Kota masih bergemuruh oleh dentuman berita. Di jalan-jalan, orasi berubah menjadi bisik-bisik teori konspirasi. Di berbagai sudut kota, pembicaraan tentang “dokumen Pulau Kamaya” selalu menjadi topik hangat untuk dibahas. Bergantian dengan nama-nama yang dulu dianggap tak tersentuh oleh hukum. Namun di balik hiruk-pikuk permasalahan itu, dua orang yang paling memahami skenario sebenarnya, Rama dan Arman, duduk menatap gelap malam dari balik jendela kamar penginapan mereka.
“Kita tidak bisa diam,” kata Arman pelan. “Maya tidak lari tanpa jejak. Dia sengaja meninggalkan petunjuk, atau paling tidak, dia memiliki hubungan dengan orang yang bisa membawa dokumen itu keluar negeri.”
Rama mengangguk singkat. “Kalau dia ingin negara ini runtuh, dia tidak butuh kita lagi. Tapi aku tidak percaya pada kebetulan. Ada pola. Dia bilang 'bayangan'. Bayangan selalu punya akar.”
***
Mereka mulai menyusun rencana sederhana: duduk di meja kamar penginapan mereka, berdua mulai mengumpulkan informasi siapa saja yang masih bisa dipercaya, menelusuri setiap kontak taipan, setiap pedagang pasar gelap yang pernah mereka temui. Tapi akhir kesimpulannya selalu kembali ke satu hal yang tak berubah: Pulau Kamaya.
Jika dokumen asli pernah ada di situ, maka pulau itu menyimpan lebih dari sekedar kertas: jaringan, simbol, dan kunci yang belum mereka pahami.
Di pasar gelap, seorang wanita penjual peta laut memberikan potongan informasi. Di bawah bisik, Arman memperoleh petunjuk kecil, sebuah simbol, lingkaran dengan tiga titik, yang terukir halus di tepi peta yang pernah dibeli Maya di malam sebelum keberangkatan mereka. Arman menatap simbol itu dengan seksama, simbol yang tertempel di dinding kamar. Ia teringat tata letak batu di mulut gua pulau Kamaya, pola yang terbentuk oleh cahaya bulan purnama.
“Ini bukan simbol perdagangan,” gumamnya. “Ini tanda sebuah persekutuan.”
Sementara itu, pihak berwenang yang tersapu skandal berusaha cepat menambal legitimasi di kerajaan. Dewan sementara dibentuk; wajah-wajah baru bermunculan di layar, berjanji melakukan reformasi di dalam negeri. Tapi di balik layar yang lain, faksi-faksi yang bergeser dari pemerintahan, mulai menyiapkan langkah mereka sendiri: taipan yang selamat menyusun strategi hukum, bekas sekutu raja mencari cara menyingkirkan ancaman paling berani, dan utusan asing mencatat peluang baru.
***
Rama dan Arman menyadari sesuatu yang lebih berbahaya dari pada dokumen itu sendiri: kekosongan kekuasaan. Kekuatan tak selalu jatuh kepada pihak yang paling suci, seringkali pada yang paling cepat mengisi ruang. Maya? Ia sudah mengakui bahwa ia bukan penyelamat. Ia adalah "bayangan" yang menunggu kegelapan. Itu berarti, ketika kegelapan datang, akan ada banyak tangan ingin memegang kendali.
Mereka memutuskan: bukan hanya mengejar Maya, tapi mengungkap struktur bayangan itu, siapa yang membiayai, siapa yang memetakan, siapa yang menunggu. Tapi langkah pertama adalah mengamankan sisa-sisa bukti yang belum sempat tersebar ke publik.
Arman ingat sesuatu: tasnya yang kosong. Di dalamnya, di bawah lapisan kain tasnya, ada selembar kertas tipis yang belum sempat dibaca, saat ia masih gugup dan takut saat berada di dalam kapal, setelah kembali pulang dari pulau Kamaya, sebuah coretan samar. Coretan itu kini seperti mantra yang memanggil: nama, koordinat kecil, dan sebuah alamat: sebuah rumah tua di pelabuhan kota yang terlihat biasa dan sudah lama tidak ada yang menempatinya.
“Kita harus datang ke rumah tua di dekat pelabuhan kota itu, Rama.” Ucap Arman dengan raut wajah optimis kepada Rama.
“Baik Arman. Itu langkah awal kita, untuk menemukan petunjuk lainnya yang masih tersembunyi.” Balas Rama.
***
Malam itu, dengan perencanaan matang dan senjata lengkap melekat di tubuh mereka. Bersiap pergi ke alamat yang telah mereka pastikan titik koordinatnya, sebuah rumah tua di pelabuhan kota yang di dalamnya terdapat gudang yang tampak tak terurus. Dengan kemampuan mereka yang terlatih, dengan mudah memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan itu, ternyata berisi ruang tunggu yang disulap menjadi kantor kecil: rak-rak buku, peta, dan papan tulis dinding yang terpampang berbagai potongan informasi rahasia. Di salah satu sudut ruangan, ada sebuah meja yang di atasnya tergeletak sebuah amplop coklat bertuliskan tiga huruf: R.M.Y, inisial yang membuat darah Arman berdesir. Dengan tergesa-gesa Arman mendekati meja itu. Berusaha mengamankan amplop tersebut.
“Hati-hati Arman.” Ucap Rama.
Dengan perlahan, Arman membuka amplop coklat yang bertuliskan inisial: R.M.Y dan jari-jari tangannya ikut gemetar, seolah mendukung suasana ketegangan di dalam ruangan.
Setelah dibuka dengan hati-hati mengeluarkan isi amplopnya, ternyata di dalamnya berisi: file photo hitam-putih Maya, detail seorang pria asing berdasi, dan alamat pelabuhan kota lain, sebuah negara di seberang laut. Di bawah photo, ada sebuah catatan singkat bertinta biru: “Teruskan jika perlu. Jangan biarkan bayangan lain mengambil alih.”
***
Sebelum mereka, Arman dan Rama, sempat mencerna lebih jauh informasinya, suara sepatu terdengar di ujung lorong dan semakin mendekat. Belum sempat mereka bersembunyi, tiba-tiba dengan cepat bayangan melintas di depan pintu, bukan Maya, tapi seorang kurir kecil berkepala botak, matanya cekatan. Ia memandang sejenak ke arah meja, lalu menoleh ke arah mereka, Rama dan Arman.
Mereka saling melempar tatapan tajam. Dan bersiap dengan senjata masing-masing, manakala kondisi tidak diharapkan terjadi. Tapi ketegangan diantara mereka bertiga mereda dan masih terkendali. Kurir berkepala botak menenangkan situasi.
“Apa yang kalian lakukan di rumah ini?” tanyanya polos, tetapi tangan kecilnya masih menyentuh sesuatu di kantongnya: sebuah benda tajam.
Rama melangkah cepat, tapi Arman tiba-tiba mengangkat tangan, menjawab dengan suara tenang si kurir berkepala botak. “Kami mencari kebenaran,” kata Arman.
“Kalau kalian bagian dari bayangan, kalian harus tahu: kami tak ingin ada perang. Kami hanya ingin agar dokumen itu tak dipakai untuk membenarkan kekuasaan baru yang sama busuknya dengan penguasa terdahulu.” Terang kurir berkepala botak kepada Rama dan Arman.
Ruangan semakin panas. Mereka, Rama dan Arman, masih menatap penuh curiga. Kurir membalas menatap mereka lama. Akhirnya kurir menghembuskan napas panjang, menurunkan tangannya, dan menunjuk ke sebuah rak rahasia.
“Dokumen itu yang kalian cari. Silahkan ambil di rak itu. Aku tidak akan menghalangi kalian.” Ucapnya dengan lugas.
Sejurus tanpa komando dari Rama. Arman berjalan mendekati rak. Lalu mendapati isi di dalam rak tersebut, sebuah kotak besi berisi beberapa lembar dokumen, salinan bagian kecil dari arsip Pulau Kamaya, tanda tangan samar, stempel, dan catatan yang ditulis dengan bahasa campuran.
“Ini harta kalian,” ucap Arman.
“Tapi ada yang lebih besar di luar sana. Bayangan…mereka menunggu, dan mereka tak suka diganggu.” Balas kurir berkepala botak.
Pintu gudang tiba-tiba terbuka. Suara langkah lebih banyak, bukan dari faksi pemerintah, bukan pula sekadar para pengunjuk rasa; ini suara orang yang terlatih.
Di depan pintu gudang, bayangan-bayangan lain berdiri, dan di antara mereka, sekilas sosok yang dikenali Arman dari foto di dalam amplop coklat: pria berdasi.
Arman dan Rama memandang satu sama lain. Mereka tahu ini bukan sekadar pengejaran Maya lagi. Ini pergulatan yang akan menentukan siapa yang menulis naskah baru bangsa ini, dan apakah naskah itu akan berisi kebenaran, atau sekadar bayangan lain yang menggantikan bayangan lama.
***
Pria berdasi masuk tanpa ancaman, duduk, dan menawarkan rokok cerutu kepada mereka, Rama dan Arman. Suaranya halus, penuh diplomasi. Ia bukan militer bayangan, melainkan broker: penengah kekuasaan gelap yang menukar loyalitas dengan posisi. Ia memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan sebuah faksi baru: bukan raja lama, bukan taipan lama, faksi yang mengklaim mereka bisa menata ulang negeri ini.
Dialognya menggigit. Ia tahu setiap langkah Rama dan Arman, bahkan latar belakang mereka. Ia menawarkan kontrak sederhana: berikan dokumen-dokumen yang tersisa sebagai jaminan, bergabunglah, dan kalian akan duduk di meja pembuat keputusan setelah badai.
Arman terguncang: masa lalu, kebutuhan, dan rasa bersalah menjeratnya.
Rama marah, “Kau ingin kami jadi pencuci tanganmu untuk kejahatan barumu?”
Pertarungan moral berkembang menjadi permainan tawar-menawar. Sang pria berdasi tersenyum simpul duduk di kursinya, menatap mereka sambil mengepulkan asap cerutunya.
“Aku tidak memaksa kalian untuk menentukan pilihan. Semua keputusan masih berpeluang untuk kita bicarakan.” Suara parau pria berdasi berdiplomasi dengan penuh kepercayaan melakukan penawaran kepada Rama dan Arman.
Tawaran diperluas kepada mereka, Rama dan Arman: proteksi finansial, identitas baru, kebebasan, dan status. Arman melihat masa depan yang lebih aman, sedang Rama melihat sebagai pengkhianatan, jika kesepakatan ini terjadi.
Sementara itu, kabar di luar semakin memanas, sekelompok reformis menuntut transparansi penuh di dalam negeri, tetapi kaum oportunis selalu menunggu di belakang layar.
Pilihan Rama dan Arman akan menentukan: apakah mereka menukarkan bukti demi pengaruh untuk mencegah kekerasan lebih besar, atau menolak dan mengambil jalan sulit untuk memastikan kebenaran tersebar tanpa ditarik ke permainan kekuasaan baru?
Bersambung.....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar