Minggu, 26 Oktober 2025

PULAU KAMAYA : DARAH TERAKHIR DI BAWAH LANGIT MERAH

Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seolah ingin menuntut balas atas keserakahan yang telah diperbuat penguasa saat ini. Di seluruh penjuru negeri, patung-patung raja kuno di dalam kerajaan tampak mengeluarkan tangisan darah, sesuai dengan perjanjian terdahulu, tanda kehancuran. Begitu pula, laut di pulau Kamaya ikut memuntahkan isinya dari dasar lautan, kapal-kapal tua yang dulu hilang ratusan tahun lalu kembali ke daratan pulau.


Maya berdiri di tengah reruntuhan istana tua di dalam gua, mengenakan jubah putih yang kini ternoda darah. Di tangannya, ia menemukan batu perjanjian kuno berbentuk seperti jantung hewan purba. Membaca isi perjanjiannya membuat ia tersadar. Penguasa yang adil bukanlah untuk dikagumi, tapi rela berkorban dan berada di garis terdepan bersama rakyatnya. Ini adalah tanggung jawab seorang pemimpin.

“Keadilan tanpa kekuatan adalah kehancuran dan kekuatan tanpa keadilan adalah penjajahan.” Tulisan perjanjian kuno yang terpahat jelas di batu itu.

Tak berselang lama, suara para iblis menggema dari tanah pulau Kamaya: “Warisan darah telah tiba. Yang lama akan lahir kembali.”

***

Rama dan Arman akhirnya menemukan catatan terakhir dari Raja Maseer Yaelus, pendiri pertama kerajaan, catatan yang mereka temukan di dasar gua. Tulisan kuno sang raja pertama, terukir rapi di atas kulit hewan. Catatan itu tertulis kebenaran yang mematahkan segalanya:

“Perjanjian darah tak pernah ditujukan untuk menundukkan iblis. Kami menulis nama kami sendiri, agar darah kami tidak bisa mati. Maka setiap keturunan kami: mau atau tidak, akan menjadi penerus kekuasaan kami selanjutnya.”

Maya bukan pewaris kerajaan. Ia adalah penjelmaan kolektif dari tiga roh pendiri yang lahir kembali dalam satu tubuh. Tubuh yang diciptakan oleh generasi modern dengan teknologi genetik dan ritual kuno. Ia bukan manusia sepenuhnya. Ia adalah kerajaan itu sendiri.

***

Ketika kebenaran itu terungkap, dunia luar mengirim pasukan ke pulau Kamaya untuk “membebaskan” negeri dari kutukan. Namun, setiap peluru yang ditembakkan ke arah Maya serasa berhenti di udara. Meleleh seperti lilin di depan nyala lilin lain yang lebih terang.

“Mereka pikir aku monster,” ucap Maya pelan.

“Padahal aku hanya sisa dari kebohongan yang mereka ciptakan.” Lanjutnya.

Rama memohon agar Maya ikut melarikan diri bersama mereka. Namun Maya hanya tersenyum samar, mengisyaratkan penolakan halus kepada Rama.

“Tidak ada tempat untuk lari, Rama. Aku adalah pulau Kamaya. Jika aku mati, tanah ini ikut lenyap. Tapi kalau aku masih tetap hidup, dunia akan terus dipenuhi dengan darah.”

***

Malam ini laut merah pulau Kamaya membentuk pusaran besar di sekitar pulau. Suara iblis bergema dari dasar laut, meraung dan memanggil nama Maya untuk bersatu: agar perjanjian darah sempurna kembali.

Di altar batu pertama, Maya berdiri di tengah simbol kuno. Rama dan Arman telah berlutut di hadapannya. Meminta Maya untuk ikut bersama mereka, keluar dari pulau Kamaya yang mulai menampakkan tanda-tanda kehancurannya.

“Kau tidak harus menebus dosa yang bukan milikmu,” ujar Arman kepada Maya.

“Semua ini bisa dihentikan dengan menghancurkan batu altar itu.” Teriak Arman lantang berusaha menyakinkan Maya.

Maya menggeleng. Tanda menolak ajakan Arman untuk kesekian kalinya.

“Jika batu altar itu dihancurkan, darah yang terikat padanya akan tumpah ke dunia. Ratusan ribu jiwa akan lenyap bersama Kamaya. Satu-satunya jalan adalah…..mengunci mereka kembali. Dengan persembahan tubuhku untuk ikut tenggelam bersama mereka.” Teriak Maya kepada Arman kembali.

***

Maya berdiri di atas batu altar perjanjian di dalam gua. Perlahan cahaya hijau menyelimuti seluruh tubuhnya, dari ujung kaki dan naik menggulung ke kepalanya. Kulit tubuhnya mulai retak seperti kaca, darahnya bercahaya: bukan merah, tapi emas bercampur hijau. Ia memandang Rama dan Arman untuk terakhir kalinya, ia berusaha menyelamatkan dunia dari iblis pulau Kamaya.

Setelah kejadian ini mereka saksikan dan pertempuran masih belum selesai. Pria berdasi dan pasukannya yang selamat, bergegas meninggalkan mereka, Rama dan Arman yang masih berada di dalam gua. Faksi mereka harus selamat, propaganda di dalam negeri yang mereka susun masih kalah dominasinya oleh faksi lain. Kerajaan masih percaya dengan faksi-faksi yang lama, bukan faksi mereka. Menggelar pertemuan rahasia untuk mengisi kekosongan jabatan di dalam kerajaan. 

“Kau selalu bilang aku menyelamatkan dunia ini, Rama. Tapi sebenarnya aku hanya menutup kebusukan mereka dengan senyumku.” Maya bersuara lantang kepada Rama.

“Cepat bergegas keluar dari pulau ini, Rama.” Teriak Maya kepada Rama.

Rama tidak peduli dengan perintah Maya. Dengan langkah sigap, Rama berlari mendekati Maya, berusaha menarik tangannya dari pusaran cahaya, tapi cahaya itu menolak segala bentuk sentuhan manusia. Tubuh Rama terpental hebat ke belakang.

Arman melihat tubuh Rama terpental jatuh di dinding batu gua. Ia mendekat dan perlahan mengangkat tubuh Rama yang terjatuh. Berusaha menenangkan mentalnya. Rama merasa tenaganya hilang, akibat peristiwa itu. Maya pun terharu dengan pertolongan Rama, yang berusaha menyelamatkannya.

Bumi pulau Kamaya bergetar hebat. Gunung-gunung pulau Kamaya terbelah dan memuntahkan isi lava panasnya ke daratan. Air lautan merah ikut mendidih. Maya menatap langit malam untuk terakhir kalinya dan berbisik lirih, “Aku kembalikan darah ini ke tanah yang dulu dikhianati.”

“Cepat bergegas keluar dari pulau ini, Rama. Pulau ini akan tenggelam.” Teriak Maya kesekian kalinya kepada Rama. Sebelum tubuhnya mulai ditelan sang iblis penguasa pulau Kamaya.

Setelah suara teriakannya, menyuruh Rama dan Arman bergegas keluar dari pulau Kamaya. Tubuhnya kemudian meledak menjadi serpihan cahaya yang jatuh seperti hujan emas. Tak berselang lama, setelah tubuh Maya hilang ditelan iblis penjaga, pulau Kamaya perlahan tenggelam ke dasar lautan: tanpa suara, tanpa teriakan.

Hanya cahaya hijau yang terus berpendar di bawah laut, seperti jantung yang tak ingin berhenti berdetak.

Rama dan Arman berhasil keluar dari pulau Kamaya. Menaiki perahu kecil yang mereka sembunyikan di dermaga teluk pulau Kamaya. Mereka menyaksikan dari kejauhan, pulau Kamaya tenggelam ke dasar lautan. Sedih dan kecewa menusuk hati mereka, tak mampu menyelamatkan Maya dari iblis yang menelannya. Air mata Rama tak kuasa ditahannya, begitu juga Arman, mereka menangis melihat Maya dan pulau Kamaya tenggelam ke dasar laut.

***

Dunia percaya pulau Kamaya telah hancur. Namun di pantai negeri, setiap malam pada tanggal peristiwa pulau Kamaya tenggelam, air laut berubah menjadi hijau. Anak-anak negeri yang lahir dimalam itu, memiliki mata berwarna zamrud. Dan di antara mereka, ada seorang gadis kecil yang sering berbicara sendiri pada laut.

Suatu malam, ibunya mendengar suaranya berbisik ke ombak pantai :

“Jangan khawatir. Aku akan menjaga mereka kali ini. aku tidak akan biarkan darah ini jatuh ke tangan manusia lagi.”

Di tangan anak itu, pasir pantai bergetar…..dan seolah membentuk simbol mata bermahkota.

***

Arman menyampaikan kepada Rama, saat mereka berdua memandangi laut yang sama ke arah pulau Kamaya yang tenggelam.

“Maya tidak pernah mati. Ia menjadi laut, menjadi angin dan menjadi ingatan yang menolak dilupakan. Tapi kutukan itu juga tak pernah hilang, Rama.” Terang Arman kepada Rama.

Rama setuju, “Sebab selama masih ada manusia yang ingin menulis sejarah dengan darah, pulau Kamaya akan selalu mencari pewarisnya.” Ucap Rama melanjutkan perbincangan mereka berdua.

Dan malam itu, langit malam di ufuk timur masih berwarna hijau. Tenang dan indah. Tapi, di bawahnya laut Kamaya berbisik:

“Tidak ada akhir bagi kekuasaaan. Hanya pergantian nama dari kutukan yang sama.”

***

Surat terakhir yang ditulis oleh Maya berisi:

“Kepada siapapun yang menemukan surat ini, entah itu musuhku, sahabatku atau hanya pengembara yang tersesat di reruntuhan pulau, ketahuilah….aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari darah yang terkutuk.

Mereka menyebutku pewaris, padahal aku hanya wadah bagi dosa para pendiri: raja yang menjual jiwanya kepada iblis agar kekuasaannya abadi, dan bangsanya yang rela tunduk demi sepotong kemakmuran palsu.

Aku tumbuh dengan cerita bahwa aku adalah “penyelamat negeri” dari pulau Kamaya. Namun, ketika kebenaran terbuka, aku tahu: aku bukan penyelamat…..aku adalah akibat.

Malam ini, laut memanggilku dengan suara yang sama seperti nyanyian ibu waktu aku kecil. Tapi, kini aku tahu, itu bukan nyanyian cinta, melainkan panggilan darah untuk menagih perjanjian lama.

Aku telah mencoba menjadi manusia, mencintai, menangis dan tertawa. Tapi, ternyata darah ini terlalu tua untuk memahami cinta yang murni.

Pulau Kamaya tidak butuh ratu. Negeri ini hanya butuh keadilan dan kedamaian. Keadilan dan kedamaian hanya bisa lahir jika yang memulai segalanya bersedia mengakhirinya.

Jadi, aku memilih untuk menyerahkan tubuhku: bukan karena aku ingin mati, tetapi karena aku ingin dunia ini berhenti mengulang kutukan yang sama.

Jika suatu hari nanti, pulau Kamaya muncul lagi ke permukaan, dan kau melihat langitnya hijau seperti batu giok, jangan takut. Itu bukan tanda kehancuran. Itu hanya aku….mengintip dari dasar laut, memastikan dunia ini masih hidup.

Tolong jangan jadikan aku legenda. Jangan ukir namaku di batu nisan. Karena setiap kali seorang mencoba mengingatku sebagai ratu atau penyelamat, kutukan itu akan kembali lagi.

Ingatlah aku hanya sebagai seorang anak yang ingin menebus dosa yang bukan miliknya. Selamat tinggal, dari kedalaman yang sunyi, di mana laut pulau Kamaya berwarna hijau, dan segala doa larut bersama cahaya matahari.”

-Maya, pewaris Kamaya terakhir-

***

Dan dari kejauhan, seberkas cahaya hijau muncul di tengah laut pulau Kamaya yang tenggelam, membentuk siluet perempuan muda yang tersenyum tenang, sebelum perlahan larut bersama ombak yang kembali menutup luka pulau Kamaya selamanya.

----- Bersambung -----

Jumat, 17 Oktober 2025

PULAU KAMAYA : PERJANJIAN DOSA MASA LALU

Di luar, pelabuhan kota masih tetap berdenyut, kapal-kapal kecil dan besar ramai mengangkut barang-barang. Saat malam datang, sang bulan purnama mulai menampakkan wujudnya di horizon langit tua, lingkaran cahayanya utuh, seolah ikut mengawasi permainan manusia. Begitupula Rama dan Arman, walau malam semakin larut, mereka berdua masih menatap lama simbol lingkaran dengan tiga titik yang terukir jelas di depan pintu gudang rumah tua. Simbol yang dititipkan pria berdasi yang secepat kilat lenyap beserta pasukannya, tapi pesan yang ditinggalkannya jelas: akar dari semua kekacauan tetap berpusat di pulau Kamaya.


Arman menatap kertas tipis yang ia simpan sedari tadi di dalam tasnya, pemberian dari pria berdasi. Mereka sepakat. Menemukan dokumen rahasia yang masih tersembunyi di pulau Kamaya. Berisi sejarah hitam dari masing-masing faksi di dalam negeri.

“Semua titik koordinat ini menunjuk ke satu tempat yang sama,” gumam Arman lirih.

“Ke pulau itu…kita belum selesai, Rama.” Tatapan tajam Arman berusaha meyakinkan Rama.

Rama mengangguk, matanya dingin. “Kalau memang Maya bayangan, maka akarnya ada di sana. Kita harus kembali ke pulau Kamaya, sebelum faksi asing merebut semuanya, Arman.”

Arman mengisyaratkan dengan anggukannya, tanda setuju dengan argumen Rama.

Mereka bergegas ke luar dari rumah tua di pelabuhan kota. Tempat mereka mencari fakta tentang Maya dan petunjuk lainnya. Setelah tiba di penginapan mereka, tanpa berselang lama, Rama dan Arman mulai berkirim informasi rahasia dengan informan mereka di pasar gelap, berusaha mendapatkan petunjuk penting tentang Maya dan informasi faksi-faksi dimasa lalu yang telah bekerjasama dengan kerajaan.

***

Perjalanan kembali ke pulau Kamaya bukan hal yang mudah. Laut sedang tidak bersahabat. Ombak besar menghantam kapal mereka. Kapal nelayan yang mereka sewa hanya berani mengantarkan sampai setengah jalur. Sisanya mereka tempuh dengan perahu kecil, sebab karang-karang laut yang membentang di pinggiran pulau Kamaya tidak mungkin bisa dilalui dengan kapal besar.

Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, saat mereka pernah terombang-ambing dilautan menuju pulau Kamaya, dikarenakan perbekalan habis di tengah jalan sebelum sampai di pinggir daratannya. Mereka, Rama dan Arman membawa perbekalan yang cukup untuk beberapa hari mengarungi lautan menuju pulau Kamaya dengan perahu kecil.

Dari kejauhan, seolah terlihat dekat teluk pulau Kamaya untuk diarungi, nyatanya dari pengalaman mereka terdahulu, jarak yang ditempuh masih cukup jauh, membutuhkan waktu dua hari lagi untuk bisa sampai di teluk pulau Kamaya.

Kabut malam yang pekat, menambah mistisnya aura pulau tersebut. Cahaya malam bulan purnama yang belum penuh tampak di ufuk timur, menandakan tujuan mereka masih butuh waktu satu hari lagi untuk sampai di teluk pulau Kamaya.

Akhirnya pada malam kedua, saat bulan purnama mulai penuh dan menampakkan cahayanya, mereka tiba di pesisir teluk Pulau Kamaya. Perahu kecil mereka dorong dan sandarkan di daratan pantai, dengan sengaja menumpukkan dahan-dahan kering di atasnya. Berusaha menutupi perahu agar tidak terlihat oleh faksi-faksi lain yang nantinya akan berdatangan ke pulau Kamaya.

Sesaat kemudian di pulau Kamaya, mereka disambut suasana mistis yang sama, gelap dan berkabut tebal, aroma bau lumut yang menempel di dinding bebatuan khas pulau Kamaya menambah suasana terasa kian mencekam. Arman dan Rama menemukan tanda-tanda manusia lain yang telah sampai terlebih dahulu: obor yang berbaris dari kejauhan, jejak kaki berat di pasir, dan suara mesin perahu kecil masih terdengar sayup di telinga mereka.

Langkah kaki Rama terasa berat dan mulai merasakan dadanya bergetar. “Bukan hanya kita yang kembali, Arman” bisiknya dengan deru nafas tersengal.

Arman mengisyaratkan tanda setuju. Seolah pulau ini masih saja menjadi magnet mereka, faksi-faksi serakah, berusaha membingkai kerakusan yang dibalut untuk kemakmuran rakyat. 

Mereka, Rama dan Arman, berjalan menembus hutan, menuju gua yang dulu telah runtuh. Di sana, sesuatu yang mengejutkan tampak terjadi: batu besar yang pernah menutup gua kini telah tergeser. Di dalamnya, Arman melihat terdapat lorong baru: seperti jalur yang selama ini tersembunyi di bawah reruntuhan.

Lorong itu dipenuhi ukiran-ukiran kuno. Simbol-simbol bulat, garis sejajar, hingga prasasti berbahasa kuno yang samar masih bisa dibaca. Di dinding batu utama terukir sebuah kalimat yang sudah Rama fahami artinya:

"Hanya ketika tiga cahaya sejajar, pintu kebenaran terbuka."

Rama mengusap ukiran itu. “Ini bukan sekadar legenda…ini sistem. Seperti jam astronomi, yang mereka sembunyikan di dalam gua.” Terang Rama kepada Arman.

***

Mereka mengikuti lorong hingga ke sebuah ruang luas berbentuk setengah lingkaran. Di tengah ruangan, ada altar batu dengan cermin logam tua yang diarahkan ke atap gua. Lubang kecil di langit-langit memancarkan cahaya bulan yang masuk, berputar sesuai rotasi malam.

Arman terperanjat. “Ini…semacam mekanisme untuk memproyeksikan pesan. Dokumen hanyalah salinan. Yang asli…masih tersimpan di sini.” Ucap Arman kepada Rama. 

Tiba-tiba suara langkah kaki bergema. Cahaya obor menerangi dinding batu gua. Sekelompok orang bersenjata masuk dari lorong lain. Mereka mengenakan seragam hitam tanpa lambang, wajah-wajah asing dengan mata yang dingin. Dan di tengah mereka, seorang pria berdasi yang tadi mereka lihat di gudang: tersenyum seolah sejak awal sudah tahu mereka akan kembali ke sini.

“Aku sudah menduga kalian akan kembali,” ucapnya pelan dengan suara paraunya.

“Pulau ini bukan harta, tapi kunci. Siapa yang menguasai ritual di sini, menguasai legitimasi kerajaan mana pun yang lahir setelahnya.”

Rama telah bersiap dengan senjata pisaunya, tapi pria itu hanya tertawa kecil. “Kalian tidak perlu melawan. Malam ini cahaya bulan purnama telah penuh sempurna. Tiga titik cahaya akan sejajar. Pintu akan terbuka. Dan dunia akan tahu…sejarah baru akan ditulis, bukan oleh penguasa lama, tapi oleh kami: bayangan yang baru.”

Arman merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana ruang gua dipenuhi ketegangan. Cahaya bulan perlahan jatuh, membentuk pola di lantai batu, mendekati tiga titik yang terukir rapi.

Rama menggertakkan giginya. “Kalau pintu itu terbuka…negeri ini bukan milik rakyat, tapi hanya akan jadi mainan faksi kalian.”

Pria berdasi mendekat, matanya berkilat. “Dan siapa bilang negeri ini pernah milik rakyat?” teriaknya kepada Rama dan Arman.

***

Cahaya bulan purnama akhirnya jatuh sempurna, tiga titik sejajar. Batu altar berguncang, suara mekanisme tua berderak keras. Dinding gua bergetar hebat, perlahan terbuka sedikit demi sedikit, memperlihatkan ruang gelap di baliknya.

Di dalamnya, tampak bayangan sosok berdiri…bukan pria berdasi, bukan Rama atau Arman. Bayangan itu tampak seperti wanita: suara dingin terdengar dari dalam gua:

“Aku sudah menunggu kalian.”

Rama dan Arman menoleh serentak. Suara itu milik Maya.

***

Suara Maya menggema di dalam gua, membuat setiap orang membeku. Dari kegelapan, perlahan ia melangkah keluar. Jubah hitamnya berkilat samar tertimpa cahaya bulan purnama yang jatuh dari lubang langit-langit. Wajahnya dingin, tapi sorot matanya menyala seperti bara.

“Jadi akhirnya kalian tiba juga,” katanya dengan nada getir.

“Rama, Arman…kalian hanya pion yang digiring oleh takdir. Dan kau…” Maya menoleh ke pria berdasi, “Hanya cacing yang mencoba memakan sisa-sisa warisan besar.”

Pria berdasi itu tersenyum tipis. “Warisan ini akan menjadi fondasi dunia baru. Kau terlalu terikat pada masa lalu, Maya.” Balasnya dengan angkuh.

Maya tertawa kecil, suaranya getir. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Pulau Kamaya menyimpan perjanjian kuno…bukan sekadar dokumen, tapi sumpah darah yang mengikat penguasa pertama negeri ini dengan kekuatan asing dari seberang lautan. Itu sebabnya pulau ini selalu diperebutkan.”

Rama terdiam. Arman tak sanggup berkata-kata. Ucapan Maya seperti menampar pikiran mereka berdua. “Sumpah darah? Jadi benar…semua peperangan ini hanya pengulangan dari pengkhianatan lama?” tanya Rama terbata-bata kepada Maya.

Maya mengangguk. Ia lalu menunjuk ke altar yang berguncang.

“Tiga cahaya sejajar akan membuka kebenaran: bukan sekadar prasasti, tapi rekaman sejarah. Dan siapa pun yang berdiri di bawah cahaya itu…akan diakui sebagai pewaris sah sumpah kuno.”

Tiba-tiba pria berdasi memberi isyarat. Orang-orang bersenjata bergerak maju, menodongkan senjata ke arah Rama dan Arman. “Sayangnya, hanya kami yang berhak berdiri di sana malam ini.”

Arman mengangkat tangannya, tapi matanya menatap Rama penuh keresahan.

“Kalau benar Maya bicara soal sumpah darah, artinya mereka bisa menguasai legitimasi politik dengan mudah. Kita tidak boleh biarkan.”

Rama meraih batu kecil, lalu berbisik, “Bersiap.”

Dalam sekejap, ia melempar batu itu ke obor terdekat, membuat percikan api dan kekacauan. Arman langsung bergerak cepat, menendang salah satu penjaga hingga senjatanya terlepas.

Gua mendadak menjadi arena pertempuran diantara mereka semua. Dentuman peluru memantul di dinding, saling adu tembakan senjata tak terhindarkan. Maya sendiri tidak bergerak, hanya berdiri di tepi altar sambil menunggu cahaya bulan purnama sempurna jatuh di atas altar.

Pertarungan sengit berlangsung. Rama berhasil merampas pistol, melepaskan tembakan ke musuh. Arman menahan dua lawan sekaligus dengan tubuhnya. Namun jumlah musuh terlalu banyak.

Pria berdasi tetap tenang. “Lawan saja. Pada akhirnya cahaya akan jatuh, dan aku akan berdiri di atas altar itu.”

Namun sebelum ia sempat melangkah, Maya mengangkat tangannya. Suara gemuruh dari dalam gua semakin keras, dan cahaya bulan purnama tiba-tiba memantul dari cermin logam, membentuk simbol besar di dinding batu.

Di sana terpampang proyeksi bayangan tiga figur: seorang raja kuno, seorang panglima asing, dan seorang wanita berjubah putih.

Maya menatap proyeksi itu dengan sorot penuh amarah. “Itulah kebenaran! Negeri ini lahir bukan dari tangan rakyat, tapi dari perjanjian kotor antara leluhur kita dengan kekuatan asing. Semua darah yang tumpah adalah harga dari sumpah itu!”

Rama tertegun melihat bayangan di dinding batu. Arman menggertakkan giginya. “Kalau begitu…kita tidak hanya melawan bayangan sekarang. Kita melawan dosa masa lalu.”

Pria berdasi tertawa keras. “Justru karena itu, kami akan melanjutkan warisan ini. Dunia baru butuh pemimpin yang berakar dari sumpah kuno: aku akan menjadi pemimpinnya.”

***

Cahaya bulan purnama jatuh semakin terang ke altar. Saat pria berdasi melangkah ke tengah, Maya berteriak, suaranya melengking memenuhi gua:

“Tidak! Pewaris sejati bukan kau…tapi aku!”

Ia lalu memperlihatkan simbol yang sama: tiga titik dan lingkaran, terukir seperti tato di lengan bahu kirinya.

Semua orang terpaku. Bahkan Rama pun membeku. Maya menatap mereka dengan mata berkilat, lalu berbisik:

“Aku adalah darah terakhir dari perjanjian itu.”

***

Bersambung…..

Sabtu, 11 Oktober 2025

"AEROPOLIS : KOTA TERAPUNG DI ATAS AWAN" KARYA : RCS

“Apa kamu yakin kota ini nyata, Arya?” tanya nara sambil menatap ke bawah, di mana lautan awan putih bergulung-gulung tak berujung.  Seolah dunia di bawah telah lenyap.


Arya  mengangguk mantap. “Lihat sendiri, Nara. Ini bukan mimpi. Kota terapung di atas awan itu benar-benar ada. Kita hanya perlu naik ke Menara Zenith, tempat kapal udara itu berlabuh.”

Nara menggigit bibirnya. “Tapi bagaimana mereka bisa membangun kota sebesar itu di atas awan? Bukankah awan itu itu hanya uap air?” Arya tersenyum kecil.

“Ada teknologi baru, Nara. Mereka menggunakan kerangka titanium yang sangat ringan dan mesin anti gravitasi. Aku dengar kota itu punya energi yang diambil langsung dari atmosfer.”

Wow.... kalau begitu, kota ini bukan hanya legenda urban,” Nara berkata penuh decak kagum.

Tiba-tiba suara pengumuman terdengar dari pengeras suara kapal udara yang membawa mereka semakin mendekati kota itu.

“Selamat datang di Aeropolis, kota tercanggih di dunia, tempat manusia dan teknologi hidup berdampingan.” Arya menole ke Nara, “Siap untuk petualangan terbesar kita?” Nara tersenyum.

“Siap Arya. Mari kita buktikan bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan.”

Begitu mereka melangkah keluar, dunia baru terbentang di hadapan mereka jalan-jalan transparan yang menyala dalam gelap, taman-taman gantung dengan tanaman langka, dan manusia berinteraksi dengan robot seperti teman lama.

Nara menarik tangan Arya. “Aku dengar, di sini ada perpustakaan yang menyimpan semua ilmu pengetahuan dari seluruh galaksi.”

Arya tertawa. Kalau begitu, kita harus segera ke sana. Masa depan menunggu untuk kita jelajahi. “Mari kita terbang di atas awan, sekaligus mengejar mimpi kita.” Kata Nara dengan mata berbinar. Arya mengangguk penuh semangat, “Aeropolis bukan hanya kota terapung, tapi rumah baru bagi petualang seperti kita.”

***

Setelah menjalani jalanan bercahaya dan taman bergantung, Arya dan Nara menuju pusat kota, di mana sebuah menara besar menjulang ke langit biru.

“Apa ini Menara Zenith?” tanya Nara sambil menatap struktur logam yang memantulkan sinar matahari.

“Ya, ini pusat penelitian dan teknologi Aeropolis,” jawab Arya.

“Aku dengar di dalam sana ada laboratorium rahasia yang mengembangkan teknologi anti-gravitasi terbaru.”

Mereka memasuki menara dan disambut oleh seoran ilmuwan bernama Dr. Vira.

“Selamat datang, penjelajah muda. Apa yang membuat kalian tertarik pada Aeropolis?” 

Nara menjawab dengan percaya diri, “Kami ingin belajar bagaimana kota ini bisa bertahan di atas awan dan bagaimana teknologi di sini dapat membantu dunia.”

Dr. Vira tersenyum hangat. “Baik sekali. Kami selalu mencari orang-orang berbakat yang memiliki rasa ingin tahu sebesar kalian. Ikuti aku, aku akan menunjukkan sesuatu yang mungkin belum pernah kalian lihat.”

Mereka dibawa ke sebuah ruangan besar penuh dengan mesin berkilauan dan layar hologram yang menampilkan tentang energi atmosfer dan anti-gravitasi.

Dr. Vira menunjuk pada sebuah prototipe kecil. “Inilah inti dari kota ini: generator energi atmosfer. Ia menyerap energi listrik dari ion di udara dan mengubahnya menjadi daya yang cukup besar untuk menjaga kota tetap mengambang.”

Arya terpana dan berdecak kagum, “Jadi ini bukan hanya mimpi atau fantasi, tapi benar benar sains tinggi.”

“Betul. Dan kami sedang berusaha mengembangkannya untuk digunakan di seluruh dunia, agar manusia bisa hidup lebih hijau dan bebas dari polusi.” Jelas Dr. Vira.

Nara menatap generator itu dengan penuh harap. “Mungkinkah suatu hari nanti, kita semua bisa tinggal di kota terpung seperti ini?”

“Tentu, asal kita terus belajar dan berinovasi,” jawab Dr. Vira.

“Aeropolis adalah bukti bahwa masa depan ada di tangan kita.”

Arya dan nara saling bertukar pandang, merasa kini semangat mereka bertambah berkobar.

“Terima kasih, Dr. Vira. Kami akan membawa ilmu ini ke dunia bawah,” kata Arya.

“Jangan lupa pintu Aeropolis selalu terbuka untuk kalian,” kata Dr. Vira sambil melambaikan tangan kepada mereka.

Lalu mereka, Arya dan Nara, keluar dari menara dengan harapan baru dan tekad yang lebih kuat, siap menghadapi dunia dengan semangat inovasi dan mimpi besar.

***

Setelah meninggalkan Menara Zenith, Arya dan Nara duduk di Sebuah kafe terapung yang menghadap langit luas.

“Bagaimana menurutmu, Nara? Aku merasa terinspirasi sekali hari ini, “kata Arya sambil menyeruput minuman sintetisnya.

Nara mengangguk sembari memandang ke kejauhan.

“Aku juga Arya. Semua yang kita lihat dan pelajari, membuat aku yakin kalau teknologi ini punya potensi menyelamatkan bumi.”

“Tapi aku penasaran, apakah ada resiko tinggal di kota seperti ini? Bagaimana bila mesin anti-gravitasi itu rusak?” ujar Arya.

Nara menunduk sejenak, lalu menjawab “Aku dengar dari Dr. Vira ada sistem cadangan otomatis yang menjaga keseimbangan kota, tapi memang tidak bisa dipungkiri, ada bahaya. Semua teknologi baru pasti ada tantangannya.” 

Tiba-tiba, pengumuman darurat terdengar diseluruh kota.

“Peringatan! Deteksi gangguan energi di sektor barat  Menara Zenith. Semua warga diminta tenang dan menunggu instruksi.”

Arya dan Nara saling berpandangan, “Ini berarti apa?” tanya Nara panik.

“Sepertinya ada masalah pada generator energi ,” jawab Arya cepat.

“Kita harus ke sana dan membantu, atau setidaknya memahami apa yang terjadi.”

Mereka bergegas menuju Menara Zenith, dimana para ilmuwan tampak sibuk mencoba memperbaiki kerusakan. Dr. Vira menyambut mereka dengan wajah tegang.

“Kalian datang tepat waktu. Gangguan ini bisa membuat kota kehilangan daya dan jatuh.”

Nara bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?“

“Kami perlu seseorang untuk mengaktifkan kembali modul cadangan, tapi itu cuma bisa dilakukan dari ruang kontrol utama. Kalian berdua harus ikut,” Dr. Vira memberi instruksi.

Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, Arya dan Nara mengikuti Dr. Vira menuju ruang kontrol. Di sana, mereka menekan tombol dan mengatur parameter berusaha memulihkan energi.

“Tahan sedikit lagi!!” teriak Arya saat  alarm berbunyi semakin nyaring. 

Tiba-tiba cahaya kota mulai stabil dan suara alarm mereda. Dr. Vira tersenyum lega.

“Kalian hebat! Energi kembali stabil, Aeropolis aman.”.

Nara menarik napas lega, “Malam ini aku yakin, teknologi dan keberanian bisa berjalan beriringan.”

Arya menatap langit, lalu berkata, “Aku ingin suatu hari menjadi bagian dari solusi, seperti di sini, di atas awan.”

Dr. Vira mengangguk, “Kalian adalah masa depan Aeropolis dan dunia.”

Mereka bertiga berdiri bersama, menatap kota terapung yang kini berkilauan di bawah sinar bintang,  penuh harapan dan mimpi besar. 

***

Beberapa bulan setelah peristiwa krisis energi itu, Arya dan Nara kembali ke Aeropolis dengan misi baru. Kali ini, mereka bukan hanya penjelajah, tetapi juga pelajar dan inovator yang bertekad membawa teknologi kota terapung ke dunia bawah.

“Aku tak pernah menyangka, satu pengalaman kecil bisa mengubah segalanya,” ujar Nara sambil memegang prototipe kecil energi portabel.

Arya tersenyum, “Kita telah membuktikan bahwa mimpi bisa diwujudkan, asal kita berani melangkah dan belajar tanpa henti.”

Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan bercahaya di Aeropolis yang kini terasa semakin akrab. Dari kejauhan, Menara Zenith berdiri gagah seperti simbol masa depan yang terus berkembang.

“Suatu hari nanti, bukan hanya Aeropolis yang terapung di atas awan,” kata Arya penuh keyakinan.

“Tapi seluruh dunia bisa hidup berdampingan dengan teknologi yang ramah lingkungan.” Lanjutnya lagi.

Nara mengangguk sambil menatap langit luas yang penuh bintang, “Dimanapun kita berada, langit tetap menjadi batas dan mimpi kita adalah sayap yang akan membawa kita terbang tinggi.”

Dengan penuh harapan dan semangat  yang menggebu, Arya dan Nara melangkah maju siap menghadapi tantangan baru demi masa depan yang lebih cerah bagi umat manusia.

***

Arya dan Nara memutuskan untuk mengabdikan hidup mereka pada pengembangan teknologi ramah lingkungan yang mereka pelajari di Aeropolis. Kembali ke dunia bawah, mereka mendirikan sebuah pusat riset kecil yang bertujuan membawa teknologi anti-gravitasi dan energi atmosfer ke komunitas mereka. 

Beberapa tahun kemudian, kerja keras Arya dan Nara mulai membuahkan hasil yang luas dan revolisioner. Pusat riset mereka berkembang menjadi institusi penelitian terkemuka yang berkolaborasi dengan berbagai negara untuk mengembangkan teknologi tenaga altenatif dan sistem kota terapung.

Pada sebuah Konfrensi Internasional di Aeropolis, Arya berdiri di depan para ilmuwan dan pemimpin dunia, berbicara penuh semangat, “Kita tidak hanya bermimpi tentang masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Kita mengubahnya menjadi kenyataan. Kota terapung bukan lagi sekedar fiksi ilmiah, melainkan model hidup baru.”

Nara menambahkan, “Teknologi ini mampu mengatasi banyak masalah global, dari kemacetan hingga polusi, bahkan krisis energi . Tantangan kita adalah memastikan teknologi  ini dapat diakses oleh semua orang di seluruh dunia.”

Tepuk tangan meriah menggema di seluruh auditorium. Arya dan Nara saling bertukar senyum, sadar bahwa perjalanan mereka yang diawali dari rasa ingin tahu dan keberanian kini meninspirasi jutaan orang.

Memandang keluar jendela, Arya berbisik, “Ini baru permulaan.”

Nara mengangguk, “Benar. Langit bukan lagi batas, melainkan lahan baru untuk hidup dan bermimpi.

Dengan tekad dan visi bersama, mereka melangkah ke masa depan, membawa harapan dan inovasi yang tak pernah padam untuk dunia yang lebih baik.


Jumat, 10 Oktober 2025

PULAU KAMAYA : PENCARIAN BAYANGAN HANTU

Kota masih bergemuruh oleh dentuman berita. Di jalan-jalan, orasi berubah menjadi bisik-bisik teori konspirasi. Di berbagai sudut kota, pembicaraan tentang “dokumen Pulau Kamaya” selalu menjadi topik hangat untuk dibahas. Bergantian dengan nama-nama yang dulu dianggap tak tersentuh oleh hukum. Namun di balik hiruk-pikuk permasalahan itu, dua orang yang paling memahami skenario sebenarnya, Rama dan Arman, duduk menatap gelap malam dari balik jendela kamar penginapan mereka.


Rama memegang pisau; sedari tadi memperhatikan ujungnya yang memantulkan cahaya lampu dari pelabuhan kota. Arman, wajahnya pucat tetapi matanya tidak lagi kosong, kini ada tekad baru, walau ada rasa getir campur takut dalam dirinya. Setelah peristiwa Maya yang menghilang. Dan meninggalkan kelompok mereka.

“Kita tidak bisa diam,” kata Arman pelan. “Maya tidak lari tanpa jejak. Dia sengaja meninggalkan petunjuk, atau paling tidak, dia memiliki hubungan dengan orang yang bisa membawa dokumen itu keluar negeri.”

Rama mengangguk singkat. “Kalau dia ingin negara ini runtuh, dia tidak butuh kita lagi. Tapi aku tidak percaya pada kebetulan. Ada pola. Dia bilang 'bayangan'. Bayangan selalu punya akar.”

***

Mereka mulai menyusun rencana sederhana: duduk di meja kamar penginapan mereka, berdua mulai mengumpulkan informasi siapa saja yang masih bisa dipercaya, menelusuri setiap kontak taipan, setiap pedagang pasar gelap yang pernah mereka temui. Tapi akhir kesimpulannya selalu kembali ke satu hal yang tak berubah: Pulau Kamaya.

Jika dokumen asli pernah ada di situ, maka pulau itu menyimpan lebih dari sekedar kertas: jaringan, simbol, dan kunci yang belum mereka pahami.

Di pasar gelap, seorang wanita penjual peta laut memberikan potongan informasi. Di bawah bisik, Arman memperoleh petunjuk kecil, sebuah simbol, lingkaran dengan tiga titik, yang terukir halus di tepi peta yang pernah dibeli Maya di malam sebelum keberangkatan mereka. Arman menatap simbol itu dengan seksama, simbol yang tertempel di dinding kamar. Ia teringat tata letak batu di mulut gua pulau Kamaya, pola yang terbentuk oleh cahaya bulan purnama.

“Ini bukan simbol perdagangan,” gumamnya. “Ini tanda sebuah persekutuan.”

Sementara itu, pihak berwenang yang tersapu skandal berusaha cepat menambal legitimasi di kerajaan. Dewan sementara dibentuk; wajah-wajah baru bermunculan di layar, berjanji melakukan reformasi di dalam negeri. Tapi di balik layar yang lain, faksi-faksi yang bergeser dari pemerintahan, mulai menyiapkan langkah mereka sendiri: taipan yang selamat menyusun strategi hukum, bekas sekutu raja mencari cara menyingkirkan ancaman paling berani, dan utusan asing mencatat peluang baru.

***

Rama dan Arman menyadari sesuatu yang lebih berbahaya dari pada dokumen itu sendiri: kekosongan kekuasaan. Kekuatan tak selalu jatuh kepada pihak yang paling suci, seringkali pada yang paling cepat mengisi ruang. Maya? Ia sudah mengakui bahwa ia bukan penyelamat. Ia adalah "bayangan" yang menunggu kegelapan. Itu berarti, ketika kegelapan datang, akan ada banyak tangan ingin memegang kendali.

Mereka memutuskan: bukan hanya mengejar Maya, tapi mengungkap struktur bayangan itu, siapa yang membiayai, siapa yang memetakan, siapa yang menunggu. Tapi langkah pertama adalah mengamankan sisa-sisa bukti yang belum sempat tersebar ke publik.

Arman ingat sesuatu: tasnya yang kosong. Di dalamnya, di bawah lapisan kain tasnya, ada selembar kertas tipis yang belum sempat dibaca, saat ia masih gugup dan takut saat berada di dalam kapal, setelah kembali pulang dari pulau Kamaya, sebuah coretan samar. Coretan itu kini seperti mantra yang memanggil: nama, koordinat kecil, dan sebuah alamat: sebuah rumah tua di pelabuhan kota yang terlihat biasa dan sudah lama tidak ada yang menempatinya.

“Kita harus datang ke rumah tua di dekat pelabuhan kota itu, Rama.” Ucap Arman dengan raut wajah optimis kepada Rama.

“Baik Arman. Itu langkah awal kita, untuk menemukan petunjuk lainnya yang masih tersembunyi.” Balas Rama.

***

Malam itu, dengan perencanaan matang dan senjata lengkap melekat di tubuh mereka. Bersiap pergi ke alamat yang telah mereka pastikan titik koordinatnya, sebuah rumah tua di pelabuhan kota yang di dalamnya terdapat gudang yang tampak tak terurus. Dengan kemampuan mereka yang terlatih, dengan mudah memasuki ruangan tersebut.

Di dalam ruangan itu, ternyata berisi ruang tunggu yang disulap menjadi kantor kecil: rak-rak buku, peta, dan papan tulis dinding yang terpampang berbagai potongan informasi rahasia. Di salah satu sudut ruangan, ada sebuah meja yang di atasnya tergeletak sebuah amplop coklat bertuliskan tiga huruf: R.M.Y, inisial yang membuat darah Arman berdesir. Dengan tergesa-gesa Arman mendekati meja itu. Berusaha mengamankan amplop tersebut.

“Hati-hati Arman.” Ucap Rama.

Dengan perlahan, Arman membuka amplop coklat yang bertuliskan inisial: R.M.Y dan jari-jari tangannya ikut gemetar, seolah mendukung suasana ketegangan di dalam ruangan.

Setelah dibuka dengan hati-hati mengeluarkan isi amplopnya, ternyata di dalamnya berisi: file photo hitam-putih Maya, detail seorang pria asing berdasi, dan alamat pelabuhan kota lain, sebuah negara di seberang laut. Di bawah photo, ada sebuah catatan singkat bertinta biru: “Teruskan jika perlu. Jangan biarkan bayangan lain mengambil alih.”

***

Sebelum mereka, Arman dan Rama, sempat mencerna lebih jauh informasinya, suara sepatu terdengar di ujung lorong dan semakin mendekat. Belum sempat mereka bersembunyi, tiba-tiba dengan cepat bayangan melintas di depan pintu, bukan Maya, tapi seorang kurir kecil berkepala botak, matanya cekatan. Ia memandang sejenak ke arah meja, lalu menoleh ke arah mereka, Rama dan Arman.

Mereka saling melempar tatapan tajam. Dan bersiap dengan senjata masing-masing, manakala kondisi tidak diharapkan terjadi. Tapi ketegangan diantara mereka bertiga mereda dan masih terkendali. Kurir berkepala botak menenangkan situasi.

“Apa yang kalian lakukan di rumah ini?” tanyanya polos, tetapi tangan kecilnya masih menyentuh sesuatu di kantongnya: sebuah benda tajam.

Rama melangkah cepat, tapi Arman tiba-tiba mengangkat tangan, menjawab dengan suara tenang si kurir berkepala botak. “Kami mencari kebenaran,” kata Arman.

“Kalau kalian bagian dari bayangan, kalian harus tahu: kami tak ingin ada perang. Kami hanya ingin agar dokumen itu tak dipakai untuk membenarkan kekuasaan baru yang sama busuknya dengan penguasa terdahulu.” Terang kurir berkepala botak kepada Rama dan Arman.

Ruangan semakin panas. Mereka, Rama dan Arman, masih menatap penuh curiga. Kurir membalas menatap mereka lama. Akhirnya kurir menghembuskan napas panjang, menurunkan tangannya, dan menunjuk ke sebuah rak rahasia.

“Dokumen itu yang kalian cari. Silahkan ambil di rak itu. Aku tidak akan menghalangi kalian.” Ucapnya dengan lugas.

Sejurus tanpa komando dari Rama. Arman berjalan mendekati rak. Lalu mendapati isi di dalam rak tersebut, sebuah kotak besi berisi beberapa lembar dokumen, salinan bagian kecil dari arsip Pulau Kamaya, tanda tangan samar, stempel, dan catatan yang ditulis dengan bahasa campuran.

“Ini harta kalian,” ucap Arman.

“Tapi ada yang lebih besar di luar sana. Bayangan…mereka menunggu, dan mereka tak suka diganggu.” Balas kurir berkepala botak.

Pintu gudang tiba-tiba terbuka. Suara langkah lebih banyak, bukan dari faksi pemerintah, bukan pula sekadar para pengunjuk rasa; ini suara orang yang terlatih.

Di depan pintu gudang, bayangan-bayangan lain berdiri, dan di antara mereka, sekilas sosok yang dikenali Arman dari foto di dalam amplop coklat: pria berdasi.

Arman dan Rama memandang satu sama lain. Mereka tahu ini bukan sekadar pengejaran Maya lagi. Ini pergulatan yang akan menentukan siapa yang menulis naskah baru bangsa ini, dan apakah naskah itu akan berisi kebenaran, atau sekadar bayangan lain yang menggantikan bayangan lama.

***

Pria berdasi masuk tanpa ancaman, duduk, dan menawarkan rokok cerutu kepada mereka, Rama dan Arman. Suaranya halus, penuh diplomasi. Ia bukan militer bayangan, melainkan broker: penengah kekuasaan gelap yang menukar loyalitas dengan posisi. Ia memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan sebuah faksi baru: bukan raja lama, bukan taipan lama, faksi yang mengklaim mereka bisa menata ulang negeri ini.

Dialognya menggigit. Ia tahu setiap langkah Rama dan Arman, bahkan latar belakang mereka. Ia menawarkan kontrak sederhana: berikan dokumen-dokumen yang tersisa sebagai jaminan, bergabunglah, dan kalian akan duduk di meja pembuat keputusan setelah badai.

Arman terguncang: masa lalu, kebutuhan, dan rasa bersalah menjeratnya.

Rama marah, “Kau ingin kami jadi pencuci tanganmu untuk kejahatan barumu?”

Pertarungan moral berkembang menjadi permainan tawar-menawar. Sang pria berdasi tersenyum simpul duduk di kursinya, menatap mereka sambil mengepulkan asap cerutunya.

“Aku tidak memaksa kalian untuk menentukan pilihan. Semua keputusan masih berpeluang untuk kita bicarakan.” Suara parau pria berdasi berdiplomasi dengan penuh kepercayaan melakukan penawaran kepada Rama dan Arman.

Tawaran diperluas kepada mereka, Rama dan Arman: proteksi finansial, identitas baru, kebebasan, dan status. Arman melihat masa depan yang lebih aman, sedang Rama melihat sebagai pengkhianatan, jika kesepakatan ini terjadi.

Sementara itu, kabar di luar semakin memanas, sekelompok reformis menuntut transparansi penuh di dalam negeri, tetapi kaum oportunis selalu menunggu di belakang layar.

Pilihan Rama dan Arman akan menentukan: apakah mereka menukarkan bukti demi pengaruh untuk mencegah kekerasan lebih besar, atau menolak dan mengambil jalan sulit untuk memastikan kebenaran tersebar tanpa ditarik ke permainan kekuasaan baru?

Bersambung.....

Sabtu, 04 Oktober 2025

PULAU KAMAYA : BAYANGAN YANG MENUNGGU

Pulau Kamaya menyambut mereka dengan hutan lebat dan suara-suara asing. Malam pertama, Bima dan Arya berdebat tentang pembagian jaga untuk tidur secara secara bergantian.


Hampir saja sepatu bot milik Rama melayang ke wajah mereka berdua, yang masih ribut tak berkesudahan. Akhirnya, Maya menenangkan perdebatan bodoh mereka yang sibuk mempertahankan pendapat masing-masing, untuk waktu penjagaan di luar tenda tidur secara bergantian.

Hari kedua, setelah perjalanan jauh, akhirnya mereka menemukan gua yang dicari. Gua itu memiliki patung batu dengan tulisan aksara kuno di bawah kaki patungnya. Rama membaca seksama dan Arman ikutan meneliti penuh kewaspadaan. Mereka menyimpulkan arti tulisannya, menunggu cahaya bulan purnama membentuk pola lingkaran di depan pintu gua.

Mereka sabar menunggu cahaya bulan purnama datang, saat waktu yang ditentukan tiba, perlahan cahaya bulan jatuh membentuk pola lingkaran di depan gua. Setelah ada intruksi dari Maya, dengan cepat Bima datang mendobrak pintu batu gua.

Tanpa terduga, pintu gua pun terbuka. Arman dan Bima kembali berebut untuk masuk ke dalam gua. Rama mengangkat senjata, “Kalau masih bertengkar lagi, aku yang akan memutuskan kepala siapa yang lebih dulu berlumuran darah dengan senjataku.”

Maya menghela napas panjang, “Lucu ya, di hutan pun manusia masih tetap sama, sibuk rebutan harta, satunya lagi bawa senjata untuk mengatur semua.”

Mereka terdiam. Lalu tertawa pahit. Humor itu menyinggung semua di dalam tim.

***

Ketegangan memuncak. Saat mereka menemukan peti kuno di dalam gua. Ketika peti tua dibuka, isinya akhirnya terlihat, emas dan permata yang mereka cari sesuai dengan legenda tidak ditemukan, melainkan tumpukan dokumen kuno: catatan lengkap tentang kesalahan, perjanjian kotor dengan penguasa asing, hingga bukti sejarah yang bisa mengguncang legitimasi kekuasaan kerajaan di dalam negeri sekarang.

“Ini…..ini bukan harta karun.” Gumam Arman gemetar. 

Maya menatapnya. “Justru inilah harta karun sebenarnya. Emas dan permata hanyalah mitos saja. Tapi kebenaran di dalam dokumen ini, bisa meruntuhkan kerajaan di dalam negeri.” Teriak Maya dengan nada lantang.

Sementara itu, di balik layar, sang raja dan taipan, sebenarnya tidak pernah ingin berniat berbagi harta karun dari pulau Kamaya. Mereka sudah menyusupkan mata-mata ke dalam tim. Setidaknya mereka sepakat, untuk membentuk sebuah tim pencari harta karun.

Namun, di balik senyum dan jabat tangan mereka, tersimpan niat jahat masing-masing untuk menguasai harta untuk kelompok mereka sendirian.

Tim yang berisikan empat orang, Rama, Arman, Bima dan Maya. Mereka dikirim ke pulau Kamaya dengan perbekalan penuh. Tanpa mereka sadari, tim pencari harta ke pulau Kamaya yang dibentuk adalah pion permainan politik para penguasa dan taipan.

Pulau Kamaya konon menyimpan harta peninggalan kerajaan kuno yang pernah berjaya. Emas, permata dan pusaka sakral semuanya diyakini terkubur di dalam gua besar yang hanya bisa diakses saat bulan purnama tertentu.

***

Kapal tua itu bergerak pelan, meninggalkan Pulau Kamaya yang kini tertutup kabut tipis. Ombak mengguncang, seakan laut sendiri ingin menelan semua rahasia yang baru saja terkuak.

Rama duduk bersandar di geladak kapal, wajahnya kusam, dan penuh luka. Ia masih bisa merasakan gemuruh ledakan gua yang meruntuhkan harapan mereka. Ketika Maya meledakkan gua, semua pembaca dokumen rahasia Pulau Kamaya, Rama dan Arman, yakin harta dan pasukan taipan telah terkubur di dalam gua. Tanpa diketahui mereka, Maya telah menyelundupkan dokumen rahasia Pulau Kamaya ke dalam tas sandangnya.

Rama ternyata bukan sekedar tentara biasa. Ia sudah disusupkan oleh penguasa, tapi diam-diam punya kesepakatan ganda dengan taipan.

Di sampingnya, Arman menunduk murung, meremas catatan kosong yang hanya ia temukan di dalam tasnya. Sementara catatan asli dokumen rahasia pulau Kamaya telah hilang.

“Seharusnya aku yang menyimpan dokumen itu.” Ucap Arman dengan nada penuh penyesalan.

Rama menatapnya singkat, “Tidak ada yang bisa kita lakukan, semuanya sudah hilang.”

Maya yang sedari tadi duduk di buritan kapal, menyalakan rokok kecil dan tersenyum samar, “Hilang? Atau mungkin….sudah sampai ke tempat yang tepat?”

Arman menoleh, menatap Maya dengan pandangan penuh kecurigaan, “Apa maksudmu?”

Maya hanya menghembuskan kepulan asap rokoknya, membiarkannya hilang diterpa angin laut. 

“Kalian masih berpikir kita mencari emas? Permata? Tidak. Dari awal, pulau Kamaya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya: kebenaran.”

***

Sesampainya mereka tiba di pelabuhan kota, suasana politik dalam negeri mendadak kacau. Media cetak dan digital banyak berteriak dengan lantang, 

“DOKUMEN KUNCI BONGKAR KEBUSUKAN PARA ELITE : KERAJAAN DAGANG DAN PEMERINTAH TERSANDERA SEJARAH GELAP.”

Ada beberapa media telah menemukan dokumen kuno dari pedagang pasar gelap dan sudah mereka sebar luaskan. Isinya: bukti perjanjian jual-beli tanah, penghianatan leluhur, hingga catatan hutang rahasia kerajaan kepada bangsa asing. Legitimasi penguasa goyah, taipan yang mendanai misi mereka ditangkap karena korupsi dan rakyat mulai berdemonstrasi menuntut perubahan.

Arman hampir tak percaya membaca koran itu. 

“Bagaimana…..informasi ini sampai keluar? Kita tak membawa apapun dari pulau Kamaya.” Rama menatap tajam ke arah Maya. “Kamu?”

Maya hanya tertawa kecil. “Aku hanya kurir, Rama. Negeri ini butuh sebuah kejutan, kita hanya pelakon saja.”

Para penguasa dan taipan sama-sama jatuh dari panggung politik, karena kasus skandal besar telah terungkap ke publik. Kenapa? Karena dokumen rahasia dari pulau Kamaya tiba-tiba telah muncul diberbagai media, membongkar semua borok mereka.

***

Malam itu, di kamar penginapan kecil, rahasia akhirnya terbuka. Maya menatap dua rekannya, sorotan matanya dingin. 

“Aku tidak pernah bekerja untuk raja ataupun taipan. Mereka semua hanya bidak. Aku bekerja untuk sesuatu yang lebih besar.”

“Siapa?” Tanya Arman, setengah berteriak.

Maya berdiri, menatap jendela di mana cahaya lampu pelabuhan berkelip.

“Kalian kira aku penjaga pusaka? Salah. Aku adalah bayangan yang menjaga agar kebenaran ini tidak pernah terkubur. Tapi aku bukan juga penyelamat negeri ini.”

Rama membentak, “Jangan bilang….kau menjual negeri ini kepada pihak luar?”

Maya tersenyum simpul. Untuk pertama kalinya matanya memancarkan sesuatu yang menyeramkan. 

“Bukan menjual, Rama. Aku hanya memastikan kekuasaan yang busuk tumbang, dengan sedikit bantuan teman-teman dari luar. Jika negeri ini lemah, itu bukan salahku. Itu salah mereka yang membiarkan negeri ini busuk terlalu lama.”

***

“Jadi selama ini….semua yang kita lalui, kematian Bima, runtuhnya gua, pertumpahan darah….itu hanya rencana yang kau susun?” Arman berteriak lantang kepada Maya, wajahnya penuh kekecewaan. Bima memang mati di dalam gua Pulau Kamaya, tapi ternyata telah sengaja diberikan racun jantung oleh taipan sebelum berangkat, tujuannya kalau Bima gagal membawa harta, tubuhnya sendiri akan menjadi “alat sabotase” dengan menyebarkan racun jantung saat mereka di dalam gua.

Maya menoleh, menatapnya tajam kembali. 

“Bukan hanya rencana, Arman. Itu adalah lakon. Dan kalian berdua adalah aktor yang tak sadar sedang memainkan naskahku.” 

Rama marah, menarik pisau dari pinggangnya. 

“Aku seharusnya membunuhmu di pulau itu.”

Maya menatapnya tanpa gemetar, “Kamu bisa mencobanya, tapi ingat….bahkan jika aku mati, naskah ini sudah berjalan. Negeri ini, sudah terbakar oleh dokumen dari pulau Kamaya. Dan aku?” lalu Maya mendekat, berbisik ke telinga Rama.

“Aku hanya bayangan yang menunggu di kegelapan, Rama. Bayangan yang tidak bisa dibunuh.”

Dalam sekejap mata. Maya melompat keluar jendela penginapan mereka, lenyap dalam kegelapan malam.

***

Rama dan Arman berdiri terpaku. Mereka sadar, misi di pulau Kamaya bukanlah tentang harta, melainkan tentang kekuasaan, pengkhianatan dan kebenaran yang dimanipulasi.

Rakyat bersorak karena para penguasa tumbang, tapi mereka tak tahu kekosongan itu akan segera diisi oleh bayangan lain. 

Dan pulau Kamaya? Masih berdiri sunyi, menunggu korban berikutnya yang akan masuk ke dalam permainannya. Pulau Kamaya bukan sekedar pulau berisi harta, melainkan benteng rahasia terakhir sebuah persekutuan tua yang sudah menjaga dokumen kuno selama berabad-abad.

Maya adalah keturunan terakhir penjaga pulau Kamaya, ia adalah dalang yang sejak awal merancang misi ini. Memanfaatkan kerakusan para penguasa dan taipan untuk saling menjatuhkan. Tim empat yang dibentuk adalah boneka. Maya sebenarnya telah bekerja sama dengan pihak asing, bekerja sama ingin menghancurkan kerajaan di dalam negeri yang sudah dititik nadir sebab para penguasanya sudah tak berpihak kepada rakyat lagi.

PULAU KAMAYA : DARAH TERAKHIR DI BAWAH LANGIT MERAH

Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seola...