usia senjanya, ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia pun telah berhenti bertanya. Bukan karena ia telah menemukan jawaban, tetapi karena ia telah menerima bahwa ia tidak perlu jawaban itu lagi.

Firman duduk sendiri di tepi ranjang tuanya. Tangannya bergetar, saat ia menyatukan jemarinya dalam doa. Seperti yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya, tidak ada lagi permohonan yang ia panjatkan. Tidak ada lagi harapan yang ia pinta dari dunia ini.

“Wahai Tuhan, jika memang diri ini ditakdirkan menjalani hidup tanpa keberhasilan, maka diri ini ikhlas menerimanya. Aku tidak lagi menyesal, tidak lagi bertanya mengapa, aku hanya ingin pulang…., dan menemukan-Mu berada di sisiku, wahai Tuhan.”

***

Dan saat malam tiba, merayap semakin larut. Firman pun terlelap dalam tidurnya, senyum bahagia masih terukir di wajahnya. Seolah ia telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian yang selama ini ia cari dalam hidupnya. Ia tahu, bahwa akhirnya ia akan kembali kepada satu-satunya yang tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya selama ini.

Ketika fajar menyingsing, tubuhnya telah kaku, jiwanya telah pergi. Dunia tidak berkabung atas kepergiannya. Tidak ada tangisan dari mereka yang dulu pernah ada dalam hidupnya. Namun, di tempat yang lebih tinggi, mungkin Tuhan telah menyambutnya dengan cinta yang selama ini ia cari.

Dan akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Firman tidak lagi merasa gagal. Ia telah menemukan rumahnya. Ia telah menemukan cinta sejatinya, untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...