Minggu, 23 Februari 2025

PENYESALAN YANG TERLAMBAT

Seorang pemuda bernama Zaki. Ia tampan, cerdas, dan memiliki pesona yang selalu menarik perhatian banyak wanita. Namun, di balik semua kelebihannya itu, ia memiliki satu kekurangan besar, ia tidak pernah benar-benar mampu menghargai wanita yang mencintainya dengan tulus dan sabar.


Sosok wanita yang paling mencintai dirinya adalah Vivi, seorang wanita sederhana, lembut, dan penuh kasih sayang. Sejak awal, Vivi memberikan segalanya untuk Zaki. Ia selalu ada saat Zaki membutuhkannya, mendukung semua impian pemuda itu tanpa mengharapkan balasan, dan mencintainya dengan sepenuh hati. Namun, bagi Zaki, semua itu terasa biasa saja. Ia menganggap cinta Vivi sesuatu yang pasti, yang akan selalu ada tanpa ia perlu berusaha mempertahankannya.

Berulang kali, Zaki menyakiti hati dan perasaan Vivi. Ia sering mengabaikan pesan yang disampaikannya, lebih memilih bersama dengan teman-temannya dari pada menghabiskan waktu bersamanya, bahkan terkadang ia berkata kasar tanpa menyadari luka yang telah digoreskannya di hati wanita itu. Vivi tetap bertahan, berharap suatu hari Zaki akan sadar dan mulai menghargai betapa besar cinta dan sayang Vivi kepadanya. Namun, harapan itu lama-kelamaan semakin memudar dan perlahan menghilang.

***

Hingga suatu hari, Vivi berani mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Ia tidak ingin bertahan dalam hubungan cinta yang penuh duka dan nestapa ini, hubungan yang hanya membuatnya terluka. Dengan hati yang berat, ia memilih pergi, meninggalkan Zaki tanpa banyak kata. Vivi memutuskan untuk memilih mencintai seseorang yang benar-benar menyayangi dan menghargai keberadaan dirinya.

“Maafkan aku telah pergi meninggalkanmu, bukan maksud untuk menyakiti dirimu, Zaki. Ini demi kebaikan kita bersama. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tak mungkin mampu lagi bertahan dengan sikap keras kepala dan egomu, kepadaku. Aku sudah memaafkan dirimu jauh sebelumnya, semoga dirimu menemukan jodoh yang terbaik sebagai pendamping hidupmu nanti.” Bunyi pesan di layar ponsel Zaki, setelah dibaca, itu adalah pesan terakhir dari Vivi.

“ini hanya marah sesaat, seperti biasa, pasti esok atau lusa Vivi akan kembali padaku. Tidak mungkin mampu berpisah dengan diriku” gumam Zaki dalam hatinya, sembari menatap penuh keyakinan.

***

Zaki awalnya tidak terlalu peduli. Baginya, Vivi hanya marah sesaat dan akan kembali seperti biasa. Namun, waktu terus berlalu, dan Vivi tak kunjung kembali kepadanya. Justru, ia melihat Vivi mulai bahagia dengan hidupnya, Vivi telah menemukan pendamping hidupnya yang baru. Berdampingan dengan seorang pria yang lebih mencintainya dengan sepenuh hati. Saat itulah, sesuatu di dalam diri Zaki mulai berubah.

“Kenapa hati ini begitu terasa sakit sejak kehilangan Vivi, aku tidak bisa membohonginya. Ternyata, sosoknya sangat berarti dalam hidupku.” tutur Zaki seraya mengutuk dirinya, terlalu bodoh dengan sikap dan tingkah lakunya.

Ia mulai merasakan kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapapun. Ia menyadari betapa berartinya Vivi dalam hidupnya, betapa tulusnya cinta Vivi kepadanya yang telah ia sia-siakan selama ini. Penyesalan datang menghantamnya seperti gelombang besar, tetapi semuanya sudah terlambat, tidak mungkin bisa memperbaikinya. Vivi telah menemukan kebahagiaannya sendiri, hatinya telah tertambat dengan seorang pria yang begitu mencintainya, dan ia mulai telah melupakan Zaki.

***

Kini, Zaki hanya bisa melihat dari kejauhan, meratapi kesalahannya sendiri. Ia telah kehilangan satu-satunya cinta yang paling berharga dalam hidupnya. Namun, ia ikhlas menerima kenyataan itu dan menerima kesalahan dirinya. Vivi pun berpesan kepadanya untuk menemukan pendamping hidupnya sendiri, agar tidak terus menunggu dirinya yang sudah bahagia dengan pasangan hidupnya saat ini.

Dengan hati yang perlahan mulai pulih, Zaki berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama kepada gadis lainnya, dan belajar mencintai dengan lebih tulus serta menghargai setiap kesempatan yang diberikan oleh cinta.

***

Hari-hari berlalu, dan Zaki mulai berusaha memperbaiki dirinya. Ia menyadari bahwa hidup harus terus berjalan, dan ia tidak bisa terus terjebak dalam bayang-bayang penyesalan. Setiap kata yang diucapkan Vivi masih terngiang di telinganya, menjadi motivasi bagi dirinya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

“Aku harus melangkah, beranjak dari puing-puing hatiku yang hancur berserakan.” gumam Zaki di dalam hatinya. Seraya berharap yang terbaik, untuk masa depannya.

Suatu hari, Zaki bertemu dengan seorang wanita yang berbeda dari Vivi, namun memiliki kelembutan hati yang sama. Perlahan, ia mulai membuka hatinya dan menyadari bahwa cinta bisa datang dalam bentuk yang baru, bukan untuk menggantikan, tetapi untuk memberikan kesempatan kedua dalam hidupnya.

Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Zaki masih belum sepenuhnya mencintai sosok yang baru dikenalnya. Ada bayangan Vivi yang sesekali muncul, membandingkan perasaannya yang dulu dengan yang kini sedang ia bangun. Meskipun begitu, ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Ia berusaha untuk mencintainya dengan sepenuh hati, bukan karena ingin melupakan masa lalunya, tetapi karena ia ingin belajar mencintai dengan cara yang benar.

***

Seiring waktu, perlahan-lahan Zaki menemukan arti cinta yang sebenarnya. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang memberi, menghargai, dan menerima seseorang dengan ketulusan. Hubungan yang ia jalani saat ini memberinya harapan baru, bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari masa lalu, tetapi juga dari kesempatan yang ada di hadapan kita.

Hari demi hari berlalu, dan hubungan Zaki dengan wanita baru yang ia kenal mulai tumbuh. Namun, ada sesuatu yang mulai terasa familiar di dalam hatinya. Cara wanita itu berbicara, caranya tersenyum, dan bahkan bagaimana ia memahami Zaki dengan begitu dalam. Hingga suatu hari, percakapan mereka membawa Zaki pada sebuah kenyataan yang mengejutkan.

Wanita itu, yang kini perlahan mulai mencintainya, ternyata adalah seseorang dari masa lalu Zaki. Dialah Aurel, gadis yang dulu pernah Zaki sukai saat masih duduk di bangku SMA. Dulu, Zaki pernah menyatakan perasaannya kepada Aurel, namun gadis itu menolaknya dengan halus, mengatakan bahwa ia belum siap untuk menjalin hubungan.

Kini, takdir seolah mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang berbeda. Aurel, yang dulu tidak tertarik pada Zaki, kini justru mulai jatuh cinta kepadanya. Ia melihat sosok Zaki yang telah berubah, yang lebih bijak dan lebih menghargai cinta. Perlahan, Zaki pun mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Meskipun hatinya masih menyimpan bayangan Vivi, ia mulai membuka dirinya untuk Aurel.

***

Ujian hidup kembali datang, saat Zaki mulai menaruh hati kepada Aurel, kehidupan kembali memberinya pukulan yang tak terduga. Hubungan mereka yang baru mulai tumbuh, harus kandas. Orang tua Aurel telah memilihkan jodoh untuknya, seorang pria yang agamis dan memahami nilai-nilai agama dengan baik. Itu adalah keputusan yang sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.

Seakan disambar petir disiang bolong, Zaki kembali merasakan kehilangan. Hidup seolah mempermainkan perasaannya, mengulang luka-luka yang pernah ia alami. Ia mulai merasa bahwa mungkin ini adalah karma dari masa lalunya, dari kesalahan yang ia lakukan terhadap Vivi. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia coba bangun, kembali hancur di hadapan matanya.

“Maafkan cinta ini, masih belum berpihak kepada hubungan kita, Mas Zaki. Orang tuaku telah memilihkan jodoh untukku, dengan halus dan lembut tutur bahasa mereka. Aku tak mampu melawannya.” Suara Aurel terdengar serak diujung telepon.

“Aku ikhlas Aurel, semoga pilihan orang tuamu yang terbaik untuk hidupmu.” Balas Zaki penuh kesedihan kepada Aurel.

Zaki merasa hidup tidak lagi bersahabat dengannya. Ia mencoba menerima kenyataan, tetapi luka itu begitu dalam. Namun, di tengah keterpurukannya, ia tahu bahwa ia harus tetap melanjutkan hidup. Ia harus belajar untuk tidak hanya menerima cinta, tetapi juga merelakannya jika memang bukan untuknya.

***

Akhirnya, Zaki memutuskan untuk benar-benar ikhlas terhadap keputusan Tuhannya. Ia tidak ingin lagi terlalu berharap banyak tentang hidup, tetapi hanya berharap bisa dimaafkan oleh Vivi, wanita yang dulu pernah ia sakiti. Ia ingin menemukan kembali ketenangan senja dalam hidupnya.

Dalam hatinya, Zaki yakin bahwa akan ada sosok wanita yang baik hati dan mencintainya dengan tulus. Entah kapan dan di mana ia akan berjumpa dengannya, Zaki percaya bahwa jika memang ditakdirkan, pertemuan itu pasti akan datang pada waktu yang tepat. Hingga saat itu tiba, ia memilih untuk memperbaiki dirinya dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan ketulusan.

Minggu, 16 Februari 2025

CINTAKU TERTINGGAL DI KOTA PARIS

Hari itu, di bandara kota, Arman berdiri di depan pintu keberangkatan, menatap Amina yang bersiap untuk pulang ke kotanya, Kota Paris, Prancis. Ia tahu bahwa perpisahan ini tidak bisa untuk dihindari. Kabar tentang ayah Amina yang sedang sakit membuatnya mengerti bahwa gadis itu harus kembali ke kotanya. Keluarga besarnya sedang membutuhkannya saat ini.


Amina, sosok gadis Uzbekistan, seorang mahasiswi teknik sipil yang Arman kenal saat bekerja sama dalam proyek lingkungan di kampusnya dulu, Kota Paris. Amina adalah orang yang selalu hadir saat Arman berjuang dengan tugas akhir dan selalu menyemangatinya saat masa kuliah dulu. Ia adalah sosok gadis yang sangat dicintai oleh Arman.

Amina menggenggam erat tangan Arman, seolah tidak ingin melepaskannya. Matanya yang bulat bening mulai berkaca-kaca. “Aku tidak ingin pergi meninggalkanmu, tapi aku harus pulang. Ayahku membutuhkanku, Arman.”

Arman mengangguk tanda setuju, dan mencoba tersenyum, walau hatinya terasa berat melepas kepergian Amina. “Aku mengerti Amina, aku tidak akan menahanmu. Keluargamu lebih penting saat ini.”

Arman menarik nafas dalam-dalam, lalu menatapnya dengan penuh ketulusan. “Tidak, ini bukan perpisahan. Aku berjanji, aku akan datang ke kotamu lagi. Entah esok, lusa atau tahun depan, aku akan menepati janji ini. Aku tidak tahu kapan, tapi aku akan datang menjemput cintaku disana.”

Amina menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang hampir pecah. “Jangan berjanji jika dirimu tidak yakin bisa menepatinya, Arman.”

Arman tersenyum kecil, lalu menyentuh pipi Amina dengan lembut.”Aku tidak pernah mengucapkan janji yang tidak bisa kutepati.”

Suara bising pengumuman penerbangan di bandara kota ini, terdengar hingga di segala latar dan lini sudut bandara. Waktunya semakin dekat, dan dengan berat hati, Amina akhirnya melepas genggaman tangannya. 

“Aku akan menunggu.” Itu adalah kata terakhir Amina sebelum ia melangkah kakinya ke depan pintu keberangkatan.

Arman berdiri sendiri di sana cukup lama, melihat bayangan Amina menghilang dibalik kerumunan. Hatinya terasa kosong, tapi ia tahu bahwa cinta sejati tidak selalu berarti harus selalu bersama. Kadang, cinta adalah tentang mempercayai jarak dan waktu, tentang keyakinan bahwa jika memang ditakdirkan, mereka akan bertemu kembali. 

Dengan langkah mantap, Arman meninggalkan bandara, kembali pulang ke desanya, kembali keperjuangannya, membangun sistem irigasi berkelanjutan di desa yang bisa membantu masyarakat di desanya. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, ada janji yang harus ia tepati, ada seseorang di ujung belahan dunia sana yang masih menunggunya.

Dan entah kapan, entah bagaimana pun, ia akan kembali kesana. Karena cinta sejati, meski terpisah jarak dan waktu, selalu menemukan jalannya sendiri.

***

Setelah sekian tahun lamanya bekerja tanpa mengenal lelah, proyek irigasi desa yang digagas oleh Arman akhirnya berhasil. Desa yang dulu irigasinya memiliki debit air yang minim dan sawah mengering karena susah mendapatkan air, kini berubah menjadi lahan pertanian yang subur. Panen padi mulai melimpah, anak-anak bisa tumbuh sehat dan masyarakat tidak lagi merasa terpinggirkan dengan ketidaktersediaan air untuk irigasi sawah. Desa yang dulu tak tersentuh, kini mulai menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Namun, dibalik semua keberhasilan itu, ada satu hal yang masih kosong dalam hidup Arman, Amina.

Warga desa melihat itu, mereka tahu betapa cintanya Arman kepada gadis yang telah menunggunya di kota Paris, Prancis. Mereka yang selama ini melihat Arman berjuang untuk mereka, kini ingin melakukan sesatu yang terbaik untuknya.

Suatu malam, para ketua adat dan penduduk desa berkumpul di rumahnya. Salah satu dari mereka berkata, “Arman, dirimu sudah memberikan segalanya untuk desa ini. Sekarang giliran kami mendukungmu. Pergilah, jemput wanita yang kau cintai. Tidak ada lagi yang harus dirimu buktikan disini.”

Seorang ibu menambahkan, “Kami ingin kau bahagia, Nak. Jangan biarkan penyesalan ada dihidupmu.”

Arman terdiam. Ia tidak pernah menyangka bahwa orang-orang yang ia perjuangkan justru kini mendorongnya untuk mengejar kebahagiaanya sendiri.

Akhirnya, ia mengambil keputusan. Ia akan pergi ke Paris, menemui Amina, dan menggenapi janji yang pernah ia ucapkan di bandara beberapa tahun lalu.

***

Bandara kota yang ramai dengan penumpang yang datang dan tiba silih berganti, kini lebih ramai lagi dipenuhi oleh warga desa yang datang dengan rombongan, beramai-ramai datang tuk melepas kepergian Arman.

Saat Arman bersiap memasuki terminal bandara, seorang anak kecil menarik bajunya. “Kak Arman, kalau sudah menikah, jangan lupa ajak Kak Amina ke sini lagi, ya.”

Semua orang tertawa, sementara Arman hanya tersenyum haru. Ia menatap wajah-wajah yang selama ini telah ia perjuangkan, wajah-wajah yang kini tersenyum bahagia untuknya.

Dengan langkah mantap, Arman berjalan menuju pesawat yang akan membawanya ke kota Paris, Prancis. Jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya sekedar perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan menuju akhir dari sebuah penantian panjang, dan mungkin, awal dari kehidupan baru bersama wanita yang ia cintai.

***

Kota Paris menyambut Arman dengan udara dingin dan langit yang kelabu. Namun, bukan suasana kota yang memenuhi pikirannya, melainkan bayangan Amina. Ia telah berjanji akan datang, menepati kata-katanya, untuk membawa kepastian bagi cinta yang selama ini terpisah oleh jarak dan waktu.

Namun sesampainya disana, kabar buruk menamparnya tanpa peringatan. Amina sedang dirawat di Rumah Sakit, jantungnya berdegup kencang saat mendengar penjelasan dari salah seorang teman Amina, kanker usus stadium lanjut, penyakit yang sudah lama bersarang di tubuhnya, tapi Amina memilih untuk menyembunyikannya, terutama dari Arman. Ia tidak ingin membebani pemuda yang sudah berjuang begitu keras untuk desanya.

Saat itu juga, Arman berlari menuju rumah sakit tempat Amina dirawat. Ia tidak peduli dengan dinginnya udara, yang ia pikirkan hanya satu, apakah ia masih sempat bertemu dengan Amina?

***

Ketika ia sampai di rumah sakit, tubuhnya gemetar. Ia mengatur nafas perlahan, lalu masuk ke dalam kamar tempat Amina dirawat.

Di sana, ia melihat sosok yang selama ini ia rindukan. Amina terbaring lemah, tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat, tapi matanya masih sama, hangat dan penuh kasih.

Saat menyadari kehadiran Arman, air matanya tak kuasa dibendungnya. Amina tidak menyangka bahwa lelaki yang ia cintai benar-benar datang. 

“Kenapa dirimu tidak pernah memberitahuku, Amina?” suara Arman bergetar saat duduk di sampingnya, menggenggam tangan yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Amina tersenyum tipis, matanya lembut meski penuh rasa sakit. “Karena aku ingin dirimu tetap fokus pada perjuanganmu, Arman. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu berhenti. Aku ingin melihatmu berhasil sebelum segalanya terlambat.”

Air mata Arman jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia menggenggam erat tangan Amina, seolah ingin berbagi kekuatan yang selama ini ia miliki kepada Amina.

“Aku disini sekarang, Amina. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku sudah berjanji untuk datang, dan aku menepatinya.”

Amina tersenyum, meski kondisinya semakin melemah. “Aku bahagia kamu datang, Arman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.”

***

Hari demi hari berlalu, sosok Arman selalu menemani Amina di rumah sakit. Bercerita tentang desanya, tentang anak-anak desa yang selalu masih mengingatnya.

Amina mendengarkan semuanya dengan penuh kebahagiaan, meski tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari.

Suatu malam, saat Arman duduk di samping ranjangnya, Amina berbisik, “Jika aku pergi nanti, jangan bersedih terlalu lama, Arman. Hidupmu masih panjang. Aku ingin kamu terus berjuang, untuk orang-orang yang masih membutuhkanmu.”

Arman menunduk, matanya memerah. “Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Amina. Aku rapuh.”

Amina tersenyum lembut. “Aku yakin kamu bisa, Arman. Aku tidak akan pernah benar-benar pergi. Aku akan selalu di hatimu, disetiap langkah hidupmu yang kamu ambil.”

***

Beberapa hari kemudian, Amina menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Arman, dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya.

Arman tidak menangis keras. Ia hanya menggenggam tangan Amina dengan erat, membiarkan air matanya jatuh perlahan. Ia tahu, cinta mereka tidak pernah hilang. Cinta itu tertanam di dalam palung jiwanya yang terdalam. Menjadi bagian dari setiap perjuangan yang akan ia lanjutkan.

Sebelum meninggalkan kota Paris, Arman berdiri di depan makam Amina, membawa setangkai bunga mawar. Dengan suara lirih ia berbisik, “aku tidak pernah menyesal menemuimu. Aku tidak akan melupakanmu, Amina. Cinta ini tetap hidup, disetiap langkah yang aku ambil.”

Lalu Arman kembali pulang ke tanah air, Indonesia, dengan penuh kenangan dan janji yang tak akan pernah pudar. Kembali untuk melanjutkan perjuangannya, dengan cinta Amina yang akan selalu menjadi bagian dari setiap langkahnya.

Jumat, 07 Februari 2025

ANTARA CINTA DAN BAYANG TAKDIR

Di sebuah desa tepatnya di ujung pantai panjang yang tenang, tinggal seorang gadis bernama Inayah. Dia adalah putri tunggal dari keluarga yang sederhana, namun penuh dengan kasih sayang. Ayah dan ibunya mengajarkan Inayah untuk selalu menjaga harga diri, menghormati orang tua, dan menjaga keteraturan serta disiplin dalam hidup. Inayah adalah gadis yang sangat menyayangi orang tuanya. Sosok yang periang, pintar, dan baik hati. Tidak ada yang menyangka, hatinya telah tercuri oleh seorang pemuda bernama Irza.

Irza adalah sosok pemuda biasa, pekerjaannya sebagai buruh serabutan sering membuat hidupnya pas-pasan. Dia memiliki hati yang tulus dan selalu berusaha keras untuk membuat hidupnya lebih baik. Ia jatuh cinta pada Inayah sejak pertama kali mereka bertemu di pasar. Saat itu, Inayah sedang membantu ibunya membeli sayur mayur, dan Irza yang sedang membawa barang dagangannya terjatuh di dekat Inayah, beruntung Inayah dengan sigap membantunya.

"Maafkan saya, Mbak. Saya agak ceroboh," kata Irza dengan malu-malu.

Inayah hanya tersenyum, "Tidak apa-apa. Semoga barang dagangannya tidak rusak ya Mas."

Sejak saat itu, mereka sering berjumpa dan berbicara. Setiap kali mereka bersama, waktu terasa begitu cepat berlalu. Irza merasa nyaman dengan Inayah, dan Inayah pun merasakan hal yang sama. Mereka saling jatuh cinta tanpa menyadari betapa berat tantangan yang akan mereka hadapi kelak dikemudian hari.

***

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Inayah memutuskan untuk memberitahukan hubungannya dengan Irza kepada kedua orang tuanya. Ayah dan ibu Inayah, meski sangat menyayanginya, langsung terlihat cemas. Ayah Inayah, seorang pelaut yang sudah lama berjuang untuk menghidupi keluarganya, tampak terkejut dan tidak senang dengan hubungan itu.

"Inayah, kamu tahu keadaan keluarga kita, kan?" kata Ayah dengan suara yang berat. "Irza itu baik, tetapi dia bukan orang yang bisa memberi masa depan yang layak untukmu. Kita bukan keluarga kaya, tapi setidaknya kita harus menjaga harga diri dan status. Kamu tidak akan menikah dengan orang yang tidak mungkin bisa memberi jaminan kehidupan yang lebih baik untuk masa depanmu."

Ibunya mengangguk, menatap Inayah dengan penuh kekhawatiran akan nasibnya nanti. "Kita tidak ingin melihatmu menderita, Inayah. Kamu berhak mendapatkan yang terbaik wahai anakku."

Inayah merasa hancur mendengar kata-kata yang terucap dari kedua orang tuanya. Cinta yang sudah tumbuh di dalam hatinya terasa semakin sulit untuk dipertahankan. Dia tahu dan menyadari bahwa orang tuanya hanya ingin menerima pasangan hidup yang terbaik untuk masa depannya. Namun, hatinya terus berkata bahwa Irza adalah orang yang tepat untuknya, meskipun tidak memiliki banyak harta yang bisa menjamin masa depannya kelak.

"Maaf, Inayah. Kami tidak bisa merestui hubungan ini," kata Ayahnya dengan suara tegas, yang membuat Inayah merasa dunianya seakan runtuh. Hatinya telah hancur.

Inayah merasa terperangkap. Dia tahu cinta itu tidak bisa dipaksakan. Irza tidak akan bisa mengubah keadaan ekonominya dalam waktu singkat, dan orang tuanya sudah membuat keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, perasaan cintanya pada Irza sangat kuat. Setiap kali mereka bertemu, rasanya dunia mereka hanya milik berdua. Tapi kini, Inayah tahu bahwa cerita cinta mereka harus berakhir oleh ego dari orangtuanya.

***

Suatu malam, Inayah menulis surat untuk Irza. Dia mengungkapkan segala perasaannya, menyatakan bahwa dia tidak bisa melawan keinginan orang tuanya. Meskipun hatinya sakit dan terluka, dia tahu ini adalah keputusan yang paling bijak untuk mereka berdua.

Irza, sang pujaan hatiku…

Aku tahu betapa kita saling mencintai, dan hatiku hancur untuk mengatakannya. Namun, aku harus mendengarkan orang tuaku. Mereka tidak bisa merestui hubungan kita berdua karena perbedaan diantara kita. Aku harus pergi, dan aku ingin kamu tahu bahwa kamu akan selalu ada di dalam hatiku untuk selama-lamanya. Jangan pernah merasa kesepian, karena meski kita terpisah, aku selalu mendoakan kebahagiaanmu.

Irza membaca surat itu dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu, meskipun mereka berpisah, cinta mereka akan tetap ada di dalam hati masing-masing. Dengan berat hati, dia menerima keputusan itu. Mereka berdua tahu, meski perpisahan ini sangat menyakitkan, namun inilah jalan yang terbaik. Berpisah untuk memuliakan hati kedua orangtua Inayah.

Inayah dan Irza berpisah dengan air mata. Mereka tidak pernah saling menghubungi lagi, meskipun masing-masing tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah benar-benar hilang.

***

Tahun demi tahun berlalu, Inayah menikah dengan seorang pria pilihan orang tuanya yang berasal dari keluarga kaya. Hidupnya nyaman, meski hatinya selalu merasa ada kekosongan. Sementara itu, Irza berjuang untuk masa depannya sendiri, tanpa pernah sekalipun melupakan sosok Inayah.

Meski jalan hidup mereka telah berbeda, cinta yang terhalang oleh restu orang tua, tetap menjadi kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan. Cinta mereka tidak pernah benar-benar pergi, sedang hidup harus terus berlanjut, dan takdir mengarahkan mereka untuk menjalani kehidupannya masing-masing, dengan rasa cinta yang tetap terpendam di palung hati yang terdalam.

Waktu terus berjalan, dan kehidupan Inayah serta Irza pun berjalan di jalur yang berbeda. Inayah, meski hidup dalam kenyamanan dan fasilitas yang lebih baik setelah menikah dengan pria pilihan orang tuanya, merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hatinya. Suaminya, meskipun baik dan penuh perhatian, tidak pernah bisa menggantikan perasaan yang dia miliki untuk Irza. Setiap kali melihat hujan turun atau mendengar lagu yang pernah mereka dengarkan bersama, kenangan itu datang menghampiri, membawa rasa rindu yang tak bisa dia ungkapkan.

Irza juga menjalani kehidupannya dengan penuh perjuangan. Meski tak pernah bisa menghapus bayang-bayang Inayah dari hidup dan pikirannya, dia terus bekerja keras, berusaha membangun masa depan yang lebih baik. Dia bekerja sebagai seorang tukang mebel kayu, dan perlahan-lahan, usaha kerasnya mulai membuahkan hasil. Meskipun tidak kaya raya, dia menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya. Namun, di dalam hatinya, Inayah tetap menjadi kenangan yang tak bisa dihapuskan untuk waktu yang lama.

***

Suatu hari, tanpa terduga, jalan hidup mereka kembali bersinggungan. Inayah, yang sedang mengunjungi desa tempat asalnya, mendengar kabar bahwa Irza sedang membuka sebuah toko mebel di dekat pasar. Hatinya berdebar. Dia tak tahu harus bagaimana, namun rasa ingin bertemu kembali dengan Irza begitu kuat.

Dengan langkah hati-hati, Inayah pergi ke toko itu, dan saat pintu toko terbuka, dia melihat sosok Irza yang sedang sibuk mengatur barang dagangannya. Irza menoleh dan terkejut melihat Inayah berdiri di sana, dengan wajah yang tak banyak berubah, meskipun waktu telah membawa perubahan dalam hidup mereka.

"Inayah?" suara Irza terdengar ragu, seolah tidak percaya.

Inayah hanya bisa tersenyum kecil, meski matanya sudah mulai berkaca-kaca. "Irza... lama tidak bertemu."

Irza menatap Inayah dengan penuh tanya. "Kenapa kamu datang ke sini?"

Inayah menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku hanya... ingin melihatmu, Irza. Aku tahu ini mungkin tidak tepat, tetapi ada begitu banyak kenangan yang sulit untuk dilupakan."

Irza menghela napas panjang, kemudian melangkah mendekat. "Inayah, aku selalu mengingatmu. Tapi, kita sudah berbeda jalan. Kamu sudah memiliki hidupmu sendiri sekarang."

Inayah mengangguk, tahu benar apa yang dimaksud Irza. "Aku tahu... aku juga sudah punya keluarga. Aku hanya... ingin bertemu untuk sekali ini saja, untuk merasakan sedikit kebahagiaan yang dulu kita rasakan bersama."

Mereka berbicara panjang lebar, mengenang masa-masa indah yang mereka lewati dulu. Meskipun kesedihan dan penyesalan menyelimuti percakapan mereka, ada sebuah kedamaian yang muncul di dalam hati masing-masing. Mereka menyadari bahwa meskipun hidup membawa mereka pada perpisahan, cinta yang pernah ada tetap akan menjadi bagian dari siapa mereka.

Setelah beberapa lama, Irza memandang Inayah dengan tatapan yang penuh pengertian. "Kita sudah berusaha, Inayah. Tapi hidup harus berjalan. Kamu memilih jalanmu, dan aku memilih jalanku. Kita tidak bisa mengubah masa lalu."

Inayah menitikkan air mata. "Aku tidak bisa mengubahnya, Irza. Tapi aku berterima kasih atas cinta yang pernah kita bagi."

Mereka berpelukan sejenak, seolah ingin mengabadikan kenangan itu dalam pelukan terakhir. Saat mereka berpisah, Inayah merasa ada perasaan yang sangat dalam, bahwa meskipun mereka tak bisa bersama, cinta yang terhalang restu orang tua itu tetap akan menjadi bagian dari dirinya yang tidak pernah akan pudar.

Ketika Inayah meninggalkan toko itu, dia merasa seolah beban yang telah lama dipikul di hatinya sedikit terangkat. Cinta pertama memang selalu meninggalkan kesan yang mendalam, dan meskipun mereka tidak bisa bersama, kenangan itu akan terus menghidupinya dalam bentuk yang lain. Cinta mereka telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang indah, meskipun terhalang oleh banyak hal dan penderitaan.

Inayah kembali pulang ke rumah dengan hati yang lebih damai. Mulai berusaha memaafkan masa lalu, walau mungkin tidak akan pernah bisa mengubahnya, namun berusaha belajar untuk melepaskan, menerima kenyataan, dan melanjutkan hidup. Cinta yang dulu terhalang oleh restu orang tua kini menjadi kisah indah yang mengajarkannya banyak hal tentang arti sebuah pengorbanan, kebahagiaan, dan kedewasaan dalam menerima takdir yang telah Tuhan gariskan dalam hidup.

Minggu, 02 Februari 2025

DI BAWAH LANGIT YANG RETAK

Konflik batin yang masih belum reda. Amarah masih belum hilang. Masalah yang datang dan terus menimpa tiada terperih. Hanya sisakan asa untuk meredam gelombang yang datang menerjang kembali. Aku lepas kendali. Aku limbung.

Masih belum sempat luka ini terobati oleh waktu dan keadaan, engkau hadir kembali. Membawa luka lama untuk kedua kalinya. Hebat nian dirimu, sekejam itu kepadaku. Sebegitu besar rasa sakit hatimu yang masih belum hilang kepadaku. Aku sudah berusaha menjauh dari hidupmu. Tak ada niat untuk kembali hadir dalam hidupmu lagi. Setelah banyak luka yang tak terperih, telah kau sayat dan kau cabik-cabik di dalam hatiku. Aku hancur adindaku. Aku yang dahulu sudah ikhlas melepas kepergianmu. Sebab keputusan dirimu, telah tentukan pilihan pendamping hidupmu sendiri, pilihan itu bukan diriku. Aku pergi dari hidupmu. Untuk selama-lamanya.

***

Setelah sekian purnama silih berganti, menghampiri malam-malamku tanpa dirimu. Hanya seorang diri, harus mampu berjuang sekuat tenaga menjalani hidup ini. Aku tersesat dan hilang arah dalam labirin hatimu, berusaha bangkit untuk mampu menapak dan seolah diberikan kesempatan hidup kedua kalinya di atas muka bumi ini. Setelah kejadian itu, engkau telah memutuskan tuk memilih dirinya wahai adindaku. Sosok pengusaha muda nan sukses, penuh wibawa dan berakhlak mulia menurutmu. Sedang janji yang dulu pernah sama-sama kita ikrarkan di taman itu. Setia sampai ajal menjemput. Kau hancurkan dengan kejamnya egomu. Ego keluarga besarmu.

Harta bagimu adalah segala-galanya. Begitu juga dengan orangtuamu. Mereka memilih jodohmu untuk menikahkan dirimu dengan pengusaha muda berakhlak mulia. Dan kontras dengan diriku dulu. Pria muda yang hidupnya penuh dengan kesengsaraan. Masa depan yang suram. Tak ada harapan untuk bisa menghidupimu dan keluargamu, jika kita menikah saat itu. Begitu penuturan halusnya bahasa penolakan dari kedua orangtuamu. Saat dahulu aku memberanikan diri untuk menyampaikan niatku, niat mulia ingin mempersunting dirimu. Ternyata hanya membawa harapan hampa. Dimana dirimu hanya diam, tanpa ada sikap pembelaan kepadaku. Seolah membenarkan semua perilaku orangtuamu kepadaku. Ruang tamu jadi saksi bisu. Saat mereka, kedua orangtuamu dengan yakinnya mempersilahkan diriku untuk mencari sosok pendamping wanita yang lain. Yang sudi kiranya menerima diriku, sosok durjana yang hidupnya penuh dengan kesengsaraan. Malam itu, aku pulang dari rumahmu, masih ditemani cahaya bulan purnama. Aku pamit mengundurkan diri dari hidupmu wahai adindaku. 

“Ira maafkan aku. Aku undur diri dari hidupmu. Doaku semoga pilihanmu dan orangtuamu adalah pilihan yang terbaik untuk hidupmu nanti.” ucapku dengan nada terbata-bata dan penuh penyelasan yang mendalam.

“Maafkan diriku Bang Alga yang sudah menolak cintamu. Suatu saat nanti dirimu akan mengerti tentang keputusan yang telah kupilih saat ini.“ balas Ira kepadaku dengan nada gelisah dan penuh kesedihan. Entah itu hanya sekedar sandiwara belaka, atau memang realita yang sedang dialami batinnya. Bersedih telah berpisah denganku.

***

Bulan Sya’ban, kalender dalam penanggalan Islam, telah dijalani dan akan segera berakhir pula. Sebentar lagi bulan yang dinanti akan segera tiba. Bulan Ramadhan tepatnya. Bulan penuh rahmat dan ampunan-Nya. Aku rindu bulan itu, ingin setiap siang dan malamnya selalu berusaha menghiasi dengan beribadah kepada Tuhanku, Sang Maha Pemilik Hati dan Hidup. Semoga doa ini dapat dikabulkan oleh Tuhanku.

Sosok seorang mamak nun jauh dikampung halaman, selalu mengingatkanku dengan lembut dan halus bahasa kasih sayangnya kepadaku, bahwasanya bulan Ramadhan akan segera tiba. Dan nasehatnya perbanyak amalan wajib dan sunnah dibulan itu. 

“Harus bergembira menanti datangnya bulan Ramadhan ya bang Al.” suara dari ujung telepon yang doa dan nasehatnya selalu kurindukan setiap malam.

“Iya Mak. Mohon doanya, agar anakmu selalu bahagia menanti bulan Ramadhan yang datang tahun ini Mak.” jawabku dengan nada lirih penuh kerinduan yang mendalam kepadanya, mamak yang dirinya sudah mulai ujur termakan usia, dikampung halaman yang jauh disana dan selalu kurindukan untuk segera pulang menemuinya.

Saat aku berpamitan dahulu, hendak merantau ke Kota Jakarta, setelah kejadian yang menghancurkan hidupku atas pilihan pendamping hidup Ira, memilih calon suaminya yang itu bukan diriku. Perih menimpa diriku, susah dijabarkan dengan kalimat penjelas apapun itu. Sosok Mamak adalah tempatku bersandar, yang saat itu tak rela melepas kepergian anaknya merantau ke negeri jauh. Air mata ikhlas dan pelukan hangatnya saat melepas diriku, masih kuingat sampai saat ini. Aku ingin memberikan disisa hidupnya, kebanggaan atas hidup ini. Yang dulu sudah mereka hinakan kepadaku dan orangtuaku. Aku hancur tak bertepi. Aku hilang arah wahai Tuhanku, Sang Maha Pemilik Siang dan Malam.

***

Sudah seminggu belakangan ini, aku telah bersusah payah, bekerja sampai jauh malam menyusun laporan presentasi ini. 

“Aku takut gagal. Aku takut mengecewakan banyak pihak yang telah terlibat dalam proyek ini.” gumamku dalam hati. Sambil mata ini melirik jam dinding yang serasa begitu cepat meliukkan dentang jarum pendeknya ke angka pukul 02.00 pagi.

Aku selalu berusaha dengan penuh kesungguhan dan kesabaran, untuk kelancaran dan kesuksesan presentasi proyek ini. Setiap malam, sebelum kumulai pengerjaan laporan ini, doa dan munajat selalu ku panjatkan kepada-Nya. Meminta pertolongan semoga diberikan kekuatan pada diriku yang lemah dan tak berdaya ini untuk mampu menyelesaikan tantangan berat yang sedang ku jalani.

Akhirnya malam ini aku telah mampu menyelesaikan seluruh laporan presentasi proyek yang besok pagi akan kusampaikan dikantorku. Tamu undangan yang hadir, mereka para pemilik modal yang akan berinvestasi diproyek tender perumahan yang sedang kami tawarkan sebelumnya. Persiapan dan pengumuman tender melalui undangan langsung telah disampaikan ke masing-masing pihak investor. Pelaksanaan proyek perumahan yang saat ini sedang dirintis bersama dengan tim akan memulai alur cerita hidup bisnis ini, semoga terlaksana dan bisa berjalan dengan sukses kedepannya. Doa yang tak kunjung lelah, yang senantiasa selalu ku panjatkan kepada Tuhanku, Sang Maha Pemilik Langit dan Bumi.

***

Berlinang air mata ini. Telah banyak ku korbankan segalanya, waktu, tenaga dan pikiran. Sampai ditahap ini, aku masih tidak percaya. Perlahan tapi pasti, proyek perumahan yang ku rintis dengan tim mulai membuahkan hasilnya. Para pemilik modal mulai berani mempercayakan uangnya kepada perusahaan kami. Dan aku selalu berusaha meyakinkan diriku. Untuk bisa sukses dan mulai berani melihat masa depan, yang dahulu tak akan mungkin bisa kuraih, walau hanya dalam mimpi sekalipun. Hinaan dan cacian yang mereka lontarkan kepadaku, selalu datang dan hadir menghantui hidupku, yang sekarang perlahan mulai sirna. Hingga kebahagian itu akan datang dengan sendirinya.

“Pagi Pak Al, ada tamu yang mau jumpa dengan Bapak. Sudah menunggu lama di ruangan kerja Bapak sejak jam 8 pagi.” ucap salah satu staf Asisten Marketing kepadaku melalui panggilan telepon.

Setelah turun dari mobil, aku langsung menuju ruang kerjaku. Hingga tergesa-gesa menghampirinya, semoga beliau tidak kecewa menungguku yang terlalu lama sampai dikantor pagi ini. Sebab janji ini begitu penting. Aku hampir menggagalkan proyek ini. Beliau adalah Pak Aritonang, salah satu penanam modal di perusahaan kami. Sosok pengusaha sukses, aku telah banyak belajar kepadanya. Dan telah berhutang budi kepada beliau, besarnya kebaikan yang telah diberikan kepadaku. Tak mampu aku membalasnya. 

Pinjaman modal yang jumlahnya begitu besar sampai diangka milyaran, telah dipercayakannya kepada perusahaan kami. Tanpa pernah takut akan rugi yang dialaminya nanti, apabila proyek yang dijalankan tidak berhasil atau gagal. Kami tahu, perusahaan ini masih mulai merintis dan masih belum banyak pengalaman untuk menjalankan bisnis dibidang properti ini.

“Mohon maaf Pak telah menunggu lama. Jalan menuju kantor macet Pak.” ucapku memulai pembicaraan kami berdua dengan nada lirih menunjukkan penyesalan. Sambil berjabat tangan. Dan menawarkan minuman teh pahit tanpa gula kegemarannya, kalau sedang berkunjung ke kantorku. 

Panjang lebar telah ku sampaikan maksud dan tujuan proyek ini, hingga mampu meyakinkan beliau. Bahwasanya mega proyek perumahan ini akan dibangun tahun depan dan butuh investor atau penanam modal yang besar pula, dengan konsep keuntungan atau bagi hasil yang sangat menjanjikan telah kusampaikan kepadanya. Semoga bisa terlaksana dengan sukses dan kelak nantinya punya kisah perjuangannya sendiri. Waktu yang akan berikan jawaban itu nantinya.

“Baiklah Pak Alga, perusahaan kami akan senang dan bangga, jika diizinkan untuk ikut bergabung dengan mega proyek ini nantinya. Kami akan memberikan investasi berupa pendanaan yang besar kepada proyek ini.” ucap Pak Aritonang dengan nanda meyakinkan kepadaku, sambil menyeruput teh pahit kegemarannya.

“Terima kasih Pak. Perusahaan kami akan berusaha memberikan hasil dan keuntungan yang terbaik bagi para investor atau penanam modal yang telah mempercayakan investasinya kepada perusahaan kami.” jawabku dengan nada yang tegas kepada Pak Aritonang, sosok pengusaha sukses yang sikapnya sederhana dan bersahaja dimataku.

***

Gambar profile pesan yang sampai di handphoneku, serasa tidak asing. Pernah ada dan hadir dalam hidupku dulu. Sebuah pesan singkat di WA handphoneku. Meminta bantuanku. Aku baca perlahan pesan tulisannya. Sosok itu memintaku untuk membantu hidupnya dan keluarganya. Wanita itu tak lain adalah Ira, sosok perempuan yang dulu telah mencampakkan diriku. Setelah puluhan tahun berlalu, masa lalu yang begitu pahit menimpaku, telah ku simpan rapat-rapat. Berharap jangan datang kembali dihidupku, ternyata Ira datang memohon belas kasihanku. Seakan dunia ini masih belum sepenuhnya ikhlas melepas ketersiksaan batin dan hidupku.

“Aku masih belum kuat untuk menerima kehadiranmu kembali dihidupku Ira. Aku sudah menemukan kebahagian hidupku disini, dengan jerih payah yang telah ku bangun sampai dititik ini. Aku terlalu mencintaimu, sampai sekarang rasa itu masih ada. Kenapa engkau hadir kembali, masih belum lelah dirimu menyiksa batin dan hidupku.” gumamku dalam hati, seraya mengutuk diriku yang masih menyisakan rasa cinta yang begitu mendalam kepadanya.

“Maafkan kesalahanku yang dulu wahai lelaki yang pernah singgah dihatiku. Aku tidak bermaksud mengganggu hidupmu lagi. Aku berharap dirimu telah berusaha memaafkan kesalahanku dimasa lalu. Aku saat ini bermohon belas kasihanmu. Bisnis keluargaku telah hancur. Harta benda kami telah tergadaikan semuanya. Orangtuaku terlilit hutang. Semoga dirimu sudi kiranya memberikan bantuan kepadaku. Dan orang tuaku yang dahulu telah membuatmu sengsara, sudikah dirimu memberikan maaf kepada mereka berdua.” Lama kubaca pesan yang ditulis Ira kenomor WA pribadiku, yang permohonannya sulit dan tak mungkin dapat ku tolak. Aku hilang kewarasan. Terbesit dipikiranku ingin membalaskan dendam rasa sakit hati ini yang tak terperihkan dulu. Aku lemah dan tak berdaya.

***

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Aku memutuskan pulang, untuk menemui Mamak di kampung halaman. Telah lama rasa rindu ini ku pendam. Menjelang sehari sebelum Ramdhan tiba, aku telah sampai di kampung halaman, tanpa sepengatuan Mamak pastinya, aku tiba disini. Dikampung ini untuk waktu yang lama telah ku ikhlaskan rindu ini, untuk tak berjumpa dengan suasana itu, suasana lampu jalanan nan redup dikala menjelang senja hari, masjid tua yang kurindukan sholat berjamaah di dalamnya dan rumah masa kecilku yang telah direnovasi dan tidak menghilangkan nilai kenangan dibangunannya.

Kepulanganku kali ini, ada kisah cerita cinta masa lalu yang belum selesai dan harus diputuskan akhir ceritanya. Berpisah atau lanjut, kisah cinta antara aku dan Ira.

Malam Ramadhan pertama telah tiba. Udara sore terasa sejuk. Lampu-lampu jalan nan redup mulai menghiasi senja. Suasana sakral malam bulan suci ini, seolah menjadi saksi bisu pertemuan terakhir kami berdua. 

Setelah seharian aku merenung, akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan Ira. Kami duduk di taman yang tenang, jauh dari keramaian, tempat kami dahulu berdua menghabiskan waktu bersama. Kali ini suasana terasa begitu berbeda, aku sudah mempersiapkan diri untuk mampu berbicara jujur kepadanya.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini. Aku sudah memikirkan semuanya Ira.” ujarku memulai pembicaraan dengan suara tenang namun tegas.

“Hati ini masih mencintaimu, itu tidak dapat ku pungkiri. Tapi rasa cinta ini belum cukup untuk menyembuhkan luka yang telah lama kau tinggalkan.” sambung ku lagi kepada Ira dengan nada lembut nan menghanyutkan.

Ira menatap ku dengan harap, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku juga tidak menyangka. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk kita berbicara, di bulan yang penuh ampunan ini. Aku tahu, aku telah menyakitimu. Aku menyesal. Aku benar-benar berubah. Aku tidak lagi mencari harta benda atau kekayaan. Aku hanya ingin kembali kepadamu, kepada cinta kita yang sejati Bang Al.” balas Ira kepadaku, setelah sebelumnya Ira menyampaikan kepadaku bahwasanya dirinya telah lama berpisah dengan mantan suaminya yang dahulu. 

Aku menghela napas. Lalu dengan perlahan berucap kepada Ira kembali.

“Aku percaya kamu sudah berubah. Tapi aku juga telah berubah Ira. Saat ini, aku masih belum bisa melupakan kejadian itu, bagaimana dirimu bisa meninggalkan diriku dulu, memilih orang lain hanya karena dia lebih berada dan berkecukupan secara materi dibandingkan dengan diriku. Itu menyakiti hatiku, lebih dari yang bisa kamu rasakan dan bayangkan.”

Ira menunduk, air matanya mulai jatuh perlahan membasahi pipinya.  

“Aku tahu aku salah, aku benar-benar menyesal, maafkan aku yang tidak mungkin mampu tuk mengubah masa lalu kita. Tapi aku berjanji akan merubah dan memperbaiki semuanya dimasa ini dan masa depan kita berdua nanti.”

Aku tersenyum simpul, tanpa terasa air mata ini pun menetes dipipiku.

“Aku menghargai kejujuranmu. Tapi kali ini, aku harus memilih diriku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dengan keadaan yang sama, dan terluka lagi seperti yang dulu. Aku sudah memafkan dirimu jauh sebelumnya. Semoga dirimu menemukan kedamaian dan kebahagiaan dihidupmu yang sekarang. Kita berpisah dengan ikhlas, tanpa dendam dan saling mendoakan di Ramdhan ini dengan doa yang terbaik untuk hidup masing-masing. Mungkin ini cara Tuhan mengajarkan kita untuk ikhlas.”

Ira mengangguk tanda isyarat setuju. Sambil sesekali menyeka air mata yang membasahi pipinya. Lalu menyampaikan kalimat penutupnya kepadaku.

“Aku tahu ini sudah keputusanmu Bang Al. Aku berharap dirimu bisa menemukan kebahagian yang sejati, walau tanpa diriku lagi dihidupmu nanti. Mungkin sudah waktunya kita melangkan ke depan, dengan tujuan hidup kita masing-masing.”

Sebelum pertemuan ini berakhir dengan tiada lagi penyelasan diantara kami berdua. Aku selalu berdoa dan berharap yang terbaik buat Ira dan keluarganya. Aku telah memenuhi seluruh kebutuhan materi yang kemarin sempat Ira sampaikan kepadaku. Seluruh hutang piutang kedua orang tuanya telah kulunasi, tanpa sedikit pun menyimpan rasa amarah dan dendam kepada kedua orang tuanya. Aku telah ikhlas dengan keputusan ini. Keputusan yang terbaik untuk kami berdua. Berpisah untuk selama-lamanya. Aku telah melepas senja di Ramadhan pertama ini dengan perasaan lega dan meski ada sedikit rasa sedih dalam diriku.

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...