Sabtu, 04 Oktober 2025

PULAU KAMAYA : BAYANGAN YANG MENUNGGU

Pulau Kamaya menyambut mereka dengan hutan lebat dan suara-suara asing. Malam pertama, Bima dan Arya berdebat tentang pembagian jaga untuk tidur secara secara bergantian.


Hampir saja sepatu bot milik Rama melayang ke wajah mereka berdua, yang masih ribut tak berkesudahan. Akhirnya, Maya menenangkan perdebatan bodoh mereka yang sibuk mempertahankan pendapat masing-masing, untuk waktu penjagaan di luar tenda tidur secara bergantian.

Hari kedua, setelah perjalanan jauh, akhirnya mereka menemukan gua yang dicari. Gua itu memiliki patung batu dengan tulisan aksara kuno di bawah kaki patungnya. Rama membaca seksama dan Arman ikutan meneliti penuh kewaspadaan. Mereka menyimpulkan arti tulisannya, menunggu cahaya bulan purnama membentuk pola lingkaran di depan pintu gua.

Mereka sabar menunggu cahaya bulan purnama datang, saat waktu yang ditentukan tiba, perlahan cahaya bulan jatuh membentuk pola lingkaran di depan gua. Setelah ada intruksi dari Maya, dengan cepat Bima datang mendobrak pintu batu gua.

Tanpa terduga, pintu gua pun terbuka. Arman dan Bima kembali berebut untuk masuk ke dalam gua. Rama mengangkat senjata, “Kalau masih bertengkar lagi, aku yang akan memutuskan kepala siapa yang lebih dulu berlumuran darah dengan senjataku.”

Maya menghela napas panjang, “Lucu ya, di hutan pun manusia masih tetap sama, sibuk rebutan harta, satunya lagi bawa senjata untuk mengatur semua.”

Mereka terdiam. Lalu tertawa pahit. Humor itu menyinggung semua di dalam tim.

***

Ketegangan memuncak. Saat mereka menemukan peti kuno di dalam gua. Ketika peti tua dibuka, isinya akhirnya terlihat, emas dan permata yang mereka cari sesuai dengan legenda tidak ditemukan, melainkan tumpukan dokumen kuno: catatan lengkap tentang kesalahan, perjanjian kotor dengan penguasa asing, hingga bukti sejarah yang bisa mengguncang legitimasi kekuasaan kerajaan di dalam negeri sekarang.

“Ini…..ini bukan harta karun.” Gumam Arman gemetar. 

Maya menatapnya. “Justru inilah harta karun sebenarnya. Emas dan permata hanyalah mitos saja. Tapi kebenaran di dalam dokumen ini, bisa meruntuhkan kerajaan di dalam negeri.” Teriak Maya dengan nada lantang.

Sementara itu, di balik layar, sang raja dan taipan, sebenarnya tidak pernah ingin berniat berbagi harta karun dari pulau Kamaya. Mereka sudah menyusupkan mata-mata ke dalam tim. Setidaknya mereka sepakat, untuk membentuk sebuah tim pencari harta karun.

Namun, di balik senyum dan jabat tangan mereka, tersimpan niat jahat masing-masing untuk menguasai harta untuk kelompok mereka sendirian.

Tim yang berisikan empat orang, Rama, Arman, Bima dan Maya. Mereka dikirim ke pulau Kamaya dengan perbekalan penuh. Tanpa mereka sadari, tim pencari harta ke pulau Kamaya yang dibentuk adalah pion permainan politik para penguasa dan taipan.

Pulau Kamaya konon menyimpan harta peninggalan kerajaan kuno yang pernah berjaya. Emas, permata dan pusaka sakral semuanya diyakini terkubur di dalam gua besar yang hanya bisa diakses saat bulan purnama tertentu.

***

Kapal tua itu bergerak pelan, meninggalkan Pulau Kamaya yang kini tertutup kabut tipis. Ombak mengguncang, seakan laut sendiri ingin menelan semua rahasia yang baru saja terkuak.

Rama duduk bersandar di geladak kapal, wajahnya kusam, dan penuh luka. Ia masih bisa merasakan gemuruh ledakan gua yang meruntuhkan harapan mereka. Ketika Maya meledakkan gua, semua pembaca dokumen rahasia Pulau Kamaya, Rama dan Arman, yakin harta dan pasukan taipan telah terkubur di dalam gua. Tanpa diketahui mereka, Maya telah menyelundupkan dokumen rahasia Pulau Kamaya ke dalam tas sandangnya.

Rama ternyata bukan sekedar tentara biasa. Ia sudah disusupkan oleh penguasa, tapi diam-diam punya kesepakatan ganda dengan taipan.

Di sampingnya, Arman menunduk murung, meremas catatan kosong yang hanya ia temukan di dalam tasnya. Sementara catatan asli dokumen rahasia pulau Kamaya telah hilang.

“Seharusnya aku yang menyimpan dokumen itu.” Ucap Arman dengan nada penuh penyesalan.

Rama menatapnya singkat, “Tidak ada yang bisa kita lakukan, semuanya sudah hilang.”

Maya yang sedari tadi duduk di buritan kapal, menyalakan rokok kecil dan tersenyum samar, “Hilang? Atau mungkin….sudah sampai ke tempat yang tepat?”

Arman menoleh, menatap Maya dengan pandangan penuh kecurigaan, “Apa maksudmu?”

Maya hanya menghembuskan kepulan asap rokoknya, membiarkannya hilang diterpa angin laut. 

“Kalian masih berpikir kita mencari emas? Permata? Tidak. Dari awal, pulau Kamaya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya: kebenaran.”

***

Sesampainya mereka tiba di pelabuhan kota, suasana politik dalam negeri mendadak kacau. Media cetak dan digital banyak berteriak dengan lantang, 

“DOKUMEN KUNCI BONGKAR KEBUSUKAN PARA ELITE : KERAJAAN DAGANG DAN PEMERINTAH TERSANDERA SEJARAH GELAP.”

Ada beberapa media telah menemukan dokumen kuno dari pedagang pasar gelap dan sudah mereka sebar luaskan. Isinya: bukti perjanjian jual-beli tanah, penghianatan leluhur, hingga catatan hutang rahasia kerajaan kepada bangsa asing. Legitimasi penguasa goyah, taipan yang mendanai misi mereka ditangkap karena korupsi dan rakyat mulai berdemonstrasi menuntut perubahan.

Arman hampir tak percaya membaca koran itu. 

“Bagaimana…..informasi ini sampai keluar? Kita tak membawa apapun dari pulau Kamaya.” Rama menatap tajam ke arah Maya. “Kamu?”

Maya hanya tertawa kecil. “Aku hanya kurir, Rama. Negeri ini butuh sebuah kejutan, kita hanya pelakon saja.”

Para penguasa dan taipan sama-sama jatuh dari panggung politik, karena kasus skandal besar telah terungkap ke publik. Kenapa? Karena dokumen rahasia dari pulau Kamaya tiba-tiba telah muncul diberbagai media, membongkar semua borok mereka.

***

Malam itu, di kamar penginapan kecil, rahasia akhirnya terbuka. Maya menatap dua rekannya, sorotan matanya dingin. 

“Aku tidak pernah bekerja untuk raja ataupun taipan. Mereka semua hanya bidak. Aku bekerja untuk sesuatu yang lebih besar.”

“Siapa?” Tanya Arman, setengah berteriak.

Maya berdiri, menatap jendela di mana cahaya lampu pelabuhan berkelip.

“Kalian kira aku penjaga pusaka? Salah. Aku adalah bayangan yang menjaga agar kebenaran ini tidak pernah terkubur. Tapi aku bukan juga penyelamat negeri ini.”

Rama membentak, “Jangan bilang….kau menjual negeri ini kepada pihak luar?”

Maya tersenyum simpul. Untuk pertama kalinya matanya memancarkan sesuatu yang menyeramkan. 

“Bukan menjual, Rama. Aku hanya memastikan kekuasaan yang busuk tumbang, dengan sedikit bantuan teman-teman dari luar. Jika negeri ini lemah, itu bukan salahku. Itu salah mereka yang membiarkan negeri ini busuk terlalu lama.”

***

“Jadi selama ini….semua yang kita lalui, kematian Bima, runtuhnya gua, pertumpahan darah….itu hanya rencana yang kau susun?” Arman berteriak lantang kepada Maya, wajahnya penuh kekecewaan. Bima memang mati di dalam gua Pulau Kamaya, tapi ternyata telah sengaja diberikan racun jantung oleh taipan sebelum berangkat, tujuannya kalau Bima gagal membawa harta, tubuhnya sendiri akan menjadi “alat sabotase” dengan menyebarkan racun jantung saat mereka di dalam gua.

Maya menoleh, menatapnya tajam kembali. 

“Bukan hanya rencana, Arman. Itu adalah lakon. Dan kalian berdua adalah aktor yang tak sadar sedang memainkan naskahku.” 

Rama marah, menarik pisau dari pinggangnya. 

“Aku seharusnya membunuhmu di pulau itu.”

Maya menatapnya tanpa gemetar, “Kamu bisa mencobanya, tapi ingat….bahkan jika aku mati, naskah ini sudah berjalan. Negeri ini, sudah terbakar oleh dokumen dari pulau Kamaya. Dan aku?” lalu Maya mendekat, berbisik ke telinga Rama.

“Aku hanya bayangan yang menunggu di kegelapan, Rama. Bayangan yang tidak bisa dibunuh.”

Dalam sekejap mata. Maya melompat keluar jendela penginapan mereka, lenyap dalam kegelapan malam.

***

Rama dan Arman berdiri terpaku. Mereka sadar, misi di pulau Kamaya bukanlah tentang harta, melainkan tentang kekuasaan, pengkhianatan dan kebenaran yang dimanipulasi.

Rakyat bersorak karena para penguasa tumbang, tapi mereka tak tahu kekosongan itu akan segera diisi oleh bayangan lain. 

Dan pulau Kamaya? Masih berdiri sunyi, menunggu korban berikutnya yang akan masuk ke dalam permainannya. Pulau Kamaya bukan sekedar pulau berisi harta, melainkan benteng rahasia terakhir sebuah persekutuan tua yang sudah menjaga dokumen kuno selama berabad-abad.

Maya adalah keturunan terakhir penjaga pulau Kamaya, ia adalah dalang yang sejak awal merancang misi ini. Memanfaatkan kerakusan para penguasa dan taipan untuk saling menjatuhkan. Tim empat yang dibentuk adalah boneka. Maya sebenarnya telah bekerja sama dengan pihak asing, bekerja sama ingin menghancurkan kerajaan di dalam negeri yang sudah dititik nadir sebab para penguasanya sudah tak berpihak kepada rakyat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PULAU KAMAYA : DARAH TERAKHIR DI BAWAH LANGIT MERAH

Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seola...