Di luar, pelabuhan kota masih tetap berdenyut, kapal-kapal kecil dan besar ramai mengangkut barang-barang. Saat malam datang, sang bulan purnama mulai menampakkan wujudnya di horizon langit tua, lingkaran cahayanya utuh, seolah ikut mengawasi permainan manusia. Begitupula Rama dan Arman, walau malam semakin larut, mereka berdua masih menatap lama simbol lingkaran dengan tiga titik yang terukir jelas di depan pintu gudang rumah tua. Simbol yang dititipkan pria berdasi yang secepat kilat lenyap beserta pasukannya, tapi pesan yang ditinggalkannya jelas: akar dari semua kekacauan tetap berpusat di pulau Kamaya.
“Semua titik koordinat ini menunjuk ke satu tempat yang sama,” gumam Arman lirih.
“Ke pulau itu…kita belum selesai, Rama.” Tatapan tajam Arman berusaha meyakinkan Rama.
Rama mengangguk, matanya dingin. “Kalau memang Maya bayangan, maka akarnya ada di sana. Kita harus kembali ke pulau Kamaya, sebelum faksi asing merebut semuanya, Arman.”
Arman mengisyaratkan dengan anggukannya, tanda setuju dengan argumen Rama.
Mereka bergegas ke luar dari rumah tua di pelabuhan kota. Tempat mereka mencari fakta tentang Maya dan petunjuk lainnya. Setelah tiba di penginapan mereka, tanpa berselang lama, Rama dan Arman mulai berkirim informasi rahasia dengan informan mereka di pasar gelap, berusaha mendapatkan petunjuk penting tentang Maya dan informasi faksi-faksi dimasa lalu yang telah bekerjasama dengan kerajaan.
***
Perjalanan kembali ke pulau Kamaya bukan hal yang mudah. Laut sedang tidak bersahabat. Ombak besar menghantam kapal mereka. Kapal nelayan yang mereka sewa hanya berani mengantarkan sampai setengah jalur. Sisanya mereka tempuh dengan perahu kecil, sebab karang-karang laut yang membentang di pinggiran pulau Kamaya tidak mungkin bisa dilalui dengan kapal besar.
Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, saat mereka pernah terombang-ambing dilautan menuju pulau Kamaya, dikarenakan perbekalan habis di tengah jalan sebelum sampai di pinggir daratannya. Mereka, Rama dan Arman membawa perbekalan yang cukup untuk beberapa hari mengarungi lautan menuju pulau Kamaya dengan perahu kecil.
Dari kejauhan, seolah terlihat dekat teluk pulau Kamaya untuk diarungi, nyatanya dari pengalaman mereka terdahulu, jarak yang ditempuh masih cukup jauh, membutuhkan waktu dua hari lagi untuk bisa sampai di teluk pulau Kamaya.
Kabut malam yang pekat, menambah mistisnya aura pulau tersebut. Cahaya malam bulan purnama yang belum penuh tampak di ufuk timur, menandakan tujuan mereka masih butuh waktu satu hari lagi untuk sampai di teluk pulau Kamaya.
Akhirnya pada malam kedua, saat bulan purnama mulai penuh dan menampakkan cahayanya, mereka tiba di pesisir teluk Pulau Kamaya. Perahu kecil mereka dorong dan sandarkan di daratan pantai, dengan sengaja menumpukkan dahan-dahan kering di atasnya. Berusaha menutupi perahu agar tidak terlihat oleh faksi-faksi lain yang nantinya akan berdatangan ke pulau Kamaya.
Sesaat kemudian di pulau Kamaya, mereka disambut suasana mistis yang sama, gelap dan berkabut tebal, aroma bau lumut yang menempel di dinding bebatuan khas pulau Kamaya menambah suasana terasa kian mencekam. Arman dan Rama menemukan tanda-tanda manusia lain yang telah sampai terlebih dahulu: obor yang berbaris dari kejauhan, jejak kaki berat di pasir, dan suara mesin perahu kecil masih terdengar sayup di telinga mereka.
Langkah kaki Rama terasa berat dan mulai merasakan dadanya bergetar. “Bukan hanya kita yang kembali, Arman” bisiknya dengan deru nafas tersengal.
Arman mengisyaratkan tanda setuju. Seolah pulau ini masih saja menjadi magnet mereka, faksi-faksi serakah, berusaha membingkai kerakusan yang dibalut untuk kemakmuran rakyat.
Mereka, Rama dan Arman, berjalan menembus hutan, menuju gua yang dulu telah runtuh. Di sana, sesuatu yang mengejutkan tampak terjadi: batu besar yang pernah menutup gua kini telah tergeser. Di dalamnya, Arman melihat terdapat lorong baru: seperti jalur yang selama ini tersembunyi di bawah reruntuhan.
Lorong itu dipenuhi ukiran-ukiran kuno. Simbol-simbol bulat, garis sejajar, hingga prasasti berbahasa kuno yang samar masih bisa dibaca. Di dinding batu utama terukir sebuah kalimat yang sudah Rama fahami artinya:
"Hanya ketika tiga cahaya sejajar, pintu kebenaran terbuka."
Rama mengusap ukiran itu. “Ini bukan sekadar legenda…ini sistem. Seperti jam astronomi, yang mereka sembunyikan di dalam gua.” Terang Rama kepada Arman.
***
Mereka mengikuti lorong hingga ke sebuah ruang luas berbentuk setengah lingkaran. Di tengah ruangan, ada altar batu dengan cermin logam tua yang diarahkan ke atap gua. Lubang kecil di langit-langit memancarkan cahaya bulan yang masuk, berputar sesuai rotasi malam.
Arman terperanjat. “Ini…semacam mekanisme untuk memproyeksikan pesan. Dokumen hanyalah salinan. Yang asli…masih tersimpan di sini.” Ucap Arman kepada Rama.
Tiba-tiba suara langkah kaki bergema. Cahaya obor menerangi dinding batu gua. Sekelompok orang bersenjata masuk dari lorong lain. Mereka mengenakan seragam hitam tanpa lambang, wajah-wajah asing dengan mata yang dingin. Dan di tengah mereka, seorang pria berdasi yang tadi mereka lihat di gudang: tersenyum seolah sejak awal sudah tahu mereka akan kembali ke sini.
“Aku sudah menduga kalian akan kembali,” ucapnya pelan dengan suara paraunya.
“Pulau ini bukan harta, tapi kunci. Siapa yang menguasai ritual di sini, menguasai legitimasi kerajaan mana pun yang lahir setelahnya.”
Rama telah bersiap dengan senjata pisaunya, tapi pria itu hanya tertawa kecil. “Kalian tidak perlu melawan. Malam ini cahaya bulan purnama telah penuh sempurna. Tiga titik cahaya akan sejajar. Pintu akan terbuka. Dan dunia akan tahu…sejarah baru akan ditulis, bukan oleh penguasa lama, tapi oleh kami: bayangan yang baru.”
Arman merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana ruang gua dipenuhi ketegangan. Cahaya bulan perlahan jatuh, membentuk pola di lantai batu, mendekati tiga titik yang terukir rapi.
Rama menggertakkan giginya. “Kalau pintu itu terbuka…negeri ini bukan milik rakyat, tapi hanya akan jadi mainan faksi kalian.”
Pria berdasi mendekat, matanya berkilat. “Dan siapa bilang negeri ini pernah milik rakyat?” teriaknya kepada Rama dan Arman.
***
Cahaya bulan purnama akhirnya jatuh sempurna, tiga titik sejajar. Batu altar berguncang, suara mekanisme tua berderak keras. Dinding gua bergetar hebat, perlahan terbuka sedikit demi sedikit, memperlihatkan ruang gelap di baliknya.
Di dalamnya, tampak bayangan sosok berdiri…bukan pria berdasi, bukan Rama atau Arman. Bayangan itu tampak seperti wanita: suara dingin terdengar dari dalam gua:
“Aku sudah menunggu kalian.”
Rama dan Arman menoleh serentak. Suara itu milik Maya.
***
Suara Maya menggema di dalam gua, membuat setiap orang membeku. Dari kegelapan, perlahan ia melangkah keluar. Jubah hitamnya berkilat samar tertimpa cahaya bulan purnama yang jatuh dari lubang langit-langit. Wajahnya dingin, tapi sorot matanya menyala seperti bara.
“Jadi akhirnya kalian tiba juga,” katanya dengan nada getir.
“Rama, Arman…kalian hanya pion yang digiring oleh takdir. Dan kau…” Maya menoleh ke pria berdasi, “Hanya cacing yang mencoba memakan sisa-sisa warisan besar.”
Pria berdasi itu tersenyum tipis. “Warisan ini akan menjadi fondasi dunia baru. Kau terlalu terikat pada masa lalu, Maya.” Balasnya dengan angkuh.
Maya tertawa kecil, suaranya getir. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Pulau Kamaya menyimpan perjanjian kuno…bukan sekadar dokumen, tapi sumpah darah yang mengikat penguasa pertama negeri ini dengan kekuatan asing dari seberang lautan. Itu sebabnya pulau ini selalu diperebutkan.”
Rama terdiam. Arman tak sanggup berkata-kata. Ucapan Maya seperti menampar pikiran mereka berdua. “Sumpah darah? Jadi benar…semua peperangan ini hanya pengulangan dari pengkhianatan lama?” tanya Rama terbata-bata kepada Maya.
Maya mengangguk. Ia lalu menunjuk ke altar yang berguncang.
“Tiga cahaya sejajar akan membuka kebenaran: bukan sekadar prasasti, tapi rekaman sejarah. Dan siapa pun yang berdiri di bawah cahaya itu…akan diakui sebagai pewaris sah sumpah kuno.”
Tiba-tiba pria berdasi memberi isyarat. Orang-orang bersenjata bergerak maju, menodongkan senjata ke arah Rama dan Arman. “Sayangnya, hanya kami yang berhak berdiri di sana malam ini.”
Arman mengangkat tangannya, tapi matanya menatap Rama penuh keresahan.
“Kalau benar Maya bicara soal sumpah darah, artinya mereka bisa menguasai legitimasi politik dengan mudah. Kita tidak boleh biarkan.”
Rama meraih batu kecil, lalu berbisik, “Bersiap.”
Dalam sekejap, ia melempar batu itu ke obor terdekat, membuat percikan api dan kekacauan. Arman langsung bergerak cepat, menendang salah satu penjaga hingga senjatanya terlepas.
Gua mendadak menjadi arena pertempuran diantara mereka semua. Dentuman peluru memantul di dinding, saling adu tembakan senjata tak terhindarkan. Maya sendiri tidak bergerak, hanya berdiri di tepi altar sambil menunggu cahaya bulan purnama sempurna jatuh di atas altar.
Pertarungan sengit berlangsung. Rama berhasil merampas pistol, melepaskan tembakan ke musuh. Arman menahan dua lawan sekaligus dengan tubuhnya. Namun jumlah musuh terlalu banyak.
Pria berdasi tetap tenang. “Lawan saja. Pada akhirnya cahaya akan jatuh, dan aku akan berdiri di atas altar itu.”
Namun sebelum ia sempat melangkah, Maya mengangkat tangannya. Suara gemuruh dari dalam gua semakin keras, dan cahaya bulan purnama tiba-tiba memantul dari cermin logam, membentuk simbol besar di dinding batu.
Di sana terpampang proyeksi bayangan tiga figur: seorang raja kuno, seorang panglima asing, dan seorang wanita berjubah putih.
Maya menatap proyeksi itu dengan sorot penuh amarah. “Itulah kebenaran! Negeri ini lahir bukan dari tangan rakyat, tapi dari perjanjian kotor antara leluhur kita dengan kekuatan asing. Semua darah yang tumpah adalah harga dari sumpah itu!”
Rama tertegun melihat bayangan di dinding batu. Arman menggertakkan giginya. “Kalau begitu…kita tidak hanya melawan bayangan sekarang. Kita melawan dosa masa lalu.”
Pria berdasi tertawa keras. “Justru karena itu, kami akan melanjutkan warisan ini. Dunia baru butuh pemimpin yang berakar dari sumpah kuno: aku akan menjadi pemimpinnya.”
***
Cahaya bulan purnama jatuh semakin terang ke altar. Saat pria berdasi melangkah ke tengah, Maya berteriak, suaranya melengking memenuhi gua:
“Tidak! Pewaris sejati bukan kau…tapi aku!”
Ia lalu memperlihatkan simbol yang sama: tiga titik dan lingkaran, terukir seperti tato di lengan bahu kirinya.
Semua orang terpaku. Bahkan Rama pun membeku. Maya menatap mereka dengan mata berkilat, lalu berbisik:
“Aku adalah darah terakhir dari perjanjian itu.”
***
Bersambung…..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar