Tetesan embun pagi membasahi dedaunan. Perlahan sang fajar mulai menampakkan dirinya. Dan berusaha membelai lembut dengan cahayanya kepada setiap mahluk.
Hari ini aku berjanji. Untuk menemani isteri dan anak-anakku menikmati liburan ke pantai. Mereka telah libur sekolah. Memasuki minggu kedua tepatnya. Bahkan sudah seminggu ini, mereka merengek manja kepadaku. Meminta ditemani liburan ke pantai. Bersama kedua orang tuanya.
Untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, aku terpaksa menunda kembali janji ini. Sebab atasanku memberitahukan rapat dadakan pada malam hari tadi. Mengevaluasi kinerja bulanan kantor tepatnya.
“Ayo bangun semuanya. Kita kan mau liburan ke pantai.” Ucap isteriku dengan terus mengusap badanku yang belum juga terbangun. Masih terlelap tidur. Sedang isteriku telah lebih dulu bangun.
“Sudah jam berapa?” Tanyaku pada Sita, isteri pujaan hatiku. Yang sampai saat ini cinta dan sayangku masih belum sedikitpun luntur dan pudar kepadanya. Walau kami telah dikarunia dua orang putra, yang sulung bernama Yusuf dan yang bungsu bernama Ismail.
“Jam 06.00 pagi Mas. Kenapa? Ditunda lagi ya liburannya.” Balas isteriku kembali sambil tersenyum menghadapi kejadian ini.
Ternyata isteriku telah faham maksud pertanyaanku mengenai jam tadi. Aku tak bisa mengelak lagi. Tapi dengan begitu, tak usah bingung-bingung menjelaskan kepada isteriku lagi. Biar dia yang memberitahukan masalah ini pada anak-anak.
***
Suasana meja makan terasa sedikit berbeda. Sangat berbeda sekali. Yusuf dan Ismail yang biasanya bersuara gemuruh ketika makan. Tiba-tiba mendadak hening. Seolah-olah telah sepakat. Tak ada dari mereka berdua yang ingin bersuara, walau hanya bersenda gurau saja.
“Papa ndak boongkan, janji ya minggu depan kita liburan ke pantai.” tanya Ismail, anak bungsuku yang masih berusia empat tahun, dengan nada bicaranya yang sedikit cadel. Memulai diskusi kami berempat dimeja makan. Aku menggangguk tanda setuju atas kesepakatan yang dibuat mereka terlebih dahulu. Isteriku, Sita kembali tersenyum. Mungkin anakku, Yusuf dan Ismail telah diberitahu oleh Mamanya, kalau jadwal Sabtu ini belum bisa untuk liburan bersama kedua orangtuanya.
“Iya Papa InsyAlloh akan menepati janji. Papa dan Mama pasti bawa liburan Yusuf dan Ismail. Jadi Yusuf dan Mail harus patuh ya pada orang tua.” Ucap isteriku berusaha meyakinkan mereka berdua, Ismail dan Yusuf. Dan tersenyum menatap ke arah wajahku.
Sementara Yusuf, anak sulungku lebih memilih diam dan menyantap makanan yang ada dipiringnya. Seolah seperti ingin memaklumi kondisi papanya.
Hatiku masih resah. Setiap kali berjanji. Jarang untuk ditepati. Aku takut, ini kan berpengaruh terhadap perilaku mereka. Dan merasuk dibenak mereka masing-masing. Kalau papanya tak pernah bisa menepati janji-janjinya.
Tapi aku sedikit lega. Ketika isteriku berhasil membujuk dan meyakinkan pada anak-anak. Kalau minggu depan akan terpenuhi permintaan mereka. Apalagi kalau bukan berlibur, tapi tempatnya masih aku rahasiakan. Berniat ingin memberi kejutan nantinya.
Aku bangga pada isteriku. Setiap saat selalu bersabar dengan segala pola tingkah lakuku. Kadang diriku membosankan, kadang ingin diperlakukan layaknya seperti anak-anakku, dan kadang rela bersusah payah karena diriku. Tapi ia tetap masih tersenyum kepadaku.
***
Aku ingat ketika dahulu, tapi aku sudah lupa tanggalnya. Tapi tahunnya aku masih ingat. Tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat masa pacaran dahulu. Hubungan kami sangat bersahaja. Penuh keindahan dan lantunan kemesraan. Saling berjanji untuk setia selamanya.
Tapi kedua orang tuanya sangat menentang hubungan kami berdua.
Mereka beralasan, kalau Sita tak pantas bersanding denganku. Pandangan mereka sinis kepada kehidupanku. Secara ekonomi, aku memang tergolong kaum marginal. Dan keluarga Sita adalah orang yang serba berkecukupan. Rumah mewah. Mobil merk ternama. Dan masing-masing dari anaknya mendapatkan jatah mobil satu persatu, termasuk juga Sita.
Sita adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya telah menikah. Dan sekarang tinggal diluar kota. Ikut dengan suaminya masing-masing. Ternyata mereka juga sevisi dengan orang tuanya, ikut serta tak merestui hubungan kami berdua. Hati Sita pun sedih. Tak ada lagi tempat bernaung baginya. Seolah seisi keluarga telah memusuhi dan membencinya.
Tak ada kata pembelaan dibenaknya. Hanya keyakinan yang kuat untuk tetap tulus mencintaiku dengan segenap hati dan jiwanya. Tidak pudar dengan gejolak batinnya yang sedang didera oleh nestapa.
Ternyata orang tuanya tak tinggal diam. Untuk menjauhkan hubungan kami berdua. Orang tuanya berniat melanjutkan sekolahnya ke Malaysia. Untuk memperdalam ilmu apotekernya. Sita tak kuasa melawan kehendak kuat dari orang tuanya. Akhirnya, ia pun mengiyakan perintah mereka tanpa menghiraukan perasaannya sendiri.
Suatu malam, surat dari Sita kubaca. Setelah Andi, teman satu kontrakanku, memberikannya padaku. Tulisan tangan yang indah, tapi tak seindah melodi isinya. Aku merenungi dalam-dalam isi dari setiap untaian kalimat suratnya dan terakhir kalimat penutup, salam perpisahan tepatnya.
Aku hirup nafas dalam-dalam. Kugenggam erat tanganku. Berjanji, untuk ikhlas menerima semua kenyataan ini. Aku yakin ini yang terbaik untuk kami berdua. Dan juga untuk keluarga kami. Sejak malam itu, aku dan Sita tak pernah bertemu lagi. Segala kenangan yang indah bersamanya telah ku hapus. Dan kususut perlahan-lahan didalam imajinasi khayalku. Aku tahu ini sakit, tapi aku harus ikhlas berpisah untuk kebahagianmu dan orang tuamu. Untuk selamanya.
***
Tanpa terasa hari pun berlalu begitu cepat. Dan akhir pekan yang dinanti telah tiba.
“Akhirnya semua pekerjaan dikantor telah selesai semua.” gumamku dalam hati.
Tiket pesawat untu empat orang telah aku pesan. Sengaja aku merahasiakannya. Aku pun tak sabar ingin pulang kerumah secepatnya. Berlibur sekalian menepati janji pada mereka, anak-anak dan isteriku.
Aku menelepon kerumah. Ingin memberi kabar pada Sita segera mungkin. Lama nada tunggu diponselku berdering. Belum ada yang mau mengangkat teleponku dirumah. Aku pun menelepon balik kembali, berharap ada yang segera mengangkat teleponku. Kegelisahan hatiku mulai menyeruak. Entah apa gerangan yang sedang terjadi.
“Dimana isteriku? Ada apa dengan mereka?” terbesit dipikiranku. Tapi kuacuhkan, berharap baik-baik saja.
Pandanganku teralihkan, berita di stasiun televisi swasta sore ini terdengar serasa meresahkan jiwaku. Mataku tertuju pada berita disisi sebelah bawah yang menari-nari ingin segera kubaca. Terpampang tulisan yang meremukkan dadaku. Terjadi kebakaran dikompleks perumahan Megah Sentosa. Dua buah rumah hangus terbakar. Termasuk didalamnya rumahku. Yang lebih membuatku hilang arah. Korban jiwanya berjumlah empat orang. Mayatnya berusaha diidentifikasi secepatnya oleh pihak rumah sakit.
“Siapakah korban itu? Mungkinkah mereka keluargaku? Oh tidak mungkin!”
***
Aku tertunduk lemah. Seluruh tubuhku runtuh tak berdaya. Aku hilang akal. Aku linglung. Melihat rumahku hangus terbakar. Digilas oleh sipemangsa merah. Api melahap rumah kami dan rumah tetangga dengan cepat. Pihak pemadam kebakaran sudah berusaha. Dengan berbagai cara menyelamatkan para korban jiwa. Aku menjerit kuat. Meraung sejadi-jadinya. Warga kompleks memeluk erat tubuhku. Mereka ikut membopong tubuhku yang tak berdaya. Dan perlahan menenangkan diriku. Memberi minum walau seteguk, agar lelahku bisa sedikit terobati.
Ternyata tubuh korban telah dievakuasi ke Rumah Sakit Islam Insani, rumah sakit terdekat diperbatasan kompleks perumahan kami. Untuk segera dilakukan otopsi kepada para korban jiwa. Tak kuasa menahan sebah didadaku. Air mata ini mengalir deras membasahi pipi. Aku belum ikhlas. Aku belum menepati janjiku pada mereka. Isak tangisku memecah keheningan malam. Banyak orang bersimpati dan terus berusaha menenangkan diriku. Tapi aku tak peduli. Sama sekali tak memperdulikannya.
Letih telah menggelayut tubuhku. Aku terlelap tidur berdampingan dengan rumahku yang hangus terbakar. Aku masih disini dan tak mau dievakuasi kerumah tetangga terdekat, walau mereka terus menawarkan bantuan kebaikan untuk sementara tinggal dirumah mereka. Aku menolaknya.
***
Malam tak bergeming. Diam seribu bahasa. Belum menandakan perubahan yang berarti. Masih sama seperti dulu. Secara tak sengaja, lamunanku dibuyarkan oleh tetesan air hujan. Yang mulai berlomba-lomba turun membasahi bumi. Gerimis telah datang.
“Mereka belum tiba juga.” Gumamku dalam hati kembali.
Setelah hampir setengah jam aku menunggu teman-teman kantorku. Baiklah aku akan menelepon mereka. Untuk mnginformasikan tentang pertemuan ini. Ternyata belum sempat aku menelepon, dentingan suara pesan diponselku memanggilku agar segera dibaca.
Isinya pasti sudah bisa ditebak. Pasti pertemuan ini dibatalkan lagi. Memang benar begitu adanya.
Aku tak mau ambil pusing. Segera aku bergegas pulang meninggalkan kafe tempat kami ingin berjumpa tadi. Setelah sebelumnya, beberapa lembar uang lima puluh ribuan aku berikan pada pelayan.
Jam berdendang ke angka sembilan malam. Malam yang sedang gerimis perlahan mulai terang kembali. Setelah hujan reda. Aku pun tancap gas. Segera pulang ke rumah. Mata ini sudah lelah. Serasa ingin kupejamkan, walau sejenak saja. Sejurus kemudian, Suara ponselku menjerit kembali. Bunyi alarm tepatnya. Aku melupakan sesuatu lagi.
Kulirik isi tulisan dari alarm ponselku. “Jangan lupa beli obat untuk ibu.” aku tersentak kaget, aku hampir melupakan amanah dari ibu, sosok yang cinta dan kasihnya tak kan pernah pudar sepanjang masa kepadaku.
Aku pun diburu oleh sang waktu. Segera cepat kuarahkan mobil ini menuju apotek terdekat. Membeli obat untuk ibu. Hampir saja terlupakan. Padahal sejak sore tadi, aku telah diwanti-wanti oleh ibu untuk belikan obatnya setelah pulang dari kantor.
“Jangan lupa belikan obat untukku ya Ji. Pak Kosim masih sakit. Belum bisa disuruh ke apotek untuk beli obatku” begitu ucapnya padaku. Pak Kosim, supir pribadiku yang sejak kehilangan isterinya dikampung dan hidupnya sebatang kara, tidak ada anak. Dan kuanggap seperti abangku sendiri, tidak mau lagi untuk pulang ke kampung halamannya. Dan tinggal bersamaku di Jakarta.
Diujung perempatan jalan. Aku melihat ada apotek yang masih buka. Secepatnya aku menuju apotek itu. Lama aku memarkirkan mobil. Alasannya tempat parkir yang relatif sempit.
Aku pun masuk ke apotek itu. Langsung menanyakan obat yang kumaksud pada apotekernya. Lama kumenunggu, tapi mereka tak menemukan keberadaan obat yang kumaksud. Ternyata stok obatnya kosong. Akhirnya, aku mendapat anjuran. Mencari obat itu dialamat apotek yang mereka berikan.
Mereka beralasan bahwa obat itu tak dijual bebas.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa pikir panjang lagi. Aku langsung menuju alamat apotek yang dimaksud. Biasanya untuk membeli obat ini. Ibu yang langsung pergi bersama Pak Kosim, supir pribadiku. Baru kali ini aku kebagian jatah disuruh ibu untuk membeli obatnya. Sebab kondisi ibuku masih labil. Kelelahan, baru tiba dari Kota Medan. Tempat kampung halaman kami. Begitu juga Pak Kosim, supir pribadiku yang masih belum sembuh dari sakit demamnya.
Sesampai ditempat yang dianjurkan oleh petugas apotek tadi. Aku langsung memasuki ruangan yang lumayan luas, untuk ukuran sebuah apotek. Aku langsung menyerahkan resep obat pada apotekernya. Obat yang kupesan tak jua kunjung datang. Lama kududuk menanti di bangku panjang ruang tunggu apotek ini. Sendiri ditengah kebisingan lalu lintas diluar sana. Gerimis mulai tak menyapa lagi. Berhenti perlahan-lahan.
“Maaf Pak sudah menunggu lama. Ini obat yang Bapak minta.” Ucap sang apoteker wanita dengan nada mengusik masa laluku. Masih tersenyum menatapku.
Sejenak aku terhanyut. Mimpi-mimpi masa lalu terulang kembali. Sepasang insan saling beradu pandang. Tak berkedip barang sedetikpun. Lekat termakan oleh sang primadona malam. Mengharu biru. Sungguh malam yang panjang untuk sang pemabuk jalanan. Dan serasa malam yang pendek untuk insan yang termabuk asmara.
----- Selesai ----
Semarang, 15 Februari 2009.