Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seolah ingin menuntut balas atas keserakahan yang telah diperbuat penguasa saat ini. Di seluruh penjuru negeri, patung-patung raja kuno di dalam kerajaan tampak mengeluarkan tangisan darah, sesuai dengan perjanjian terdahulu, tanda kehancuran. Begitu pula, laut di pulau Kamaya ikut memuntahkan isinya dari dasar lautan, kapal-kapal tua yang dulu hilang ratusan tahun lalu kembali ke daratan pulau.
“Keadilan tanpa kekuatan adalah kehancuran dan kekuatan tanpa keadilan adalah penjajahan.” Tulisan perjanjian kuno yang terpahat jelas di batu itu.
Tak berselang lama, suara para iblis menggema dari tanah pulau Kamaya: “Warisan darah telah tiba. Yang lama akan lahir kembali.”
***
Rama dan Arman akhirnya menemukan catatan terakhir dari Raja Maseer Yaelus, pendiri pertama kerajaan, catatan yang mereka temukan di dasar gua. Tulisan kuno sang raja pertama, terukir rapi di atas kulit hewan. Catatan itu tertulis kebenaran yang mematahkan segalanya:
“Perjanjian darah tak pernah ditujukan untuk menundukkan iblis. Kami menulis nama kami sendiri, agar darah kami tidak bisa mati. Maka setiap keturunan kami: mau atau tidak, akan menjadi penerus kekuasaan kami selanjutnya.”
Maya bukan pewaris kerajaan. Ia adalah penjelmaan kolektif dari tiga roh pendiri yang lahir kembali dalam satu tubuh. Tubuh yang diciptakan oleh generasi modern dengan teknologi genetik dan ritual kuno. Ia bukan manusia sepenuhnya. Ia adalah kerajaan itu sendiri.
***
Ketika kebenaran itu terungkap, dunia luar mengirim pasukan ke pulau Kamaya untuk “membebaskan” negeri dari kutukan. Namun, setiap peluru yang ditembakkan ke arah Maya serasa berhenti di udara. Meleleh seperti lilin di depan nyala lilin lain yang lebih terang.
“Mereka pikir aku monster,” ucap Maya pelan.
“Padahal aku hanya sisa dari kebohongan yang mereka ciptakan.” Lanjutnya.
Rama memohon agar Maya ikut melarikan diri bersama mereka. Namun Maya hanya tersenyum samar, mengisyaratkan penolakan halus kepada Rama.
“Tidak ada tempat untuk lari, Rama. Aku adalah pulau Kamaya. Jika aku mati, tanah ini ikut lenyap. Tapi kalau aku masih tetap hidup, dunia akan terus dipenuhi dengan darah.”
***
Malam ini laut merah pulau Kamaya membentuk pusaran besar di sekitar pulau. Suara iblis bergema dari dasar laut, meraung dan memanggil nama Maya untuk bersatu: agar perjanjian darah sempurna kembali.
Di altar batu pertama, Maya berdiri di tengah simbol kuno. Rama dan Arman telah berlutut di hadapannya. Meminta Maya untuk ikut bersama mereka, keluar dari pulau Kamaya yang mulai menampakkan tanda-tanda kehancurannya.
“Kau tidak harus menebus dosa yang bukan milikmu,” ujar Arman kepada Maya.
“Semua ini bisa dihentikan dengan menghancurkan batu altar itu.” Teriak Arman lantang berusaha menyakinkan Maya.
Maya menggeleng. Tanda menolak ajakan Arman untuk kesekian kalinya.
“Jika batu altar itu dihancurkan, darah yang terikat padanya akan tumpah ke dunia. Ratusan ribu jiwa akan lenyap bersama Kamaya. Satu-satunya jalan adalah…..mengunci mereka kembali. Dengan persembahan tubuhku untuk ikut tenggelam bersama mereka.” Teriak Maya kepada Arman kembali.
***
Maya berdiri di atas batu altar perjanjian di dalam gua. Perlahan cahaya hijau menyelimuti seluruh tubuhnya, dari ujung kaki dan naik menggulung ke kepalanya. Kulit tubuhnya mulai retak seperti kaca, darahnya bercahaya: bukan merah, tapi emas bercampur hijau. Ia memandang Rama dan Arman untuk terakhir kalinya, ia berusaha menyelamatkan dunia dari iblis pulau Kamaya.
Setelah kejadian ini mereka saksikan dan pertempuran masih belum selesai. Pria berdasi dan pasukannya yang selamat, bergegas meninggalkan mereka, Rama dan Arman yang masih berada di dalam gua. Faksi mereka harus selamat, propaganda di dalam negeri yang mereka susun masih kalah dominasinya oleh faksi lain. Kerajaan masih percaya dengan faksi-faksi yang lama, bukan faksi mereka. Menggelar pertemuan rahasia untuk mengisi kekosongan jabatan di dalam kerajaan.
“Kau selalu bilang aku menyelamatkan dunia ini, Rama. Tapi sebenarnya aku hanya menutup kebusukan mereka dengan senyumku.” Maya bersuara lantang kepada Rama.
“Cepat bergegas keluar dari pulau ini, Rama.” Teriak Maya kepada Rama.
Rama tidak peduli dengan perintah Maya. Dengan langkah sigap, Rama berlari mendekati Maya, berusaha menarik tangannya dari pusaran cahaya, tapi cahaya itu menolak segala bentuk sentuhan manusia. Tubuh Rama terpental hebat ke belakang.
Arman melihat tubuh Rama terpental jatuh di dinding batu gua. Ia mendekat dan perlahan mengangkat tubuh Rama yang terjatuh. Berusaha menenangkan mentalnya. Rama merasa tenaganya hilang, akibat peristiwa itu. Maya pun terharu dengan pertolongan Rama, yang berusaha menyelamatkannya.
Bumi pulau Kamaya bergetar hebat. Gunung-gunung pulau Kamaya terbelah dan memuntahkan isi lava panasnya ke daratan. Air lautan merah ikut mendidih. Maya menatap langit malam untuk terakhir kalinya dan berbisik lirih, “Aku kembalikan darah ini ke tanah yang dulu dikhianati.”
“Cepat bergegas keluar dari pulau ini, Rama. Pulau ini akan tenggelam.” Teriak Maya kesekian kalinya kepada Rama. Sebelum tubuhnya mulai ditelan sang iblis penguasa pulau Kamaya.
Setelah suara teriakannya, menyuruh Rama dan Arman bergegas keluar dari pulau Kamaya. Tubuhnya kemudian meledak menjadi serpihan cahaya yang jatuh seperti hujan emas. Tak berselang lama, setelah tubuh Maya hilang ditelan iblis penjaga, pulau Kamaya perlahan tenggelam ke dasar lautan: tanpa suara, tanpa teriakan.
Hanya cahaya hijau yang terus berpendar di bawah laut, seperti jantung yang tak ingin berhenti berdetak.
Rama dan Arman berhasil keluar dari pulau Kamaya. Menaiki perahu kecil yang mereka sembunyikan di dermaga teluk pulau Kamaya. Mereka menyaksikan dari kejauhan, pulau Kamaya tenggelam ke dasar lautan. Sedih dan kecewa menusuk hati mereka, tak mampu menyelamatkan Maya dari iblis yang menelannya. Air mata Rama tak kuasa ditahannya, begitu juga Arman, mereka menangis melihat Maya dan pulau Kamaya tenggelam ke dasar laut.
***
Dunia percaya pulau Kamaya telah hancur. Namun di pantai negeri, setiap malam pada tanggal peristiwa pulau Kamaya tenggelam, air laut berubah menjadi hijau. Anak-anak negeri yang lahir dimalam itu, memiliki mata berwarna zamrud. Dan di antara mereka, ada seorang gadis kecil yang sering berbicara sendiri pada laut.
Suatu malam, ibunya mendengar suaranya berbisik ke ombak pantai :
“Jangan khawatir. Aku akan menjaga mereka kali ini. aku tidak akan biarkan darah ini jatuh ke tangan manusia lagi.”
Di tangan anak itu, pasir pantai bergetar…..dan seolah membentuk simbol mata bermahkota.
***
Arman menyampaikan kepada Rama, saat mereka berdua memandangi laut yang sama ke arah pulau Kamaya yang tenggelam.
“Maya tidak pernah mati. Ia menjadi laut, menjadi angin dan menjadi ingatan yang menolak dilupakan. Tapi kutukan itu juga tak pernah hilang, Rama.” Terang Arman kepada Rama.
Rama setuju, “Sebab selama masih ada manusia yang ingin menulis sejarah dengan darah, pulau Kamaya akan selalu mencari pewarisnya.” Ucap Rama melanjutkan perbincangan mereka berdua.
Dan malam itu, langit malam di ufuk timur masih berwarna hijau. Tenang dan indah. Tapi, di bawahnya laut Kamaya berbisik:
“Tidak ada akhir bagi kekuasaaan. Hanya pergantian nama dari kutukan yang sama.”
***
Surat terakhir yang ditulis oleh Maya berisi:
“Kepada siapapun yang menemukan surat ini, entah itu musuhku, sahabatku atau hanya pengembara yang tersesat di reruntuhan pulau, ketahuilah….aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari darah yang terkutuk.
Mereka menyebutku pewaris, padahal aku hanya wadah bagi dosa para pendiri: raja yang menjual jiwanya kepada iblis agar kekuasaannya abadi, dan bangsanya yang rela tunduk demi sepotong kemakmuran palsu.
Aku tumbuh dengan cerita bahwa aku adalah “penyelamat negeri” dari pulau Kamaya. Namun, ketika kebenaran terbuka, aku tahu: aku bukan penyelamat…..aku adalah akibat.
Malam ini, laut memanggilku dengan suara yang sama seperti nyanyian ibu waktu aku kecil. Tapi, kini aku tahu, itu bukan nyanyian cinta, melainkan panggilan darah untuk menagih perjanjian lama.
Aku telah mencoba menjadi manusia, mencintai, menangis dan tertawa. Tapi, ternyata darah ini terlalu tua untuk memahami cinta yang murni.
Pulau Kamaya tidak butuh ratu. Negeri ini hanya butuh keadilan dan kedamaian. Keadilan dan kedamaian hanya bisa lahir jika yang memulai segalanya bersedia mengakhirinya.
Jadi, aku memilih untuk menyerahkan tubuhku: bukan karena aku ingin mati, tetapi karena aku ingin dunia ini berhenti mengulang kutukan yang sama.
Jika suatu hari nanti, pulau Kamaya muncul lagi ke permukaan, dan kau melihat langitnya hijau seperti batu giok, jangan takut. Itu bukan tanda kehancuran. Itu hanya aku….mengintip dari dasar laut, memastikan dunia ini masih hidup.
Tolong jangan jadikan aku legenda. Jangan ukir namaku di batu nisan. Karena setiap kali seorang mencoba mengingatku sebagai ratu atau penyelamat, kutukan itu akan kembali lagi.
Ingatlah aku hanya sebagai seorang anak yang ingin menebus dosa yang bukan miliknya. Selamat tinggal, dari kedalaman yang sunyi, di mana laut pulau Kamaya berwarna hijau, dan segala doa larut bersama cahaya matahari.”
-Maya, pewaris Kamaya terakhir-
***
Dan dari kejauhan, seberkas cahaya hijau muncul di tengah laut pulau Kamaya yang tenggelam, membentuk siluet perempuan muda yang tersenyum tenang, sebelum perlahan larut bersama ombak yang kembali menutup luka pulau Kamaya selamanya.
----- Bersambung -----




