Minggu, 16 Februari 2025

CINTAKU TERTINGGAL DI KOTA PARIS

Hari itu, di bandara kota, Arman berdiri di depan pintu keberangkatan, menatap Amina yang bersiap untuk pulang ke kotanya, Kota Paris, Prancis. Ia tahu bahwa perpisahan ini tidak bisa untuk dihindari. Kabar tentang ayah Amina yang sedang sakit membuatnya mengerti bahwa gadis itu harus kembali ke kotanya. Keluarga besarnya sedang membutuhkannya saat ini.


Amina, sosok gadis Uzbekistan, seorang mahasiswi teknik sipil yang Arman kenal saat bekerja sama dalam proyek lingkungan di kampusnya dulu, Kota Paris. Amina adalah orang yang selalu hadir saat Arman berjuang dengan tugas akhir dan selalu menyemangatinya saat masa kuliah dulu. Ia adalah sosok gadis yang sangat dicintai oleh Arman.

Amina menggenggam erat tangan Arman, seolah tidak ingin melepaskannya. Matanya yang bulat bening mulai berkaca-kaca. “Aku tidak ingin pergi meninggalkanmu, tapi aku harus pulang. Ayahku membutuhkanku, Arman.”

Arman mengangguk tanda setuju, dan mencoba tersenyum, walau hatinya terasa berat melepas kepergian Amina. “Aku mengerti Amina, aku tidak akan menahanmu. Keluargamu lebih penting saat ini.”

Arman menarik nafas dalam-dalam, lalu menatapnya dengan penuh ketulusan. “Tidak, ini bukan perpisahan. Aku berjanji, aku akan datang ke kotamu lagi. Entah esok, lusa atau tahun depan, aku akan menepati janji ini. Aku tidak tahu kapan, tapi aku akan datang menjemput cintaku disana.”

Amina menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang hampir pecah. “Jangan berjanji jika dirimu tidak yakin bisa menepatinya, Arman.”

Arman tersenyum kecil, lalu menyentuh pipi Amina dengan lembut.”Aku tidak pernah mengucapkan janji yang tidak bisa kutepati.”

Suara bising pengumuman penerbangan di bandara kota ini, terdengar hingga di segala latar dan lini sudut bandara. Waktunya semakin dekat, dan dengan berat hati, Amina akhirnya melepas genggaman tangannya. 

“Aku akan menunggu.” Itu adalah kata terakhir Amina sebelum ia melangkah kakinya ke depan pintu keberangkatan.

Arman berdiri sendiri di sana cukup lama, melihat bayangan Amina menghilang dibalik kerumunan. Hatinya terasa kosong, tapi ia tahu bahwa cinta sejati tidak selalu berarti harus selalu bersama. Kadang, cinta adalah tentang mempercayai jarak dan waktu, tentang keyakinan bahwa jika memang ditakdirkan, mereka akan bertemu kembali. 

Dengan langkah mantap, Arman meninggalkan bandara, kembali pulang ke desanya, kembali keperjuangannya, membangun sistem irigasi berkelanjutan di desa yang bisa membantu masyarakat di desanya. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, ada janji yang harus ia tepati, ada seseorang di ujung belahan dunia sana yang masih menunggunya.

Dan entah kapan, entah bagaimana pun, ia akan kembali kesana. Karena cinta sejati, meski terpisah jarak dan waktu, selalu menemukan jalannya sendiri.

***

Setelah sekian tahun lamanya bekerja tanpa mengenal lelah, proyek irigasi desa yang digagas oleh Arman akhirnya berhasil. Desa yang dulu irigasinya memiliki debit air yang minim dan sawah mengering karena susah mendapatkan air, kini berubah menjadi lahan pertanian yang subur. Panen padi mulai melimpah, anak-anak bisa tumbuh sehat dan masyarakat tidak lagi merasa terpinggirkan dengan ketidaktersediaan air untuk irigasi sawah. Desa yang dulu tak tersentuh, kini mulai menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Namun, dibalik semua keberhasilan itu, ada satu hal yang masih kosong dalam hidup Arman, Amina.

Warga desa melihat itu, mereka tahu betapa cintanya Arman kepada gadis yang telah menunggunya di kota Paris, Prancis. Mereka yang selama ini melihat Arman berjuang untuk mereka, kini ingin melakukan sesatu yang terbaik untuknya.

Suatu malam, para ketua adat dan penduduk desa berkumpul di rumahnya. Salah satu dari mereka berkata, “Arman, dirimu sudah memberikan segalanya untuk desa ini. Sekarang giliran kami mendukungmu. Pergilah, jemput wanita yang kau cintai. Tidak ada lagi yang harus dirimu buktikan disini.”

Seorang ibu menambahkan, “Kami ingin kau bahagia, Nak. Jangan biarkan penyesalan ada dihidupmu.”

Arman terdiam. Ia tidak pernah menyangka bahwa orang-orang yang ia perjuangkan justru kini mendorongnya untuk mengejar kebahagiaanya sendiri.

Akhirnya, ia mengambil keputusan. Ia akan pergi ke Paris, menemui Amina, dan menggenapi janji yang pernah ia ucapkan di bandara beberapa tahun lalu.

***

Bandara kota yang ramai dengan penumpang yang datang dan tiba silih berganti, kini lebih ramai lagi dipenuhi oleh warga desa yang datang dengan rombongan, beramai-ramai datang tuk melepas kepergian Arman.

Saat Arman bersiap memasuki terminal bandara, seorang anak kecil menarik bajunya. “Kak Arman, kalau sudah menikah, jangan lupa ajak Kak Amina ke sini lagi, ya.”

Semua orang tertawa, sementara Arman hanya tersenyum haru. Ia menatap wajah-wajah yang selama ini telah ia perjuangkan, wajah-wajah yang kini tersenyum bahagia untuknya.

Dengan langkah mantap, Arman berjalan menuju pesawat yang akan membawanya ke kota Paris, Prancis. Jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya sekedar perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan menuju akhir dari sebuah penantian panjang, dan mungkin, awal dari kehidupan baru bersama wanita yang ia cintai.

***

Kota Paris menyambut Arman dengan udara dingin dan langit yang kelabu. Namun, bukan suasana kota yang memenuhi pikirannya, melainkan bayangan Amina. Ia telah berjanji akan datang, menepati kata-katanya, untuk membawa kepastian bagi cinta yang selama ini terpisah oleh jarak dan waktu.

Namun sesampainya disana, kabar buruk menamparnya tanpa peringatan. Amina sedang dirawat di Rumah Sakit, jantungnya berdegup kencang saat mendengar penjelasan dari salah seorang teman Amina, kanker usus stadium lanjut, penyakit yang sudah lama bersarang di tubuhnya, tapi Amina memilih untuk menyembunyikannya, terutama dari Arman. Ia tidak ingin membebani pemuda yang sudah berjuang begitu keras untuk desanya.

Saat itu juga, Arman berlari menuju rumah sakit tempat Amina dirawat. Ia tidak peduli dengan dinginnya udara, yang ia pikirkan hanya satu, apakah ia masih sempat bertemu dengan Amina?

***

Ketika ia sampai di rumah sakit, tubuhnya gemetar. Ia mengatur nafas perlahan, lalu masuk ke dalam kamar tempat Amina dirawat.

Di sana, ia melihat sosok yang selama ini ia rindukan. Amina terbaring lemah, tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat, tapi matanya masih sama, hangat dan penuh kasih.

Saat menyadari kehadiran Arman, air matanya tak kuasa dibendungnya. Amina tidak menyangka bahwa lelaki yang ia cintai benar-benar datang. 

“Kenapa dirimu tidak pernah memberitahuku, Amina?” suara Arman bergetar saat duduk di sampingnya, menggenggam tangan yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Amina tersenyum tipis, matanya lembut meski penuh rasa sakit. “Karena aku ingin dirimu tetap fokus pada perjuanganmu, Arman. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu berhenti. Aku ingin melihatmu berhasil sebelum segalanya terlambat.”

Air mata Arman jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia menggenggam erat tangan Amina, seolah ingin berbagi kekuatan yang selama ini ia miliki kepada Amina.

“Aku disini sekarang, Amina. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku sudah berjanji untuk datang, dan aku menepatinya.”

Amina tersenyum, meski kondisinya semakin melemah. “Aku bahagia kamu datang, Arman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.”

***

Hari demi hari berlalu, sosok Arman selalu menemani Amina di rumah sakit. Bercerita tentang desanya, tentang anak-anak desa yang selalu masih mengingatnya.

Amina mendengarkan semuanya dengan penuh kebahagiaan, meski tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari.

Suatu malam, saat Arman duduk di samping ranjangnya, Amina berbisik, “Jika aku pergi nanti, jangan bersedih terlalu lama, Arman. Hidupmu masih panjang. Aku ingin kamu terus berjuang, untuk orang-orang yang masih membutuhkanmu.”

Arman menunduk, matanya memerah. “Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Amina. Aku rapuh.”

Amina tersenyum lembut. “Aku yakin kamu bisa, Arman. Aku tidak akan pernah benar-benar pergi. Aku akan selalu di hatimu, disetiap langkah hidupmu yang kamu ambil.”

***

Beberapa hari kemudian, Amina menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Arman, dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya.

Arman tidak menangis keras. Ia hanya menggenggam tangan Amina dengan erat, membiarkan air matanya jatuh perlahan. Ia tahu, cinta mereka tidak pernah hilang. Cinta itu tertanam di dalam palung jiwanya yang terdalam. Menjadi bagian dari setiap perjuangan yang akan ia lanjutkan.

Sebelum meninggalkan kota Paris, Arman berdiri di depan makam Amina, membawa setangkai bunga mawar. Dengan suara lirih ia berbisik, “aku tidak pernah menyesal menemuimu. Aku tidak akan melupakanmu, Amina. Cinta ini tetap hidup, disetiap langkah yang aku ambil.”

Lalu Arman kembali pulang ke tanah air, Indonesia, dengan penuh kenangan dan janji yang tak akan pernah pudar. Kembali untuk melanjutkan perjuangannya, dengan cinta Amina yang akan selalu menjadi bagian dari setiap langkahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...