Senin, 16 Juni 2025


PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU


Anakku...

Kau hadir seperti fajar yang kutunggu

Membelah malam panjang penuh tanya

Tangismu pertama kali

Adalah lagu paling indah

Yang pernah Ayah dengar di dunia


Kau adalah langkah pertama Ayah

Menjadi manusia seutuhnya

Belajar mencintai tanpa syarat

Menjaga tanpa keluh

Memberi tanpa menuntut kembali


Lalu waktu berjalan…

Dan kau tumbuh dalam diam

Menguatkan diri saat cinta terasa terbagi

Saat pelukan mulai lebih banyak untuk adikmu

Kau menunduk, menahan rindu

Yang tak pernah sempat kau ucapkan


Tapi, ketahuilah, Nak...

Kasih Ayah padamu

Bukan benda yang bisa habis dibagi

Ia adalah matahari

Yang bisa menyinari tiga hati

Tanpa mengurangi hangatnya


Maafkan Ayah,

Yang sering terlalu lelah

Yang kadang lupa memeluk

Terlalu sering bicara tanggung jawab

Tapi lupa menyebut cinta


Kau bukan sekadar anak pertama

Kau adalah awal dari segalanya

Langkah pertama

Doa pertama

Harapan pertama


Jangan bersedih, anakku

Kau kuat bukan karena tak pernah menangis

Tapi karena tak pernah berhenti mencintai

Ayah bangga padamu

Dengan segenap jiwa


Dan bila dunia terlalu berat untukmu

Pundak Ayah…

Selalu ada untukmu

Selamanya…


Kisaran, 15 Juni 2025

Kamis, 12 Juni 2025

BAYANG DI UJUNG SENJA

Senyumannya tak lagi sama. Hati beku, seolah telah padam. Namun, harapan tidak boleh hilang. Untuk dapat mencintai dirinya. Kesalahan telah diperbuat, semoga pintu maaf masih terbuka. Perasaan berkecamuk, antara kebencian dan cinta. Meski rasa itu telah pergi, harapan masih ada. 


Dulu, senyumnya adalah cahaya pagi yang menghangatkan hari-hari Damar. Kini, senyum itu telah redup, hilang entah ke mana, seakan tak pernah hadir untuknya. Rania, sang bidadari yang pernah mengisi relung hatinya, telah pergi. Bukan karena jarak, tapi karena luka yang Damar torehkan sendiri.

Kesalahannya bukan kecil, ia mengabaikan, menyakiti tanpa sadar, dan terlambat menyadari bahwa cinta tidak selalu menunggu. Kata-katanya tajam, tindakannya dingin, hingga saat itu tiba, Rania memilih pergi…tanpa menoleh lagi.

***

Damar dan Rania telah menjalin kasih tiga tahun lamanya. Rania, wanita yang penuh kesetiaan dan perhatian kepada Damar. Setelah menginjak tahun ketiga hubungan mereka, Damar mulai berubah. Bukan karena ia tak cinta, tapi karena terlalu fokus mengejar ambisi dan cita-citanya. Ia mulai menjauh, bersikap dingin, dan meremehkan perasaan Rania. Ia lupa bahwa cinta tak bisa dibiarkan tumbuh sendiri.

Puncaknya terjadi ketika Rania sedang mengalami masa sulit, ayahnya sakit keras, keluarganya mengalami masalah finansial, dan ia membutuhkan sandaran. Tapi Damar, sandaran hatinya, justru menghilang.

Bukan hanya itu. Dalam satu malam penuh emosi, Damar sempat menuduh Rania terlalu bergantung padanya. Ia mengucapkan kalimat yang tak pernah bisa dilupakan Rania:

"Kamu ini terlalu lemah. Semua masalah kamu lempar ke aku. Aku juga punya hidup sendiri!"

Rania tidak berkata apa-apa malam itu. Ia hanya menangis diam-diam, lalu pergi, dan tidak kembali.

Beberapa minggu setelahnya, Damar sadar, bukan Rania yang lemah, tapi ia yang gagal menjadi sandaran. Ia menghancurkan kepercayaan yang selama ini dibangun dengan cinta dan kesabaran.

***

Sudah berbulan-bulan Damar hidup dalam penyesalan. Ia mencoba menulis, memahat kenangan dalam puisi, menggali makna dari tiap air mata. Tapi semua itu tak cukup. Maaf belum datang, dan Rania pun tak pernah memberi tanda. Untuk memberi maaf kepada Damar.

Namun Damar tahu, harapan adalah teman yang tak pernah meninggalkannya. Maka, ia mulai menapak perlahan, berjalan menyusuri tempat-tempat kenangan yang dulu pernah mereka singgahi. Ia menanam bunga di taman kecil pinggir kota, tempat mereka pernah duduk bersama, sambil mendengarkan rintik hujan yang turun membasahi tanah taman kota.

Saat malam tiba, Ia menulis surat diheningnya malam, lalu membakarnya saat fajar menyingsing, bukan karena putus asa, tapi menebus kesalahan dengan kejujuran.

Hari demi hari dilalui, ia belajar menjadi pribadi yang baru. Bukan untuk menunjukkan perubahan, tapi untuk menjadi lebih baik, meski cinta itu tak pernah kembali.

***

Damar berdiri di bawah lampu kamar yang remang. Di tangannya selembar surat yang telah kusut. Ia menatap langit, lalu berbicara, seolah kepada Rania yang tak terlihat.

“Sudah berbulan-bulan aku berjalan, Ran...

Bukan ke tempat yang jauh-tapi ke dalam diriku sendiri. Setiap langkah di taman tempat kita dulu berbagi tawa, adalah langkah yang mengingatkanku pada hari-hari ketika aku lupa menjadi manusia, yang seharusnya ada untukmu. Menjadi sandaranmu.

Aku menanam bunga di sana. Satu per satu. Bukan karena aku ingin kau melihatnya, tapi karena aku butuh melihat sesuatu tumbuh…dari luka yang aku tanam sendiri.

Setiap malam, aku menulis surat. Bukan untukmu, tapi untuk hatiku sendiri. Lalu kubakar saat fajar. Bukan karena aku ingin melupakan, tapi karena aku ingin menebus kesalahan.

Dengan setiap huruf yang terbakar, aku hancurkan ego,

aku bakar angkuhku.

Kau tahu, Ran? Keheningan adalah guru yang tak pernah berbohong. Dan selama ini, aku mendengarnya.

Aku salah. Dan kesalahan itu bukan hanya menyakitimu.

Tapi membunuh bagian terbaik dalam diriku.

Tapi aku tak di sini untuk meminta maaf itu datang.

Tidak. Karena maaf…bukan hakku.

Aku hanya ingin kau tahu: Jika suatu hari langkahmu kembali melewati taman itu, dan kau melihat bunga yang mekar di bawah rinai hujan

Ketahuilah…itu tumbuh dari penyesalan yang jujur.

Dan dari cinta, yang tak pernah benar-benar pergi.”

***

Suatu senja, saat matahari menggantung rendah di ujung cakrawala, Damar berdiri di tepi danau. Tempat terakhir ia dan Rania bertemu, tempat di mana ia berjanji untuk berubah, namun tak kunjung terjadi. Kini ia kembali, bukan untuk meminta, tapi untuk menyerahkan seluruh harapannya kepada waktu.

Tak disangka, Rania datang menghampiri, tak disengaja, katanya. Matanya menatap Damar lama, dingin namun tak sekeras dulu.

“Kenapa dirimu masih di sini?” tanya Rania pelan kepada Damar.

Damar tersenyum, getir namun tulus. “Meski cintamu telah pergi, aku masih mencintaimu. Bukan untuk memaksamu kembali, hanya ingin kau tahu…aku tak pernah lari dari kesalahan.” Balas Damar dengan nada penuh penyesalan.

Rania tak menjawab. Tapi matanya, yang semula beku, mulai mencair. Entah karena angin senja atau karena kejujuran perasaan Damar yang sampai di relung hatinya.

Dan di tengah senyapnya senja, tak ada janji yang dibuat. Tak ada pelukan, tak ada kata cinta. Hanya dua manusia yang saling menatap, menyadari bahwa perjuangan tak selalu tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk menghadapinya.

***

Senja berganti malam. Danau masih tenang, seolah ikut menahan napas menyaksikan pertemuan yang tak terduga itu. Rania masih berdiri di tempatnya, diam, menatap lelaki yang dulu telah membuatnya menangis tanpa suara.

“Sudah berapa lama kamu menunggu di tempat ini?” tanyanya Rania lirih.

“Cukup lama untuk belajar menunggu tanpa mengeluh. Cukup lama untuk sadar bahwa kehilanganmu… mengajarkanku menjadi manusia yang lebih baik.” Jawab Damar kembali.

Jawaban itu membuat dada Rania sesak. Dulu, ia pergi karena merasa Damar tak lagi memperjuangkannya. Ia lelah menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Tapi kini, yang berdiri di hadapannya bukan Damar yang dulu. Mata itu penuh kejujuran, bukan lagi keangkuhan. Suaranya tenang, bukan lagi membungkam.

***

Rania menatap ke danau, lalu kembali menatap langit. Bintang pertama malam itu muncul perlahan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata,

“Aku tak pernah benar-benar berhenti mencintaimu, Damar. Tapi aku takut. Takut kamu akan menyakitiku lagi.” Ucap Rania dengan nada penuh kejujuran.

Damar mendekat, namun menjaga jarak. “Aku tak bisa menjanjikan dunia, Ran. Tapi aku bisa janjikan satu hal: kali ini aku akan berjalan bersamamu, bukan di depanmu, dan bukan pula meninggalkanmu.”

Air mata jatuh di pipi Rania. Bukan karena luka, tapi karena hatinya yang pelan-pelan luluh.

Lalu, dengan langkah perlahan, ia menghampiri Damar. Mereka berdiri berhadapan, hanya sejengkal jaraknya. Tak ada pelukan dramatis, hanya genggaman tangan yang sederhana, tapi hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rania tersenyum, senyum yang dulu hilang, kini kembali menghiasi wajahnya.

“Kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki semuanya,” katanya pelan,

“Maka mari kita mulai dari awal. Bukan sebagai kelanjutan dari masa lalu, tapi sebagai dua orang yang memilih untuk memulai lagi, dengan hati yang baru.”

Damar mengangguk. Malam pun terasa lebih terang dari biasanya.

Di tepi danau itu, dua hati yang dulu hancur perlahan disatukan kembali. Bukan oleh kata-kata manis, tapi oleh kejujuran, luka yang disembuhkan, dan cinta yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan senyuman itu…kini telah kembali. Bukan sekadar kenangan, tapi sebagai harapan yang menjadi nyata.

Senin, 09 Juni 2025

MATAHARI MASIH BERSINAR

Sore itu, di kamar kos sempitnya hanya diterangi lampu meja, Rian duduk menatap layar laptopnya. Tumpukan buku kuliah terbuka di sampingnya, menunggu untuk dipelajari. Matanya lelah, pikirannya penuh, tapi bukan hanya karena tugas kuliah. Ada beban lebih hebat lagi menghimpit pikirannya, rasa kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.


Jauh di kampung halaman, orang tuanya sibuk dengan kehidupan mereka. Orang tuanya selalu berbicara tentang perjuangan untuk keluarga, tentang bagaimana mereka bekerja keras demi menjaga kehormatan di mata sanak saudara. Tapi, Rian merasa dirinya hanyalah bayangan semata di balik semua itu.

Sedari kecil, ia tumbuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti, keluarganya akan berdiri di sampingnya, mendukung seluruh impiannya. Namun ternyata, kenyataan berkata lain. Setiap kali Rian bercerita tentang kesusahan hidupnya di perantauan, jawabannya selalu sama, “Kamu harus kuat. Jangan mengeluh. Kami juga sedang berjuang di sini.”

Di layar ponselnya, ramai percakapan di grup keluarga yang tak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Hanya tentang acara keluarga, tentang pencapaian saudara-saudaranya, tapi tidak pernah ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, “Rian, bagaimana kabarmu disana? Kapan kuliahmu akan selesai?”.

Ia menghela nafas, mematikan layar laptopnya. Tidak ada gunanya larut dalam kekecewaan. Ia telah sampai sejauh ini, bukan karena dukungan mereka, tapi karena tekad dan usahanya sendiri.

Suasana malam semakin larut, tapi Rian masih tetap terjaga. Dibalik kesunyian malam, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu saat nanti ia akan berhasil. Bukan untuk membuktikan diri pada keluarga yang tak pernah peduli, tapi untuk penghargaan terhadap dirinya sendiri. Karena pada akhirnya nanti, hanya dirinya yang benar-benar tahu seberapa berat perjuangan ini.

***

Aktivitas hari ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya, pagi kuliah, sore bekerja paruh waktu, dan malam harinya belajar sampai larut malam, kembali mengulanginya lagi esok hari. Rutinitas yang dijalani Rian hampir sepanjang tahun. Terkadang rasa jenuh dan bosan itu datang, tapi Rian tidak menghiraukannya. Selama matahari masih bersinar, ia tidak pernah lelah menggapai impiannya.

Sudah seminggu, sejak pesan itu sampai kepada orang tuanya di kampung halaman, meminta tambahan uang bulanan. Kemungkinan tidak direspon sudah pasti, sebab permintaan ini sudah pernah sampai dua bulan yang lalu kepada orang tuanya. Mereka melupakan begitu saja, tidak ada kabar dan kepedulian kepada dirinya. Ia sudah hafal pola ini, setelah pesan dikirim, dibaca, dan dilupakan begitu saja.

Rian tidak lagi berharap banyak. Ia sering kecewa. Sejak meninggalkan kampung halaman, mengejar mimpi menjadi seorang arsitek, ia tahu tantangannya, berjuang sendiri. Orang tuanya sibuk membantu keluarga besar di desa, membantu paman merintis usaha, membiayai sepupu menikah, dan ikut membiayai renovasi rumah nenek, sedang untuknya? Tidak ada.

Awalnya, ia sampaikan kebutuhan dan biaya hidupnya di perantauan, ia berharap ada perhatian, tapi seiring berjalannya waktu, ia berhenti menunggu jawabannya. Ia tahu, ia harus bertahan, sebab tidak ada pilihan lagi.

Karena itu, ia bekerja paruh waktu, mencuci piring di warteg, menjadi asisten dosen, bahkan mengerjakan tugas dari mahasiswa lain, untuk mendapatakan uang tambahan. Lelah? Sudah pasti, tapi ia bertahan dan tidak boleh menyerah.

Selama matahari masih bersinar, ia berdiri dan berjuang. Untuk dirinya, sebab di dunia ini, terkadang orang yang bisa diandalkan adalah diri sendiri.

***

Rian menatap jendela kamar kosnya, memikirkan jalan mana yang harus dipilih, saat angin malam berhembus pelan, membawa kegelisahan yang tak kunjung reda. Di satu sisi, ia tinggal selangkah lagi menuju kelulusan. Tapi di sisi lain, ia masih memiliki tunggakan uang kuliah yang segera dilunasi. 

Tak berselang lama, pesan Rian yang dikirim kepada sahabatnya, mengerjakan proyek dosen mereka di luar kota. Akhirnya, balasan pesan sahabatnya sampai ke ponselnya.

“Bro, ikut kami saja kerjakan proyek dosen. Enam bulan cukup untuk melunasi semua biaya kuliahmu yang masih terhutang. Nanti kamu bisa ikut wisuda tanpa beban lagi.”

Sebuah tawaran yang menggiurkan. Tapi, akan menunda kelulusannya, yang ia perjuangkan mati-matian selama ini. Di sisi lain, tetap bertahan di kota ini tanpa kepastian dana, membuatnya semakin terpuruk. Mencari pinjaman? tapi dari siapa, orang tuanya? Hanya berkata: “Tidak ada dana, sabarlah.”

Rian menutup matanya sejenak, ia terlalu lama bersabar. Untuk kali ini, ia harus membuat keputusan. Malam ini, ia bersujud, memohon petunjuk kepada Tuhannya. Semoga diberikan pilihan yang benar untuk masa depannya. Setelah ia bangkit dari sajadahnya, hatinya kembali tenang. Apa pun pilihannya, ia tahu perjuangan belum berakhir, melangkah atau bertahan sejenak, satu hal yang pasti, ia harus menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

***

Enam bulan berlalu, dan Rian kembali ke kota tempat semua perjuangannya bermula. Tak ada spanduk penyambutan, tak ada peluk haru dari keluarga, hanya dirinya dan sebuah koper yang mulai lusuh karena terlalu sering menemaninya berpindah-pindah tempat kos. Ia menginjakkan kaki kembali di kampusnya dengan hati yang lapang. Uang sudah terkumpul, tunggakan lunas, dan ia siap kembali mengejar mimpinya yang sempat tertunda.

Satu demi satu langkah kecil ia tempuh, menyelesaikan skripsi yang sempat terbengkalai, menyiapkan laporan KKN, hingga akhirnya tiba hari yang selama ini hanya berani ia impikan: hari wisuda.

***

Gedung auditorium dipenuhi wajah-wajah penuh senyum, orang tua memeluk anak-anak mereka dengan bangga. Rian berdiri sendirian, mengenakan toga yang disewa dari koperasi kampus. Ia tersenyum kecil, pahit manis hidup ini seolah terwakili oleh kain hitam di tubuhnya.

Namun ketika namanya dipanggil naik ke panggung, seluruh ruang seolah membeku sesaat. Ia melangkah kan kaki ke depan, suara riuh kecil terdengar di antara barisan belakang penonton.

"Rian!"

Ia menoleh. Di antara kerumunan, berdiri ibu dan ayahnya, berpakaian sederhana, wajah mereka menua, lelah, namun kali ini penuh penyesalan dan haru. Mereka datang. Terlambat, mungkin. Tapi tetap datang.

Setelah turun dari panggung, mereka menghampirinya. Ibunya memeluknya erat, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah.

“Maafkan kami, Nak... Kami terlalu sibuk menjaga harga diri di depan orang lain, sampai lupa kamu sedang berjuang sendiri.”

Rian diam sejenak. Hatinya berkecamuk. Ada luka, ada kecewa, tapi juga ada kelegaan. Ia mengangguk pelan.

“Aku tidak butuh maaf. Aku cuma butuh kalian tahu… aku sampai di sini bukan karena siapa-siapa. Tapi aku senang kalian datang.”

Hari itu, matahari bersinar terang. Bukan sekadar terang biasa, tapi hangat, menyinari lembar baru hidup Rian. Tak lama setelah wisuda, ia diterima di sebuah firma arsitektur ternama lewat proyek luar kota yang dulu ia kerjakan. Bukan karena koneksi, tapi karena kualitas karyanya yang luar biasa.

Ia menyewa apartemen kecil di tengah kota, mulai hidup mandiri dengan penghasilannya sendiri. Setiap kali ia membuka jendela dan melihat matahari pagi, ia tersenyum. Bukan lagi senyum getir, tapi senyum pemenang, karena ia tahu, semua luka, semua lelah, telah berubah menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depannya.

Dan saat ia menggambar rancangan rumah pertamanya untuk klien, bukan rumah megah, melainkan rumah kecil sederhana di desa, ia menulis di pojok bawah kertas itu:

Untuk semua pemuda yang berjuang sendirian: matahari masih bersinar, dan kita masih punya harapan.”

Minggu, 01 Juni 2025

CINTA DAN HARAPAN

Hidup tetap berlanjut, sebab waktu tidak menginginkan sang hujan datang di kala senja. Dan saat malam tiba, hujan pun turun deras di sudut kota Tokyo. Di balik jendela apartemen kecilnya, Natan duduk termenung. Secangkir kopi panas, tak lagi menarik untuk diseruput olehnya. Matanya masih terpaku pada sebuah photo usang, wajah seorang gadis desa yang tersenyum simpul, sambil mencium aroma bunga mawar di tangannya. Namanya Nia.


Lima tahun yang lalu, sebelum keberangkatannya ke Kota Tokyo, Jepang, Natan dan Nia saling berjanji satu sama lain. Natan menggenggam erat tangan sang gadis, bersumpah setia di hadapan langit senja.

“Tunggu aku, Nia. Aku akan kembali. Bukan sebagai laki-laki biasa, tetapi seseorang yang akan hidup bersamamu, membangun keluarga kita nantinya.” Ucap Natan kepada Nia.

***

Namun, takdir terkadang suka bermain-main dengan mereka yang terlalu yakin pada rencana. 

Di tengah euphoria menyusun proposal akhir proyek. Datanglah seorang pria tua, pemilik perusahaan besar di Kota Tokyo, Tuan Hamada. 

“Aku menyukai semangatmu, Natan. Kau seperti diriku saat muda dulu. Dan kau tahu? Aku punya seorang putri. Dia terlalu lama hidup dengan dunia yang terkadang tak mengerti akan dirinya. Aku ingin menjodohkanmu dengannya.” Ucap Tuan Hamada kepadanya.

Natan terdiam. Ia pikir itu hanya sekedar basa-basi. Tapi Tuan Hamada melanjutkannya dengan tatapan penuh makna, “Natan, anggap ini sebagai proyek jangka panjang dan bentuk kerjasama kita. Jika kau menjadi bagian dari keluargaku, proyek ini akan segera menjadi milikmu.”

***

Tokyo, 1 bulan sebelum cerita perjodohan.

Sore itu, di pasar tradisional distrik tua Kota Tokyo, riuh penjual dan pedagang seperti hari-hari biasanya. Seorang gadis muda, mengenakan jaket hitam dan syal orange, melangkah pelan di antara kios-kios sayur dan rempah-rempah. Wajahnya tertutup masker, namun sorot matanya terlihat gelisah, gadis itu adalah Ayumi. Ia sengaja keluar dari kehidupan yang glamor dan gedung tinggi tempat ia bersama teman-temannya bersenda gurau menghabiskan waktu bersama. Ia menepi sejenak, dan ingin hidup seperti orang-orang yang pernah diceritakan oleh ibunya yang telah wafat, saat ia masih duduk di sekolah dasar. Hidup dengan orang-orang yang selalu berjuang dengan kehidupan, tepatnya di pusat pasar tradisional di distrik tua Kota Tokyo.

Tiba-tiba seorang pria menyenggolnya dengan tidak sengaja, dalam hitungan detik, tas kecil yang di tentengnya lenyap seketika. Ayumi terdiam tanpa perlawanan, ia terpaku, seolah dunia hening seketika. Namun dari arah yang berlawanan, seorang pria dengan ransel tua sigap berlari menerobos kerumunan orang yang berlalu lalang. Mengejar pencopet yang berlari kencang menjauh dari keramaian.

“Berhenti, kau!” teriak sang pemuda.

Tanpa ragu, pria itu terus mengejar pencopet hingga ke lorong yang sempit. Setelah melihat dengan jelas si pencopet, seketika itu si pemuda berlari dan melompat ke arah pencopet, pemuda itu berhasil merebut kembali tas tersebut.

Nafasnya tersengal, dan menghampiri kembali sang gadis. Tas diserahkan kembali kepada Ayumi, tapi tangan sang pemuda sedikit berdarah akibat ulah dari pencopet tadi, saat mereka saling tarik menarik tas milik Ayumi di lorong sempit tadi. 

“Ini tas Anda, hati-hati dengan barang bawaan Anda kalau sedang di pusat keramaian seperti ini.” Ucap si pemuda sambil menyerahkan tas kepada sang gadis. Lalu tersenyum kecil, tanpa menyebutkan nama, tanpa meminta imbalan dan berlalu begitu saja.

“Terima kasih Tuan.” Ucap Ayumi kepada si pemuda. Ayumi hanya bisa terdiam membisu, masih belum percaya kejadian ini menimpanya. Ia genggam tas nya dengan erat, takut kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Jantungnya berdegup kencang, mata itu, senyum itu dan ketulusan si pemuda penyelamat tasnya terus membekas diingatan dan relung hatinya. 

***

1 bulan kemudian

Dunia masih sibuk dengan aktivitasnya, dan seketika menghukum jarak kewarasan sang gadis yang masih belum bisa melupakan kejadian itu.

Ayumi bergegas mengangkat ponselnya, sedari tadi berdering meminta untuk dijawab. 

“Yumi, segera datang ke ruangan kerja Ayah.” Ucap sang Ayah kepadanya.

“Iya, Ayah.” Balasnya kepada Ayahnya. Ayumi sudah menduga kejadian ini akan datang, ia harus menuruti permintaan Ayahnya, untuk diperkenalkan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya. 

Pria itu yang kini mengenakan jas rapi dan berbicara penuh keyakinan kepada Ayahnya, adalah pria yang telah menyelamatkan tasnya dari aksi pencopetan di distrik tua Kota Tokyo sebulan yang lalu. 

Ternyata Natan, yang dengan polosnya, tidak pernah mengenali dirinya. Wajahnya datar, sopan. Seperti tak pernah berbagi momen apa pun dengan sang gadis, Ayumi. 

“Perkenalkan ini anakku, Ayumi. Sosok yang sangat ku sayangi dalam hidupku, Natan.” Ucapan Tuan Hamada kepada Natan.

Sejak saat itu, Natan dan Ayumi telah berkenalan, walau Ayumi masih menyimpan cerita indah tentang kenangan di distrik tua Kota Tokyo.

***

Balkon gedung kantor, saat langit senja mulai menggantungkan kelabu, angin berdesir perlahan. Natan dan Ayumi berjanji untuk bertemu di tempat itu. Mereka berusaha saling jujur berbicara perasaan masing-masing.

Natan menemui Ayumi, sedari tadi telah menunggunya. Mereka diam sejenak. Lalu Natan memulai pembicaraan mereka.

“Aku…tahu kau tidak menginginkan cerita perjodohan ini terus berlanjut Ayumi.” Ucap Natan memulai pembicaraan.

Ayumi tidak menoleh, masih terus menatap langit. “Aku tahu hati kita berat untuk menerima ini. Aku bahkan tidak mengenalmu seutuhnya, Natan.” Balas Ayumi kembali.

Natan menarik nafas dengan berat. “Ada seseorang gadis yang sedang menunggu diriku di kampung halaman, Ayumi. Dia bukan siapa-siapa, dia gadis biasa. Sederhana dan bersahaja. Gadis yang pernah ku genggam tangannya untuk berjanji setia kepadanya.”

Ayumi pun terdiam sejenak, perlahan melanjutkan ucapannya. “Aku iri pada gadis itu, bukan karena kau memilihnya. Tapi karena dia punya seseorang yang memilihnya meski dunia menawarkan segalanya kepadanya.”

“Ayumi, kamu terlalu baik. Sangat baik kepada diriku, kalau hidup ini adil, seharusnya dirimu mendapatkan seseorang yang mencintaimu sepenuhnya. Bukan diriku, yang hatinya masih tertambat pada sosok gadis di sana, yang jauh sebelum pertemuan ini terjadi.” Balas Natan kepada Ayumi.

“Kalau nanti kita berpisah, dan dirimu memilih kembali ke gadis itu, bisakah kau sampaikan satu hal kepadanya?” Pinta Ayumi kepada Natan.

“Apa perihal itu, Ayumi.” Balas Natan dengan rasa penasaran.

“Bilang padanya…bahwa ada seorang gadis yang pernah hampir mencintaimu, tapi memilih untuk mundur….karena tahu cintamu telah penuh.” Ucap Ayumi, dengan suara bergetar, seolah ada beban berat dari dirinya, yang belum rela melepaskan Natan kepada gadis lain.

Air mata Ayumi jatuh, tak kuasa ditahannya, ia tersenyum bahagia. Tak semua cinta harus dimiliki. Tapi cinta yang jujur, layak untuk dihormati.

Sunyi, hanya suara angin berdesir pelan menyambut senja di balkon. Natan mendekat, bermohon maaf kepada Ayumi, menggenggam tangannya dan perlahan melepaskannya. Mereka pun berpisah di sore itu, tanpa ada hati yang memendam rasa amarah lagi.

***

Tuan Hamada marah besar kepada Natan. Setelah tahu putrinya tidak menjadi pilihan pendamping hidupnya. Seluruh proyek kerja sama yang telah mereka sepakati, diputus sepihak oleh Tuan Hamada. Natan kecewa. Hidupnya telah berakhir, sebab usaha yang telah dirintisnya mendapatkan murka dari kolega-kolega Tuan Hamada juga di Kota Tokyo. Ia pun pasrah, dan tidak mungkin meminta belas kasihan kepada Tuan Hamada dan para kolega bisnisnya.

Kegagalan proyek yang telah dirintis Natan yang bekerjama dengan perusahaan Tuan Hamada terdengar oleh Ayumi. Secara sengaja, staf di perusahaan ayahnya mengirimkan pesan kepadanya. Staf perempuan itu adalah teman kuliah Ayumi dulu di kampus yang sama.

Ayumi pun sedih dengan kondisi Natan, mengalami keterpurukan di bisnis properti yang telah dirintisnya. Ayumi tahu kalau sosok Ayahnya sangat kejam, pasti seluruh kolega ayahnya ikut terlibat menghancurkan bisnis Natan. Dan praduga Ayumi benar, semua telah dijelaskan oleh staf perusahaan yang merupakan teman Ayumi.

“Dugaan kamu benar, Ayumi. Seluruh kolega Tuan Hamada turut serta menghancurkan bisnis Pak Natan di Tokyo.” Jawab Haruka, teman Ayumi.

Setelah pertanyaan Ayumi meminta informasi tentang beberapa proyek kerja sama Natan dengan perusahaan Ayahnya dan para koleganya dijawab lugas oleh Haruka.

“Terima kasih informasinya, Haruka. Maaf kalo membuat mu menjadi merasa bersalah, karena membocorkan informasi penting kepadaku.” Balas Ayumi dengan perasaan bersalah kepada Haruka.

“Tidak apa-apa, Ayumi. Aku ingin membalas jasa-jasa baikmu dulu padaku. Semoga informasi ini dapat membantumu.” Ucap Haruka meyakinkan Ayumi, bahwa tidak ada yang harus disalahkan dengan kebenaran informasi ini.

***

Setelah mengumpulkan keberanian dan tekad yang kuat. Ayumi menelpon untuk bertemu langsung di tempat kerja Ayahnya, pertemuan antara Anak dengan Ayah tepatnya.

Ayumi datang menemui Ayahnya. Ia pun bersikap dewasa. Tidak ingin menghardik orang tuanya dengan perkataan kasar. Walau pun ia mencintai Natan, Ayumi tahu rasa cintanya tidak mungkin berbalas.

Di depan meja kerja ayahnya, Ia duduk berhadapan dengan sosok yang dikaguminya, sebab setelah kehilangan ibunya, sosok ayahnya yang telah menginspirasi hidupnya. Ia yakin, kemarahan Ayahnya kepada Natan, karena rasa cintanya kepada dirinya. Ayahnya tidak ingin melihat putrinya kecewa dan berlarut-larut dalam kesedihan.

“Ayah, maafkan Natan. Ia tidak bersalah atas sikap yang telah dipilihnya. Itu pilihan hidupnya, Ayah. Kumohon kepadamu.” Pinta Ayumi memulai pembicaraan, dengan nada memelas dan menahan rasa sedih yang teramat dalam. Ia tidak mau kehilangan, kelembutan hati Ayahnya yang selama ini ia rasakan, yang mencintai dan menyayanginya, bukan sosok yang sekarang, penuh amarah dan kebencian.

“Kenapa Yumi begitu tulus memohon maaf kepada Ayah atas kesalahan yang diperbuat Natan kepadamu. Dunia ini akan kuberikan untukmu, tanpa engkau bermohon kepadaku, putriku.” Balas Ayahnya kepada Ayumi dengan wajah penuh kasih sayang, yang sedari tadi wajahnya masih marah dan benci kepada Natan.

Mereka berdua saling tatap, Ayumi dengan sigap memeluk sang Ayah. Ia meneteskan air mata bahagia, dengan jawaban sang Ayah kepadanya, berarti permohonan maaf Natan melalui dirinya telah diterima.

“Terima kasih Ayah, kamu adalah sosok pria yang sangat ku sayangi dan ku cintai di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan sosok Ayah, penuh kasih sayang kepada Yumi.” Ucap Ayumi sambil memeluk erat Ayahnya dan balasan sang Ayah mendekap erat Ayumi juga dalam pelukannya, berusaha menenangkan kesedihan melanda hati putrinya.

***

Natan telah menduga, perubahan yang terjadi pada beberapa proyek kerja sama yang telah diputus secara sepihak dengan Perusahaan Tuan Hamada dan para koleganya begitu cepat membaik. Kembali berjalan normal, tanpa ada permasalahan yang pernah terjadi sebelumnya.

Pasti ada kebaikan dirinya yang masih tersimpan di dalam relung hati Ayumi. Sehingga kegagalan yang menimpa proyeknya kemarin, kini telah selesai dan berakhir sukses.

“Terima kasih Ayumi, maafkan diriku yang telah membuatmu susah.” Ucap Natan memulai pembicaraan melalui sambungan telepon kepada Ayumi.

“Aku tidak pernah takut kehilangan siapapun di dunia ini, kecuali sosok Ayahku, Natan. Kita sama-sama sedang memperjuangkan cinta dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.” Balas Ayumi kepada Natan.

Dan Ayumi merasa tidak pernah direpotkan oleh Natan, sebab ia memperjuangkan sebuah cinta yang telah lama tumbuh di dalam hati mereka masing-masing. Cinta Natan kepada gadis pujaan hatinya di kampung halaman. Begitu pula cinta Ayumi kepada Ayahnya, harus ia perjuangkan, sebab ia tidak ingin kehilangan sosok Ayahnya, karena rasa benci dan amarah kepada Natan yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian.

Minggu, 18 Mei 2025

CINTA YANG TAK LAGI MENYISAKAN LUKA


Koper itu diam di sudut kamar, seperti perasaan yang tak pernah benar-benar pergi, menunggu untuk dibereskan, ditinggalkan. Sandi menatap kopernya lama, seolah berharap sesuatu yang berat di dadanya ikut terlipat di antara pakaian dan kenangan yang telah disusun rapi di dalamnya. Esok hari, ia akan meninggalkan kota ini. Kota yang mengajarinya cara bertahan hidup, mencintai sang pujaan hati dalam diam dan terluka tanpa suara.

Di kota inilah ia menapaki tahun-tahun panjang sebagai mahasiswa perantauan. Menyusun impian dengan hari-hari tanpa mengenal lelah, membangun harapan dari hari-hari yang sering kelabu. Dan di antara perjuangan itu, ada Reina, nama yang tertinggal di relung hatinya yang paling sunyi.

Ia tidak pernah benar-benar menyatakan cinta. Waktu terlalu sempit, dan keberanian selalu datang terlambat. Tapi ia berharap, sebelum beranjak pergi, akan ada kesempatan untuk berpamitan, bukan sebagai kekasih yang gagal, melainkan sebagai dua orang yang pernah saling peduli.

Ia pikir, sebelum melangkahkan kaki pulang ke kampung halaman, ia akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu Reina. Setidaknya untuk bermohon maaf dengan tulus, untuk menutup kisah ini tanpa ada yang menggantung perasaan hati Sandi kepada Reina.

Sandi bahkan telah menitip salam melalui Wiwin sahabat kampus Reina, yang juga berteman baik dengan Sandi, berharap sosok gadis itu mau memberikan kesempatan terakhir kepadanya, berbicara langsung dari hati ke hati kepadanya.

Tapi jawabannya yang datang kepadanya, telah menghancurkan harapan dan perasaan Sandi kembali.

“Reina bilang….dia belum siap untuk bertemu denganmu, Sandi.” Ujar Wiwin dengan hati-hati kepadanya.

Sandi terdiam pasrah. Hatinya terasa sedikit perih dan perlahan mulai hancur, meski ia sudah mempersiapkan kemungkinan ini terjadi padanya.

“Masihkan hatinya belum luluh, Win? Apakah luka itu masih terlalu dalam untuk dimaafkan?” balas Sandi kepada Wiwin, seraya tersenyum walau hatinya sebenarnya terluka.

Wiwin mengangguk tanda setuju. “Reina mungkin butuh waktu lebih lama, bukan berarti dia membencimu.”

Sandi menghela nafas panjang, sepertinya, memang tiada lagi harapan yang bisa ia lakukan.

***

Malam terkahir di kota itu, sebelum keberangkatan esok pagi ke bandara, ia sempatkan menyusuri jalan sunyi sepanjang jalanan kampus, sendiri hanya sendiri. Jalanan mulai sepi, langkahnya membawa kenangan yang lalu, tempat di mana ia pernah tertawa bersama sahabat-sahabatnya, belajar dan merenungi sepanjang hidupnya di sekitar taman kampus tepatnya.

Di salah satu sudut taman kampus, ia berhenti dan menatap langit malam yang mulai menua. Tak seperti malam-malam biasanya. Berkabut dan gelap.

“Mungkin ini memang jalan yang dipilih Reina. Aku sudah memaafkan diriku sendiri, dan aku berharap suatu hari nanti, dirimu juga akan memaafkan kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu, Reina.” Gumam Sandi di dalam hatinya yang dilanda kegelisahan akan hari esok, masihkah bisa berjumpa kembali dengan sang gadis atau malah hanya angan-angan saja. Sebab, ia ingin melangkahkan kaki, berpisah dengan kota ini dalam keadaan hati yang lebih tenang.

Entah takdir akan berkata lain, tapi satu hal yang pasti, hidup harus tetap berjalan. Sebab esok akan datang dan tidak pernah menunggu hati yang sedang terluka atau hati yang sedang merindu.

***

Kembali kenangan itu mengingatkan Sandi. Saat hujan turun tipis. Mereka berdua berteduh di bawah atap halte kampus, hanya berdua, dikelilingi riuh suara air yang jatuh dan lampu jalan yang temaram. Reina duduk sambil memeluk lututnya, bajunya sedikit basah karena gerimis yang datang mengejutkan.

“Kau percaya cinta diam-diam bisa membuat seseorang bertahan hidup?” tanya Reina tiba-tiba kepada Sandi, sambil menatap ke arah jalan yang kosong.

Sandi tersenyum kecil. Ia tak tahu harus menjawab apa, sebab hatinya sendiri adalah saksi dari cinta yang ia simpan dalam diam.

“Mungkin bukan bertahan hidup. Tapi, cukup untuk membuat seseorang berani bangun setiap pagi dan menghadapi hari” jawabnya pelan,

Reina menoleh. Tatapannya dalam. Dan dalam gelap malam dan suara hujan itu, mata mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata.

“Kalau nanti aku pergi jauh… dan kita nggak sempat pamit, kamu bakal ingat aku seperti apa?” bisik Reina kepada Sandi, seolah angin pun tak perlu tahu.

Sandi menatapnya lama, lalu menjawab:

“Sebagai satu-satunya hujan… yang pernah membuat aku betah kehujanan.”

Mereka tidak pernah berpegangan tangan. Tidak pernah saling menyatakan cinta. Tapi dalam keheningan yang mereka bagi, dalam keakraban yang tumbuh tanpa nama, cinta itu pernah hidup, meski hanya sebentar, meski hanya diam.

Dan itulah kenangan yang Sandi simpan hingga hari ini, bukan tentang kepemilikan, tapi tentang kebersamaan yang pernah cukup.

***

Waktu berlalu dalam diam, seperti daun yang gugur satu persatu tanpa suara. Sandi kini telah menapaki kesuksesan dengan usahanya di kota kelahirannya. Namun, ada satu hal yang masih belum berubah dalam hidupnya, dan masih tetap sama, ada ruang kecil di hatinya yang tetap tertingggal di masa lalu, bersama nama itu, ia masih mengikuti kabar perjalanan hidup gadis pujaan hatinya, sosok yang tak lain adalah Reina. 

Reina, sekarang dikenal sebagai sosok sukses dan terkenal dengan klinik kesehatan ibu dan anak yang dimilikinya. Ia mendirikan sebuah klinik kesehatan yang tidak hanya memberikan layanan medis, tetapi juga menjadi tempat bagi para ibu untuk berbagi cerita dan dukungan kesehatan mental yang sedang berjuang memberikan asi eksklusif kepada bayi mereka.

Sandi sering membaca tentang Reina dari media sosial, melihat video dan foto-fotonya, saat ia berbicara menjadi narasumber dalam seminar dengan senyum hangatnya. Dan setiap kali melihatnya, ada rasa bangga yang tumbuh dalam dirinya, meskipun mereka masih belum pernah bertemu kembali satu sama lainnya.

Namun sebaliknya, dalam setiap kebanggaan itu, ada satu harapan yang tidak pernah pudar, kesempatan untuk bertemu, dan untuk terakhir kalinya mengucapkan maaf yang dulu belum bisa disampaikan secara langsung.

***

Takdir terkadang datang dengan cara diam-diam, perjalanan Sandi untuk bertemu dengan teman bisnisnya di kota Reina ternyata tanpa diduga olehnya. Setelah pertemuan dengan rekan bisnisnya selesai, ia sempatkan untuk melewati sebuah gedung klinik kesehatan yang namanya sudah tidak asing lagi baginya. Klinik milik Reina.

Setelah sampai di lokasi klinik Reina, jantungnya berdebar, Ia berhenti sejenak di depan klinik itu, menatap ke arah pintu kaca yang memperlihatkan aktivitas di dalamnya. Ia bisa saja masuk, atau sekedar menyapa dari kejauhan dan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Ia merasa ragu, apakah Reina masih mengingatnya? Apakah luka yang dulu masih disimpannya?

Ia menghela nafas panjang. “Mungkin inilah saatnya.” Bisik Sandi berusaha meyakinkan hatinya.

Namun, sebelum ia melangkah masuk ke dalam klinik itu, seorang ibu dengan bayinya keluar dari klinik itu, tersenyum bahagia, kemungkinan setelah berkonsultasi dengan sosok perempuan yang di dalam kilinik itu. Dan seolah ia tahu, Reina berada di balik senyum itu.

Sandi tersenyum bahagia, “Dia sudah bahagia dengan hidupnya sekarang, mungkin aku tak perlu menjumpainya lagi.” Gumamnya kembali di dalam hati.

Ia pun memilih mundur, dengan kemungkinan jika takdir menghendaki, perjumpaan mereka akan terjadi dengan sendirinya, tanpa perlu dipaksakan.

***

Sang waktu terus berputar dengan cepatnya. Sandi dan Reina telah menjalani kehidupannya masing-masing. Mengejar impian yang dulu mereka perjuangkan saat menimba ilmu di kampus. 

Hingga suatu hari, takdir masih merestui perjumpaan mereka kembali.

Bukan dalam situasi yang mereka bayangkan, bukan pula dalam momen dramatis penuh emosi yang mereka harapkan. Tapi justru dalam suatu momen dan suasan yang lebih tenang, di sebuah acara kesehatan yang mempertemukan para tenaga medis dan konsultas kesehatan serta stake holder yang terlibat.

Sandi yang telah bermitra bisnis dengan koleganya untuk alat-alat medis, yang ternyata adalah suami dari Reina. Mereka dipertemukan oleh pasangan masing-masing.

“Sandi, kenalkan ini istriku, Reina.” Ujar suami Reina, yang tak lain kolega dari Sandi dalam sebuah proyek kesehatan di daerah terpencil di kota Sandi.

Dan sejenak waktu terdiam, dunia seolah serentak berhenti berputar. Nama itu, wajah itu, semuanya masih sama, namun kini berdiri dengan jarak yang tak lagi bisa didekati. Detak jantungnya yang pelan-pelan mempercepat ritmenya.

Reina masih sama. Bahkan mungkin lebih dewasa, lebih teduh. Namun matanya masih sama, membawa sinar yang dulu pernah ia kenal: hangat dan penuh makna. Dan sekarang tidak mungkin bisa digapai kembali.

Reina menatap Sandi dengan mata yang seolah ragu, inikah pertemuan mereka untuk pertama kali, setelah sekian lama kenangan itu telah tersimpan rapat-rapat dari sanubarinya, seakan menyisir kembali tahun-tahun yang telah mereka lewati di ruang yang berbeda. Sandi, meski telah bersiap dengan keadaan ini, pertemuan mereka bersama dengan pasangan masing-masing, pertemuan yang sudah lama dinantinya, ternyata perasaan itu masih mengganjal di hatinya.

Setelah suaminya pamit sejenak untuk berbicara dengan rekan bisnisnya lain, mereka berdiri berdua. Ada jeda. Lalu, Sandi membuka suara.

"Kupikir kita tidak akan pernah bertemu lagi, Reina."

Suara itu dalam, tapi tak memaksa. Ia hanya ingin hadir sebagai laki-laki yang pernah mencintai, bukan yang memohon untuk dicintai kembali.

Reina tersenyum samar, menunduk sejenak, lalu menatapnya.

"Aku pun berpikir hal yang sama. Tapi hidup selalu punya cara mengejutkan kita, bukan?"

Hening kembali menyela, tapi bukan canggung. Ada damai yang merambat perlahan ke dada mereka. Lalu Reina melanjutkan pembicaraan.

"Waktu itu… aku belum siap. Terlalu banyak luka yang belum bisa kubedakan, apakah dari kecewa… atau kah dari rindu."

Sandi mengangguk, seperti menerima sesuatu yang sejak lama ingin ia dengar dari Reina.

"Dan sekarang?" tanya Sandi pelan kepada Reina.

Reina menatapnya. Dengan lirih ia menjawab.

"Sekarang… aku sudah bisa melihatmu tanpa menyimpan perih. Tapi aku juga tahu, hidup kita tak lagi berseberangan, melainkan berjalan di arah yang berbeda."

Sandi tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya bukan untuk menutupi luka. Ia benar-benar tenang.

"Aku hanya ingin kau tahu, aku tak pernah menyalahkanmu. Bahkan saat kau tak datang waktu itu… aku mengerti." ucap Sandi dengan penuh ikhlas.

Reina menghela napas. "Aku tahu. Dan aku bersyukur, kau tidak menunggu selamanya." balas Reina dengan nada lembut.

"Takdir terlalu baik untuk membiarkan kita terus menggantung masa lalu," lanjut Reina.

"Kita butuh berpisah… agar bisa menemukan arah pulang kita masing-masing."

Sandi menatapnya lama, lalu berkata dengan suara nyaris bergetar:

"Satu hal yang belum sempat kukatakan saat itu: aku sungguh minta maaf… untuk segalanya."

Reina menggeleng lembut, menahan haru.

"Maafmu sudah sampai, bahkan sebelum kau mengucapkannya. Mungkin tidak pada hari itu… tapi hari ini cukup."

Mereka saling tersenyum kecil. Seolah mata mereka telah tertaut dan sedang berbicara, dan menggambarkan suasana yang berbeda. Tanpa disadari, ketegangan yang sempat hadir sesaat diantara mereka, kembali mencair. Mereka terus berbicara satu sama lain, berbagi cerita. 

Sementara itu, di dalam hati Sandi yang terdalam, masih menyisakan sebuah pertanyaan yang ingin ia utarakan kepada Reina.

“Apakah dirimu sudah memaafkanku, Reina?” bisik Sandi dalam hatinya.

Dan di dalam lubuk hati Reina juga, ada satu pertanyaan yang ia ingin ungkapkan.

“Apakah masih perlu kata maaf itu, ketika hidup telah berjalan sejauh ini.”

Mungkin maaf itu tidak pernah benar-benar terucap. Mungkin, ada luka yang memang dibiarkan sembuh dengan sendirinya. Tanpa ada permohonan maaf yang terucap. 

Dan mereka dipertemukan kembali bukan untuk memperbaiki masa lalu, tetapi untuk menyadari bahwa hidup telah membawa mereka kembali ke tempat seharusnya mereka berada.

Ketika pertemuan diantara mereka berakhir, mereka berpisah dengan senyum penuh arti. Bukan lagi sebagai seseorang yang masih memiliki urusan hati yang belum selesai, melainkan sebagai jiwa-jiwa yang telah berdamai dengan takdirnya. Mungkin luka itu tak perlu diobati dengan kata, cukup dibiarkan sembuh oleh waktu, dan diceritakan hanya dalam senyuman yang saling memahami.

Tak ada genggaman tangan. Tak ada pelukan. Hanya sebuah kalimat penutup yang Reina bisikkan pelan, nyaris seperti doa.

"Jaga dirimu, Sand. Bahagialah… sepenuhnya."

Dan Sandi menjawab dengan mata yang teduh:

"Begitu juga kamu, Reina. Terima kasih… untuk pernah menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidupku."

Mereka berjalan ke arah yang berbeda, namun kali ini tanpa beban. Karena mereka telah berdamai. Dengan luka, dengan waktu, dengan takdir dan dengan cinta yang tak harus dimiliki.

Senin, 07 April 2025

MIMPI DI ATAS LANGIT

Di sebuah desa kecil yang terletak di lembah subur pulau Sumatera. Hidup seorang gadis bernama Sina. Sejak kecil, ia dikenal sosok yang cerdas dan penuh semangat dalam belajar. Namun, di desanya, perempuan tidak dididik untuk bermimpi tinggi. Setelah lulus SMA, mereka diharapkan segera menikah, mengurus rumah tangga dan melayani suami dengan baik. Begitulah adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun di desanya.


Namun, Sina sosok gadis muda yang berbeda. Sejak duduk di bangku sekolah pertama, SMP, ia telah bermimpi menjadi seorang dokter. Ia ingin membantu orang-orang di desanya yang sering sakit, tapi sulit mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Sayangnya, keinginannya dianggap angan-angan kosong oleh keluarganya.

“Perempuan jangan terlalu berharap pendidikan yang tinggi, Sina.” Kata ibunya suatu sore, saat Sina memberanikan diri untuk menyampaikan niat baiknya, ingin menjadi seorang dokter.

“Tugas perempuan, menikah, punya anak dan mengurusi suami. Itu kodrat kita, Sina.” Tutup ibunya seketika itu kepada Sina.

Ayahnya, seorang petani yang sangat disegani di desanya, hanya bisa menghela nafas panjang. “Jangan menentang adat, Nak. Tidak ada perempuan di desa ini yang bersekolah tinggi. Mau jadi bahan gunjingan orang kampung kamu, Nak.” 

***

Namun, Sina tidak menyerah. Diam-diam, ia mencari informasi tentang program beasiswa pendidikan ke masing-masing universitas, baik dari dalam dan luar negeri. Ia belajar siang dan malam, bahkan setelah selesai membantu ibunya memasak dan mengurus adik-adiknya. Ia selalu menyempatkan diri di sore harinya, untuk mengajar anak-anak sekolah dasar di desanya. Uang yang didapat dari orang tua anak-anak siswa yang di ajarnya, ia tabung sedikit demi sedikit. Untuk kebutuhan biaya masuk universitas nanti, jika biaya dari orang tua nantinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikannya kelak.

Banyak penawaran beasiswa pendidikan dari berbagai universitas, baik dari dalam dan luar negeri yang telah didaftarkan oleh Sina. Seluruh kelengkapan berkas yang dibutuhkan oleh universitas, dengan hati-hati dipersiapkan oleh Sina. Ia takut gagal. Setiap sore, sebelum mengajar, ia sempatkan untuk datang ke warnet di sebelah desanya, untuk sekedar mengecek balasan email pemberitahuan yang masuk dari masing-masing universitas yang telah dilamarnya.

***

Ketika pengumuman beasiswa dari universitas luar negeri keluar, tangannya bergetar saat membuka surat elektronik di warnet satu-satunya yang berada di kota kecil sebelah desa mereka. Air matanya menetes, ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan ini. Ia dinyatakan lulus.

Tapi perjuangannya belum selesai. Ketika ia menyampaikan berita baik ini kepada orang tua dan keluarga besarnya, kemarahan pun pecah.

“Jangan gila, Sina. Perempuan tidak boleh pergi sejauh ini sendirian. Kau ingin membuat malu keluarga besar kita.” Bentak pamannya kepada Sina, dalam pertemuan keluarga besar mereka di rumahnya.

Ibunya menangis, sementara ayahnya hanya menghela nafas, duduk terdiam. Tapi Sina masih berdiri teguh, tidak takut menghadapi masalah ini seorang diri.

“Bukankah dulu Ayah pernah berkata, bahwa desa ini butuh orang yang bisa membawa perubahan. Aku ingin kembali ke sini, sebagai seorang dokter, Ayah. Aku ingin menolong orang-orang di desa kita.” Cerita Sina dengan bibir bergetar, menyakinkan kedua orang tua dan keluarga besarnya.

Malam itu, Sina tidak bisa tidur dengan lelap. Hanya doa dan air mata yang mampu dipanjatkan kepada Tuhannya. Ia gelisah menanti hari esok tiba. Serasa begitu lama waktu berputar. Ia berharap keputusan yang diberikan ayahnya, terbaik untuk masa depan pendidikannya kelak.

Keesokan harinya, ayahnya datang memanggilnya, berbicara dari hati ke hati di ruang tamu rumah. Dengan wajah Sina yang masih diliputi keraguan, seolah harapan itu akan sirna. Namun, dengan penuh kelembutan ayahnya berkata “Pergilah, Nak. Tunjukkan bahwa perempuan juga bisa bermimpi. Ayah mengikhlaskan kepergianmu. Kuatkan semangatmu, Nak.” Suasana haru terjadi diantara mereka berdua, ayah dan anak saling berpelukan, Sina tak kuasa menahan air matanya. Sambil memeluk ayahnya dengan erat, Ia mengucapkan terima kasih dengan suara yang bergetar, berjanji untuk memenuhi semua mimpinya kepada ayahnya.

***

Hari itu akhirnya tiba. Sina berdiri di bandara, menggenggam tiket pesawatnya dengan erat. Tiket ini bukan hanya selembar kertas perjalanan, melainkan simbol dari mimpi-mimpi dan pengorbanan. Sawah keluarga mereka, telah dijual kepada tuan tanah untuk membiayai pendidikannya di Negeri Belanda. 

Ibunya berkali-kali menyeka air mata, tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam, berpisah dengan anak perempuannya untuk waktu yang lama, sedang ayahnya berdiri tegar, meski matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan, berpisah dengan Sina, putri yang sangat dicintainya.

“Jangan lupa dari mana kau berasal, Nak.” Pesan ayahnya lirih.

“Kami mungkin telah kehilangan sawah keluarga, tapi kami tidak kehilangan harapan, gapailah cita-citamu Sina. Ayah dan ibu selalu mendoakanmu disini.” Lanjut ayahnya dengan nada ketegaran, berusaha menyembunyikan kegamangan hati seorang ayah yang hendak ditinggal putri kesayangannya.

Sina pun berangkat dengan air mata haru, ia tahu perjalanannya tidak akan mudah. Ia memeluk ibu dan ayahnya erat-erat, lalu menggenggam tangan mereka berdua.

“Aku akan kembali, Ayah, Ibu. Aku berjanji.” Ucap Sina bergetar, sambil menyeka air mata yang jatuh menetes di pipinya.

Saat panggilan keberangkatan diumumkan. Sina melangkah menuju pintu gerbang imigrasi bandara, jantungnya berdetak hebat. Ia masih muda, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas, SMAnya, dan kini harus bersiap menghadapi dunia yang asing, di negeri jauh bernama Belanda.

Sina berjanji akan kembali ke desanya. Bukan sebagai gadis yang menentang adat semata, tetapi sebagai bukti bahwa perempuan pun bisa mengubah dunia.

***

Di dalam pesawat, ia menatap keluar jendela, melihat tanah airnya perlahan mengecil di bawah sana. Hatinya dipenuhi ketakutan, tetapi juga semangat yang membara. Di depannya, Leiden menunggu, Universitas Leiden Medical Center (LUMC), tempat di mana ia akan menuntut ilmu kedokteran.

Dan dengan satu tarikan nafas panjang, Sina berbisik di dalam hatinya.

“Aku akan menjadi dokter. Aku akan kembali. Mohon doa dan ikhlasmu wahai Ayah dan Ibu.”

***

Hari demi hari yang dilalui di Leiden tidaklah mudah bagi Sina. Bahasa belanda yang sulit, budaya yang berbeda dan metode pembelajaran yang berbeda pula serta tuntutan akademik yang tinggi dari fakultas kedokteran LUMC sering membuatnya hampir menyerah.

Ada saat-saat dimana ia putus asa pada dirinya sendiri. Namun, setiap kali rasa putus asa itu datang dan menghampiri dirinya, ia kembali mengingat air mata ibunya di bandara dan janji yang ia buat kepada ayahnya, serta sawah keluarganya yang telah terjual untuk membiayai pendidikannya.

Beasiswa pendidikan dari kementerian tidak memberikan toleransi. Ia harus lulus tepat waktu, atau segalanya akan sia-sia semua. Sina banyak mengorbankan waktu tidurnya, mengurangi makan demi menghemat uang bulanannya dan menghindari segala bentuk hiburan. Hidupnya hanya berkutat pada buku, ruang praktik dan rumah sakit tempat ia menjalani praktik dan latihan. 

Meski demikian, ia tidak pernah mengeluh. Sebab ia tahu, banyak orang di kampung halamannya berharap kesuksesannya, bukan cerita kegagalannya. Ia harus kembali dan membangun klinik kesehatan untuk para warga di desanya.

***

Tahun demi tahun telah dilewati dengan pengorbanan waktu, tenaga dan pikirannya. Kawan-kawan yang berasal dari berbagai negara dengan latar belakang yang berbeda pula. Ada Yolana dari Spanyol, Bastian dari Jerman, Raya dari Mesir dan banyak lagi. Mereka semua memiliki impian yang besar, tetapi tidak semua memahami perjuangan yang telah dilalui oleh Sina.

“Sina, tolong ceritakan tentang keindahan negerimu kepada kami, yang selalu kami dengar tentang negeri dari berita.” Ucap Yolana sahabatnya dari Spanyol kepada Sina, suatu hari saat mereka sedang berbincang di dalam kelas.

Sina dengan mata berbinar, dengan senang hati bercerita tentang desa dan adat istiadat di kampung halamannya kepada Yolana dan kawan-kawan yang lain. Mereka secara seksama mendengar cerita dari Sina. Rasa ingin tahu mereka, membuat tidak pernah bosan, untuk selalu menantikan kelanjutan cerita Sina, disela-sela waktu yang terkadang bisa mereka sempatkan untuk berbagi cerita satu sama lainnya.

Disela kesibukan Sina dan sahabat barunya Raya yang berasal dari Mesir, mereka sedang duduk bersebelahan.

“Sina, aku tahu kamu memikirkan sesuatu, bisakah kamu berbagi cerita denganku, permasalahan apa gerangan yang sedang kamu hadapi.” Tanya Raya kepada Sina, saat mereka berdua duduk di depan pintu perpustakaan kampus.

Sina menghela nafas, “Aku takut mengecawakan kedua orang tuaku, semua orang-orang kampung yang berharap padaku, andai terlalu lama di sini, aku tidak bisa membantu mereka secepatnya.” Ucap Sina kepada Raya, menyampaikan pergulatan batin yang sedang dihadapinya.

“Kau tahu, Ibuku adalah seorang bidan di desa kecil di Mesir. Aku kesini bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk semua perempuan yang membutuhkan pertolongan. Dan aku yakin, kau juga seperti itu. Kita disini bukan untuk meninggalkan mereka, tapi untuk kembali agar lebih kuat.”

Kata-kata itu seolah telah menampar kesadaran Sina. Sehingga, membuat ia tidak boleh mudah menyerah dengan penderitaannya menuntut ilmu di negeri ini.

Ia lalu memeluk sahabatnya, Raya. Tak lupa mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Raya atas nasehat-nasehat yang telah diberikan kepadanya. Akhirnya, mereka pun saling menguatkan satu sama lain.

***

Akhirnya, hari yang dinanti telah tiba, hari wisuda tepatnya. Ia memakai jubah hitam dan topi toga di kepalanya, Sina berdiri tegak di tengah aula besar, matanya berkaca-kaca saat namanya dipanggil. Ia telah lulus, tepat waktu dengan nilai yang membanggakan. Walau tanpa kehadiran kedua orang tuanya di hari sakral wisudanya, mereka jauh di kampung halaman, tapi turut bahagia dan bangga dengan kelulusan anaknya. Setengah dari harapan dan doa dari orang tuanya selama ini, telah terjawab. Sina hanya tinggal selangkah lagi menggenapi janjinya kepada mereka, membuka praktik dokter di kampung halamannya.

Saat ia menerima ijazah kelulusannya, hatinya berbisik meyakinkan dirinya.

“Aku akan pulang, Ayah. Tunggu aku di sana. Aku berjanji akan membangun klinik kesehatan itu untukmu, Ibu.”

Dan dengan langkah mantap, Sina bersiap pulang ke tanah air, kampung halaman yang sangat dirindukannya. Bukan lagi sebagai gadis yang melawan adat, melainkan seorang dokter yang membawa harapan kepada orang-orang di kampungnya.

Sabtu, 29 Maret 2025

NEGERI PARA PANGLIMA TALAM

Di sebuah negeri yang mulai maju peradabannya, berada diantara lembah kabut pekat dan memiliki lahan pertanian yang subur, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Dipamanggala, yang berarti kerajaan memiliki pemimpin yang bercahaya atau bijaksana. Kerajaan Dipamanggala dipimpin oleh seorang raja bernama, Baginda Maharaksa, dimana Ia adalah raja yang bijaksana, tetapi usianya sudah semakin tua, sehingga ia sangat bergantung kepada para panglimanya untuk mengatur jalannya roda pemerintahan di kerajaan.


Negeri ini kaya raya, istana kerajaan yang megah bertahtakan emas dan permata. Namun, di balik kemewahannya itu, negeri ini banyak menyimpan rahasia kelam akhir-akhir ini. Dimana, para panglima kerajaan yang tampak gagah di depan rakyat, mengenakan baju perang berlapis baja terbaik, berbicara lantang kepada prajurit tentang kehormatan dan kesetiaan kepada kerajaan.

Ternyata, para panglimanya bukanlah seorang pejuang sejati, melainkan ahli dalam seni bermuka dua. Mereka saling menusuk dari belakang, mempermainkan janji kepada rakyat, menjual kepercayaan rakyat demi kepentingan pribadi dan melakukan monopoli perdagangan serta banyak melakukan perampasan tanah petani, mengakibatkan banyak petani yang menjadi buruh tani yang mendapatkan bayaran rendah atau bahkan mengemis di jalanan.

***

Suatu hari, hadir seorang pemuda bernama Zarsa, yang pulang ke tanah kelahirannya, setelah bertahun-tahun lamanya merantau di negeri orang. Ia adalah anak seorang rakyat biasa, hatinya terbakar amarah melihat keadaan negerinya saat ini. Zarsa melihat, banyak rakyat sengaja dibuat kelaparan, rakyat terpaksa membeli makanan dengan harga tinggi atau malah dibiarkan mati kelaparan. Ia juga melihat para petani ditindas dengan pajak yang tinggi dan yang tidak bisa membayar pajak, lalu menyerahkan tanahnya kepada para bangsawan atau saudagar kaya yang menjadi sekutu Panglima Talam, sedang para bangsawan dan saudagar kaya raya terbebas dari kewajiban membayar pajak.

Zarsa berkesimpulan setelah sebelumnya berhadapan masalah hukum perampasan tanah para petani di negerinya dengan para saudagar kaya yang menjadi sekutu para Panglima Talam, ternyata hukum yang dialaminya hanya berpihak kepada mereka, para saudagar kaya. Mereka cukup membayar para Panglima Talam untuk menghilangkan kasusnya. Sedang Zarsa mengalami penderitaan yang berat. Keadilan yang sudah tergadaikan, kondisi yang sedang dialaminya.

“Keadaan ini tidak mungkin dibiarkan terus menerus terulang kembali. Banyak rakyat yang sudah terabaikan hak-haknya untuk melakukan pembelaan atas kesalahan yang bukan dilakukannya, termasuk diriku.” Ucap Zarsa lirih, saat raganya telah dijebloskan ke dalam penjara, oleh pengadilan kerajaan, tapi tidak dengan jiwanya.

Setelah terbebas menjalani hukuman penjara kerajaan, kembali Zarsa mendapatkan cerita dari desas-desus informasi yang beredar di kalangan rakyat yang tertindas selama ia di dalam penjara, bahwa para panglima kerajaan tidak pernah bersungguh-sungguh berperang melawan para perompak, yang telah terjadi beberapa tahun lalu dan berhasil menyerang negerinya. Mereka hanya berpura-pura bertempur, setelah adanya kesepakatan jahat antara mereka dengan perompak, sementara para prajurit bawah dan rakyat yang berjuang mati-matian melawan para perompak, tidak pernah diperhatikan keberadaannya. Singkatnya, setelah kemenangan diraih dengan kesepakatan jahat antara perompak dengan para Panglima Talam, lalu mereka mengklaim, telah berjasa dan berhak mendapatkan hadiah yang besar dari raja.

***

Dengan hati penuh amarah, Zarsa mulai menyusun rencana. Ia mulai mengumpulkan para warga yang jujur, berintegritas dan memiliki akses dengan kerajaan. Mereka bersama-sama mulai membongkar kebusukan para Panglima Talam. Dengan kecerdikannya, ia mulai menyebarkan surat-surat rahasia ke seluruh negeri, berisi bukti penghianatan para panglima kerajaan.

Baginda Maharaksa, sangat terpukul dengan keadaan negeri yang dipimpinnya. Ia murka dengan kejadian yang telah mencoreng kerajaannya. Raja mengumpulkan para panglima di balairung istana. Setelah kebenaran akhirnya terbongkar.

“Kalian telah membuatku malu. Mencoreng kehormatan negeri ini dengan kepalsuan dan penghianatan.” Ucap Baginda Maharaksa dengan nada penuh amarah.

Namun, para panglima tetap tersenyum. Mereka tahu, selama mereka masih memiliki kekayaan dan pengaruh, mereka akan selalu bisa lolos dari hukuman. Mereka menunduk penuh hormat kepada raja, berkata dengan penuh kepalsuan.

“Ampun beribu-ribu ampun, Baginda. Semua pemberitaan tentang kami di luar sana tidaklah benar adanya. Semua yang kami lakukan adalah yang terbaik untuk negeri ini.” Ucap penuh santun salah seorang Panglima Senior kepada Baginda Raja Maharaksa.

Baginda Maharaksa terdiam. Ia sadar, negeri ini sudah terlalu lama dikuasai oleh para Panglima Talam, yang tidak pernah benar-benar berjuang untuk rakyat, hanya berpura-pura demi kepentingan dan ambisi pribadi mereka.

Dan di sudut istana, sosok Zarsa terdiam. Ia menggenggam sebuah pedang, ia yakin untuk menyelamatkan negeri yang sangat dicintainya, kata-kata tidak dapat memberikan efek yang dahsyat untuk merubah negeri ini dari penghianatan yang bergejolak.

***

Baginda Maharaksa belum memutuskan siapa yang bersalah atas kejadian ini, para panglima pun dipersilahkan untuk keluar dari balairung istana. Meraka tersenyum puas. Mereka tahu, raja sudah semakin tua dan tidak akan berani mengambil tindakan tegas. Dengan pengaruh yang mereka miliki, para panglima kerajaan merasa yakin dan mampu meredam kemarahan rakyat. Seperti yang sudah mereka lakukan berkali-kali sebelumnya.

Ternyata, dugaan mereka kali ini salah.

Zarsa dan orang-orang terpilihnya mampu bergerak cepat. Di masing-masing sudut kota, di pasar-pasar atau pusat keramaian, dan di masing-masing rumah penduduk, mereka menyebarkan cerita tentang penghianatan para panglima kerajaan. Mereka membacakan surat-surat rahasia, dimana isi surat rahasia itu tentang pembuktian para panglima kerajaan yang telah menjual senjata kerajaan ke pihak musuh, pajak rakyat digelapkan dan yang lebih fatal lagi adalah secara diam-diam membuat perjanjian jahat dengan para perompak yang dulu menyerang negeri. Serta menciptakan musuh palsu, untuk membuat kekacauan di pasar dan desa-desa, lalu tampil sebagai “penyelamat”, dengan cara seperti ini, rakyat tetap percaya bahwa mereka dibutuhkan sebagai pelindung negeri. 

***

Rakyat telah bergejolak. Dari desa terpencil hingga ke ibu kota kerajaan. Suara kemarahan rakyat telah menggema, mereka yang dulu tertindas, petani, pedagang dan prajurit rendahan, kini telah mantap bersatu. Mereka tahu, jika negeri ini ingin berubah, maka para Panglima Talam di kerajaan, harus disingkirkan.

Sosok Zarsa yang memiliki akses bisa bertemu langsung dengan Raja Maharaksa, lalu datang menghadap. 

“Baginda Raja Maharaksa, rakyat sudah siap untuk bangkit dan melawan. Kami tidak ingin membiarkan negeri ini, untuk terus diperbudak oleh penghianatan. Tapi kami membutuhkan restu Baginda” Ucap Zarsa dengan nada lantang kepada Raja.

Sang Raja menatap pemuda itu lama. Ia melihat keberanian dan ketulusan yang telah lama hilang dari istananya.

“Apa yang akan kamu lakukan, wahai pemuda.” Balas Baginda Raja kepada Zarsa.

Zarsa hanya tersenyum tipis. “Izinkan kami bersama rakyat menyingkirkan mereka. Malam ini juga.”

Raja Maharaksa gelisah dan resah. Ia duduk sendirian di takhta singgasana emasnya. Mulai merenungi, bagaimana ia membiarkan para panglima kerajaan mengendalikan negeri ini. Ia mengerti, bahwa jika ia tidak bertindak sekarang, maka khawatir takhta dan negerinya akan jatuh dikuasai para Panglima Talam.

***

Para panglima talam telah banyak menjalankan berbagai intrik kejahatan politik untuk mempertahankan kekuasaan yang mereka miliki, seperti penghianatan di medan perang, melakukan penjualan senjata dan informasi kepada musuh, memanipulasi pajak yang memberatkan rakyat kecil, mengarang laporan palsu tentang keadaan negeri kepada raja, menciptakan kegaduhan agar mereka tetap berkuasa dan mengendalikan peradilan dan hukum di negeri itu untuk mereka yang punya harta dan koneksi.

Di puncak bukit yang berbatasan langsung dengan ibu kota kerajaan, Zarsa menatap negerinya yang mulai kembali mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Ia tidak pernah ingin menjadi panglima, tetapi ia tahu, perjuangan tidak pernah benar-benar selesai.

Karena keadilan bukan sesuatu yang datang sekali, lalu bertahan untuk waktu yang lama, tetapi keadilan adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Di negeri para Panglima Talam, yang dulu berkuasa dengan kepalsuan, sekarang rakyat berhak untuk memperjuangkan dan menentukan masa depan mereka sendiri.

***

Saat malam tiba, dimana para Panglima Talam sedang berpesta di istana mereka, pasukan rakyat yang dipimpin Zarsa yang jumlahnya ratusan ribu, mulai menyerbu dan mengepung mereka semua yang berada di dalam istana. Dengan senjata seadanya, malam yang hening, seketika menjadi riuh. Rakyat beramai-ramai meneriakkan nama keadilan, para panglima mulai panik. Mereka berteriak memerintahkan para prajurit bersiaga, untuk bersiap menghadapi situasi yang mulai tidak terkendali.

Mereka memerintahkan prajurit kerajaan untuk menyerang rakyat yang datang menyerbu ke dalam istana. Dan sebahagian diperintahkan untuk bersiaga melindungi para panglima, ternyata perintah para Panglima Talam tidak dipatuhi, prajurit sudah berpihak kepada rakyat, bahkan seketika tidak melakukan perlawanan sama sekali kepada rakyat yang telah bersiaga mengepung kerajaan dari segala penjuru. Para prajurit bahkan menyerahkan senjata mereka kepada rakyat, tanda menyerah.

Para Panglima Talam sudah memperkirakan hasil dari pertempuran ini, mereka pasti kalah. Satu persatu panglima yang dulu sombong dan angkuh, kini telah berlutut memohon ampunan kepada Zarsa dan rakyat Dipamanggala.

“Para penghianat ini tidak lagi pantas memimpin negeri. Kami tidak mau diperintah oleh para Panglima Talam.” Sorak-sorak rakyat menggema di dalam istana. Di tengah kerumunan, Zarsa tersenyum. Ia telah berhasil menaklukan musuh terbesar Kerajaan Dipamanggala, para Panglima Talam telah ditumpas. Dihukum dengan pengadilan kerajaan yang disaksikan langsung oleh rakyat Dipamanggala.

Zarsa tahu bahwa perjuangan itu baru saja dimulai, negeri ini masih harus diperbaiki, tapi setidaknya, ia telah menyalakan api harapan kepada rakyat Dipamanggala. Dan negeri Para Panglima Talam telah runtuh, digantikan dengan panglima baru, harapannya memberikan perubahan untuk kesejahteraan rakyat Dipamanggala.

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...