Minggu, 19 Januari 2025

DI AMBANG USIA 40 TAHUN: REFLEKSI DAN HIKMAH

Usia sering dikaitkan dengan puncak kedewasaan, dimana seseorang memiliki pemahaman yang lebih matang tentang kehidupan, tanggung jawab dan spiritualitas. Allah SWT telah menyebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an tentang kedewasaan seseorang pada usia 40 tahun (QS. Al-Ahqaf: 15), tetapi di usia 38-39 tahun dianggap sebagai persiapan menuju puncak kedewasaan, kematangan akal dan fase kehidupan yang penuh tanggung jawab secara spiritual.

“…….Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, “ Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhai….” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Usia ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi apa yang telah dicapai dalam kehidupan dunia dan bagaimana persiapan untuk menuju akhirat. Fokus pada konsistensi dalam ibadah wajib dan sunnah, mendidik anak dengan nilai-nilai Islam, menjadi panutan yang baik dalam keluarga dan masyarakat serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW telah menerima wahyu pertamanya pada usia 40 tahun. Dan usia 38-39 tahun adalah waktu yang sangat dekat dengan usia ini, sehingga bisa menjadi momen untuk lebih meneladani akhlak dan perjuangan beliau. Sadarilah bahwa usia ini adalah waktu untuk meninggalkan dosa dan kesalahan yang telah diperbuat dimasa lalu.

Pada usia ini adalah momen refleksi mendalam dan transformasi diri serta titik balik untuk menjadi lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Ada rasa syukur atas pelajaran hidup yang telah diperoleh, baik dari kesuksesan maupun kegagalan. Dan di usia ini banyak orang telah berada di puncak peran sebagai orang tua, suami/ isteri atau sebagai pemimpin didalam keluarga. Islam telah mengajarkan tanggung jawab besar terhadap keluarga, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)

Dalam filsafat timur, khususnya Konfusianisme, usia 40 tahun dianggap sebagai tahap dimana seseorang telah mencapai kematangan moral dan stabilitas dalam mengelola emosional. Dan dalam filsafat Taoisme, usia 40 tahun telah dianggap sebagai waktu untuk memulai menyelaraskan diri dengan alam semesta dan memahami kebijaksanaan dalam kesederhanaan hidup. Selanjutnya dalam Psikologi Analitik Carl Gustav Jung (1875-1961M), seorang psikolog dan psikiater berkebangsaan Swiss, yang berfokus pada perjalanan menuju kebijaksanaan, menekankan pada usia 40 tahun disebut sebagai momen penting dalam individuation yaitu proses mencapai keutuhan diri. Dimana seseorang mulai menerima semua aspek dirinya (baik sisi terang dan gelap) dan mencari makna yang lebih tentang kehidupan.

Filsuf seperti Marcus Aurelius (121-180M), seorang kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 161-180M, dihormati tidak hanya kebijaksanaannya dalam memimpin tetapi juga karena ajaran filosofinya yang mendalam, tercatat dalam karya besarnya yang terkenal yaitu Meditations (sebuah catatan pribadinya yang ditulis pada masa pemerintahannya) dan Seneca (4SM-65M), seorang filsuf Romawi, yang keduanya mengajarkan faham Stoisisme, sebuah aliran filsafat Yunani-Romawi yang menitikberatkan pada kebajikan, pengendalian diri dan hidup selaras dengan alam, bahwa usia 40 tahun adalah masa untuk mendorong refleksi diri dan diharapkan mampu fokus pada apa yang bisa dikontrol, mengembangkan kebajikan dan mampu melepaskan pada peristiwa keterikatan dan keinginan duniawi yang tidak penting.

Pertanyaan eksistensial seperti “Apa arti hidup saya?” atau “Apakah saya hidup sesuai dengan nilai-nilai saya?” sering muncul, mendorong pencarian makna yang lebih mendalam. Filsuf seperti Soren Kierkegaard (1813-1855M) lahir di Kopenhagen, Denmark, salah satu ungkapannya yang terkenal yaitu “Kebenaran adalah subjektivitas” dan Jean–Paul Sartre (1905-1980M), lahir di Paris, Prancis dimana ungkapannya yang terkenal adalah “Manusia dikutuk untuk bebas” telah mendorong kita untuk terus bertanya, merenung dan menemukan jawaban yang autentik bagi diri kita sendiri. Dalam fase ini menitikberatkan pada pentingnya harmonisasi antara pengalaman hidup, nilai-nilai moral dan tujuan akhir manusia.

Dalam berbagai tulisannya, Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981M), seorang ulama, sastrawan dan pemikir besar bangsa Indonesia, memiliki pandangan yang mendalam tentang usia, waktu dan kehidupan. Beliau selalu menghubungkan usia dengan tanggung jawab, refleksi diri, dan hubungan manusia dengan Allah SWT. Sebab usia adalah amanah dari Allah SWT yang harus dipergunakan untuk kebaikan dan bertanggung jawab atas manfaat waktu yang telah diperbuatnya.

Pada kesimpulannya, pengalaman hidup memberikan hikmah tentang pentingnya kesabaran, kedewasaan dalam pengambilan keputusan dan nilai-nilai kebahagiaan sejati lainnya. Sebab semakin bertambah usia diri, selayaknya seseorang harus semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalani hidup yang lebih bermakna yaitu hidup yang digunakan untuk memberi manfaat kepada orang lain, sebagai jalan untuk menuju kebahagian dunia dan akhirat.

Jumat, 17 Januari 2025

PERADABAN ISLAM DAN LITERASI ILMU PENGETAHUAN

Peradaban Islam memiliki sejarah panjang dan kaya dalam hal literasi, yang memainkan peran penting dalam perkembangan agama, seni dan budaya. Literasi dalam perdaban Islam tidak hanya merujuk pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kegiatan intelektual, penerjemahan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Beberapa aspek-aspek penting antara lain:

1.     Al-Qur’an sebagai Pendorong Literasi

Al-Qur’an memiliki peran yang sangat besar sebagai pendorong utama literasi dalam peradaban Islam. Islam menempatkan literasi sebagai bagian integral dari ajaran agama. Sejak wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW di Gua Hira adalah perintah untuk “membaca” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Perintah ini menjadi langkah awal sebagai inspirasi utama untuk membaca, menulis dan mempelajari serta memahami ilmu baik wahyu dari Tuhan maupun ilmu duniawi.

Selanjutnya selain membaca, Al-Qur’an juga mendorong ummat Islam untuk menulis. Dalam (QS. Al-Baqarah: 282), ummat Islam diperintahkan untuk mencatat perjanjian atau transaksi guna menjaga keadilan dan kejelasan. Tradisi menulis ini berkembang menjadi dokumentasi ilmu pengetahuan di bidang hukum, seni dan budaya serta bidang lainnya dalam masyarakat Islam.

 

2.     Pusat-Pusat Keilmuan

Masjid sebagai pusat ibadah dan pembelajaran, berkembang menjadi tempat literasi, dimana Al-Qur’an diajarkan bersama ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Baitul Hikmah di Kota Baghdad, Irak (abad ke-8 sampai dengan ke-13) adalah pusat penerjemahan dan penelitian terbesar pada masanya di dunia Islam, dimana karya-karya ilmiah dari berbagai budaya (Yunani, Persia, Romawi dan India) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Universitas-universitas Islam seperti Al-Qarawiyyin di Maroko (didirikan pada tahun 859 M), dianggap sebagai universitas tertua di dunia dan Al-Azhar di Mesir (didirikan sekitar tahun 970 M), telah menjadi pusat pembelajaran yang mendorong perkembangan literasi, ilmu pengetahuan agama dan umum. Pusat-pusat keilmuan Islam lainnya, seperti Kota Nishapur sebagai pusat ilmu teologi dan filsafat dan Kota Rayy sebagai pusat ilmu astronomi dan ilmu kedokteran di daerah Persia (Iran) dan begitu juga daerah-daerah Islam lainnya (Kota Sammara dan Mosul di Irak sebagai pusat studi ilmu eksak dan seni, Kota Samarkand dan Bukhara di Asia Tengah sebagai pusat ilmu matematika dan seni kaligrafi), mencerminkan bagaimana ummat Islam mejadi pusat pembelajaran ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Peradaban ini memiliki peran penting dalam mentransfer pengetahuan ke dunia Barat dan melahirkan banyak intelektual dan cendekiawan besar yang kemudian mempengaruhi kebangkitan Eropa.

 

3.     Pengembangan Sistem Penulisan dan Kertas

Peradaban Islam memiliki peran besar dalam pengembangan sistem penulisan dan penggunaan kertas yang menjadi faktor penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan, seni dan administrasi serta pendidikan. Teknologi pembuatan kertas pertama kali ditemukan di Tiongkok pada abad ke-2 Masehi. Ummat Islam mempelajari, mengadopsi dan memperbaiki teknologi pembuatan kertas tersebut dari Tiongkok pada abad ke-8 Masehi dengan penggunaan bahan dari kapas, linen dan serat kayu serta mengembangkan teknik pemutihan dan penghalusan kertas menjadikannya lebih berkualitas. Ummat Islam pada masa itu, mampu mengembangkan pena dengan ujung khusus untuk tulisan halus dan tinta yang tahan lama, meningkatkan efisiensi tulisan. Lalu menyebarkan teknologi ini ke Eropa melalui Andalusia (Spanyol), sehingga mampu menciptakan dampak global yang signifikan. Keberhasilan ini menunjukkan bagaimanan peradaban Islam mampu mengintegrasikan inovasi asing dan mengembangkannya untuk kemajuan ummat manusia.

Kota Samarkand (Asia Tengah/ Uzbekistan) menjadi pusat produksi kertas pertama di dunia Islam. Kemudian menyebar ke Baghdad, Damaskus, Kairo hingga ke Andalusia (Spanyol). Penulisan dengan aksara Arab berkembang pesat karena peran Al-Qur’an. Kaligrafi menjadi seni utama dalam menghiasi manuskrip dan masjid-masjid. Pembuatan buku dan penulisan manuskrip dalam jumlah besar, mendorong penyebaran ilmu pengetahuan menjadi berkembang pesat. Karya-karya dari Yunani, Persia, Romawi dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab lalu disalin dan disebarluaskan menggunakan kertas.


4.     Pengharapan terhadap Ilmu Pengetahuan

Dalam peradaban Islam, membaca dan menulis adalah sebagai ibadah. Sehingga mendorong ummat Islam untuk menjadi ummat yang berpengetahuan, berinovasi dan menjadi pemimpin dunia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu bukan sekedar teori tetapi harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan ummat manusia, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Literasi Islam telah banyak melahirkan cendekiawan Muslim yang berkontribusi besar dengan menuliskan karya-karya terbaik dan terhebat di bidang filsafat, kedokteran, matematika dan astronomi. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Al-Khawarizmi menjadi simbol keunggulan intelektual Islam. Dengan mengembangkan ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, literasi diharapkan menjadi jalan menuju peradaban yang adil, sejahtera dan penuh hikmah.

 

5.     Perpustakaan dan Arsip Ilmu Pengetahuan

Peradaban Islam memainkan peranan yang besar dalam tradisi ilmu pengetahuan, salah satunya membangun perpustakaan dan arsip yang besar sebagai tempat pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

Dasar arsip pertama dalam Islam adalah saat Khalifah Utsman bin Affan membuat standarisasi dan pengumpulan Al-Qur’an guna mencegah perbedaan bacaan, tradisi ini berkembang untuk menyimpan berbagai tulisan tentang hadits, tafsir, hukum dan ilmu lainnya.

 Perpustakaan Cordoba di Andalusia (Spanyol) abad ke-8 hingga ke-13 yang menjadi pusat literasi di Eropa dan menjadi salah satu kota dengan perpustakaan terbesar di dunia pada masanya. Perpustakaan ini menjadi penghubung ilmu pengetahuan Islam ke dunia Barat. Perpustakaan ini tidak hanya menyimpan karya-karya Islam tetapi juga melestarikan literatur klasik dari Yunani, Persia, Romawi dan India. Perpustakaan Dar Al-Hikmah di Kairo Mesir, didirikan pada masa Khalifah Al-Hakim bi-Amrillah (Dinasti Fatimiyah), perpustakaan ini sebagai pusat pembelajaran dan riset terutama dalam bidang teologi syiah dan ilmu lainnya.

Dengan tradisi mencatat, menerjemahkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, ummat Islam telah berhasil melestarikan dan mengembangkan ilmu yang menjadi warisan bagi seluruh dunia.

 

6.     Peran Wanita dalam Literasi

Dalam Islam, ilmu pengetahuan tidak boleh terbatas pada golongan tertentu. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Wanita dalam Islam telah memiliki kontribusi yang penting dalam perkembangan literasi dan ilmu pengetahuan Islam, sejak zaman Rasulullah SAW hingga masa peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Wanita tidak hanya sebagai pembelajar, tetapi juga sebagai pendidik utama dalam keluarga dan masyarakat. Peran mereka mencakup pendidikan, pengajaran, penulisan dan pelestarian ilmu pengetahuan.

Khadijah binti Khuwailid, isteri Rasulullah SAW, sebagai wanita cerdas yang mendukung penyebaran wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Aisyah binti Abu Bakar, isteri Rasulullah SAW, adalah sebagai tokoh penting dalam perawi hadits. Sosoknya telah meriwayatkan ribuan hadits dan menjadi rujukan utama bagi sahabat serta generasi setelahnya. Selain itu, Ia ahli dalam ilmu tafsir, fiqih dan sejarah Islam. Hafshah binti Umar, telah menyimpan mushaf Al-Qur’an pertama setelah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Khalifar Umar.

 

7.     Penyebaran Literasi ke Dunia Barat

Selama abad ke-12, literatur Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh cendekiawan di Andalusia, yang menjadi jembatan literasi antara dunia Islam dan Barat. Ilmu pengetahuan dari dunia Islam memperangaruhi kebangkitan literasi dan intelektual pada zaman Renaisans di Eropa.

Kesimpulan

Peradaban Islam memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan literasi dunia. Dengan memadukan keimanan dan ilmu pengetahuan, ummat Islam menciptakan peradaban yang menghargai literasi sebagai kunci kemajuan manusia. Literasi menjadi alat untuk memahami wahyu Tuhan, mendorong inovasi ilmiah dan menyebarkan kebijaksanaan ke seluruh dunia kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam yang gemilang.

Senin, 13 Januari 2025

LITERASI DAN PERANNYA DALAM KEMAJUAN MASYARAKAT

  Secara etimologis bahasa, istilah literasi berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi sangat berhubungan dengan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, defenisi literasi selalu berevolusi menurut tantangan zamannya masing-masing. Jika dahulu defenisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Untuk saat ini, defenisi literasi sudah digunakan dalam arti yang lebih luas dan kompleks. Mulai mencakup pada permasalahan dibidang ekonomi, sosial dan politik serta dibidang lainnya.

Defenisi baru dari literasi memunculkan paradigma baru pula untuk memaknai praktik kultural yang berkaitan dengan literasi dan pembelajarannya. Sebab kini, ungkapan untuk memaknai literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi sains, literasi komputer, literasi ekonomi, literasi sekolah, literasi media dan lain sebagainya. 

Pada hakikatnya, fundamentalis berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis terdiri dari lima komponen antara lain: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasi teks. Secara keseluruhan semuanya merujuk pada kemampuan yang tidak sekedar kompetensi membaca dan menulis. 

    Menurut Elizabeth Sulzby (1986), Literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi (membaca, berbicara, menyimak dan menulis) dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya.

        Selanjutnya menurut Harvey J. Graff (2006), Literasi adalah suatu komponen kemampuan dalam diri seseorang untuk menulis dan membaca.

Menurut UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), Literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana keterampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya.

        Dan menurut NIL (National Institute for Literacy), defenisi Literasi adalah komponen individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Dalam pengertian literasi diatas, pada dasarnya istilah literasi tersebut tetap merujuk pada kemampuan dasar seseorang dalam membaca dan menulis. Jenis literasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  1. Literasi Dasar maksudnya adalah kemampuan dasar dalam membaca, menulis dan mendengarkan serta berhitung. Tujuan literasi dasar adalah mampu mengoptimalkan kemampuan seseorang dalam membaca, menulis dan berkomunikasi serta berhitung.
  2. Literasi Perpustakaan maksudnya adalah kemampuan dalam memahami dan membedakan karya tulis berbentuk fiksi dan non-fiksi, memahami cara menggunakan katalog dan indeks serta mampu memahami informasi ketika membuat suatu karya tulis dan penelitian ilmiah.
  3. Literasi Media maksudnya adalah kemampuan dalam memahami dan mengetahui berbagai bentuk media (media elektronik dan media cetak) dan memahami cara pengaplikasian atau penggunaan setiap media tersebut.
  4. Literasi Teknologi maksudnya adalah kemampuan dalam mengetahui dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan teknologi yaitu perangkat hardware dan softwarenya, mengerti cara penggunaan internet dan memahami etika dalam menggunakan teknologi. dan
  5. Literasi Visual maksudnya adalah pemahaman yang lebih pada kemampuan seseorang dalam menginterpretasi dan memberi makna dari suatu informasi yang berbentuk gambar atau visual. Literasi visual hadir dari kegelisahan pemikiran bahwa suatu gambar bisa “dibaca” dan artinya dapat dikomunikasikan dari proses membaca.

Pada perkembangannya, ada empat prinsip penting dalam literasi untuk kemajuan dunia pendidikan di Indonesia yaitu pertama Literasi Bersifat Berimbang, maksudnya adalah setiap siswa mempunyai pemahaman dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain untuk berliterasi. Maka sudah seyogyanya, setiap sekolah atau lembaga pendidikan formal dan non-formal mengaplikasikan prinsip ini dengan strategi yang sesuai dengan visi dan misi lembaga pendidikannya masing-masing. Prinsip kedua adalah Literasi Bahasa Lisan, maksudnya adalah setiap siswa harus mampu berdiskusi terhadap suatu informasi yang tersedia. Mampu berdiskusi terbuka yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang terjadi, dengan begitu setiap siswa diharapkan mampu menyampaikan pendapatnya dan melatih kemampuan kognitif berpikir secara kritis. Prinsip ketiga adalah Literasi Berkelanjutan pada Kurikulum Pendidikan, maksudnya adalah pelaksanaan program literasi dapat diaplikasikan pada setiap siswa dan tidak bergantung pada kurikulum tertentu. Kegiatan berliterasi adalah kewajiban bagi setiap pendidik baik pendidik formal maupun non-formal untuk mampu disampaikan kepada siswanya secara berkelanjutan. Dan terakhir yang keempat adalah Literasi Keberagaman, maksudnya literasi dapat dihargai dan dirayakan pada setiap lembaga pendidikan baik formal dan non-formal. Sebab dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam dan harus dilestarikan, maka setiap lembaga pendidikan harus menyediakan berbagai buku bertema kekayaan budaya bangsa Indonesia, bertujuan agar setiap siswa mampu mengenal dan menghargai budaya bangsa dan ikut serta berkontribusi melestarikannya.

Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas, bahwasanya semakin meningkatnya kemampuan seseorang dalam memberikan penilaian kritis terhadap suatu informasi literasi yang melibatkan kemampuan kognitif dan kemampuan pengetahuan kultural lainnya yang ada pada dirinya, maka dapat pula menumbuhkan budi pekerti yang baik dalam diri seseorang. Sebab nilai-nilai kepribadian seseorang dapat tumbuh baik, berkaitan dengan pengaruh kualitas literasi bahasa lisan dan tulisan yang bermanfaat yang tumbuh dan berkembang secara luas ditengah-tengah masyarakat secara berkelanjutan.

Minggu, 12 Januari 2025

PARADOKS

Gerimis tipis mulai reda. Langit yang hitam pekat dan tidak bersahabat, mulai menampakkan keceriaannya. Sang awan berkejar-kejaran. Membuka cakrawala langit biru.

“Belakangan ini cuaca sukar ditebak. Kadang bersahabat, malahan kadang ingin berdebat.” Gumamku dalam relung hati.

Hari ini aku cuti. Kemarin surat izin cutiku telah kutitipkan pada teman kantor. Sebab keluarga Bang Ari akan datang berkunjung. Kemarin sore ia telah mengabari kedatangannya. Ini kesempatan langka. Sudah lama keluarga mereka tak pernah berkunjung lagi ke tempatku, padahal kami dikota yang sama walau jaraknya memang cukup berjauhan.

Hampir dua tahun lamanya, mereka belum pernah datang kekontrakanku. Aku rindu dengan bidadari kecilnya, anak semata wayang dari Bang Ari. Manja dan jenaka. Tawa kecilnya membuatku terkagum dengan syahdu parasnya. Lesung pipinya serasa menambah kelengkapan manis diwajahnya.

***

Dari kejauhan terlihat sosok bidadari kecil itu, berlari kecil nan lincah. Parasnya sudah tak asing lagi. Wajahnya oval. Rambutnya ikal. Matanya yang bulat serta bulu matanya nan lentik menyempurnakan keindahan paras wajahnya. Tersenyum kecil ke arahku, lalu melompat dengan sigapnya. Ia langsung memelukku. Kupeluk tubuhnya, meluapkan kerinduan yang sangat lama dalam dekapanku. Menyapaku dengan ramah dan syahdu suaranya.

“Tulang Am, Anis datang berkunjung.” Ucap gadis kecil itu lugu kepadaku.

Siapa lagi kalau bukan keluarga Bang Ari datang ke kontrakanku. Tak ketinggalan bidadari kecilnya yang sangat menggemaskan. Tak terasa air mata ini menetes perlahan. Dan dengan secepat kilat aku menyekanya dari pinggir mataku. Aku bahagia mereka datang.

Tapi kali ini ada yang berbeda. Terlihat dari raut wajah Bang Ari yang kusam. Ia terlihat menyimpan banyak masalah. Tapi sungkan untuk ku utarakan tanya ini kepadanya.

“Apa kabar Bang Ari?” Tanyaku dengan nada ramah kepadanya. Kemudian mempersilahkan mereka masuk.

“Alhamdulillah, baik-baik saja kok.” Jawabnya dengan langkah yang gontai, berjalan pelan menelusuri ruang tamu. Lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa.

***

Jam tua di samping meja belajarku berdentang sebanyak sepuluh kali lamanya. Berarti sang pagi mulai ingin melepas kehangatannya. Berganti dengan sang siang, walau enggan menyapa dengan lembut akan hangat sinarnya.

Setelah Bang Ari duduk di sofa ruang tamu, seketika itu pula sang bidadari kecil berhamburan mendekatiku kembali. Kupeluk erat tubuh keponakanku. Ia berceloteh manja dan penuh jenaka padaku. Sampai matanya yang berbinar indah tak mampu lagi dilawannya. Ia tertidur pulas dalam pangkuanku.

Suara serak Bang Ari memecah kebisuan kami sedari tadi.

“Gimana Kabarmu Am. Sudah lama kami tidak datang ke kontrakanmu. Mohon maaf ya.”

Belum sempat aku membalas tanya dari Bang Ari, sejurus kemudian Bang Ari lanjut cerita. Bercerita tentang musibah yang sedang menimpa keluarganya dan belum siap untuk dihadapinya seorang diri.

“Bagini Am, keluarga kami lagi tertimpa musibah.”

Dugaanku benar, sebab Kak Yayuk, Kakak kandungku tidak ikut datang bersama mereka. Hanya berdua saja datang pagi ini ke kontrakanku.

“Ada apa dengan keluarga mereka.” Gumamku dalam hati.

Bidadari kecil yang sedang dipangkuanku tiba-tiba mengigau. Memanggil-manggil ibunya. Aku pun terhenyuh dengan peristiwa ini. Dan sejenak memutuskan pembicaraan kami berdua. Setelah sang bidadari kecil ku gendong dan kubobokkan kembali dengan lembut. Ia pun tertidur pulas kembali dipangkuanku.

Setelah panjang lebar diceritakan oleh Bang Ari. Membuat hatiku menjadi sedih. Ternyata, Kak Yayuk mengalami musibah. Masih terbaring sakit di Rumah Sakit. Sudah tiga hari ia belum sadarkan diri. Ia jadi korban tabrak lari. Ketika sedang berbelanja di pasar. Bukan itu saja, Bang Ari juga mendapatkan musibah ditempat kerjanya. Ia ikut terkena PHK oleh kantornya. Dengan alasan kondisi perusahaannya mengalami kerugian dan sudah dinyatakan pailit oleh putusan dari Pengadilan Niaga Semarang. Mobil silver milik mereka telah ikut andil menyelamatkan perekonomian keluarganya. Dijual ke tetangga mereka. Untuk membiayai pengobatan Kak Yayuk. Dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Aku iba mendengar beritanya. Miris hatiku. Aku mengutuk orang yang tidak bertanggung jawab itu. Yang menyebabkan kemalangan pada Kak Yayuk. Tapi kenapa berita duka ini, Bang Ari tidak mengabari aku secepatnya. Apakah lupa kepadaku. Semoga dugaanku salah. Mungkin kemarin masih panik atas musibah yang sedang menimpa keluarganya.

Setelah lama kami berbincang-bincang. Bang Ari berpamitan pulang. Ia akan berangkat besok ke Negeri seberang. Malaysia tepatnya. Bekerja disana. Dan kedatangannya kali ini, bermaksud menitipkan bidadari kecilnya. Serta bermohon untuk menjaga Isterinya, tak lain adalah kakakku sendiri. Yang sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Dia berjanji. Seluruh kebutuhan hidup keluarganya, pengobatan isterinya dan biaya sekolah putri semata wayangnya akan dikirim setelah nanti dia sampai dan mendapatkan pekerjaan disana.

Sejujurnya, aku tidak terlalu mengharapkan uang yang nanti diberikan oleh Bang Ari. Semasa kuliah dahulu, seluruh biaya kuliahku mereka yang telah bersusah payah membantuku. Aku masih berhutang budi pada keluarga mereka. Maka, sudah seyogyanya aku harus membantu dan membalas kebaikan mereka. Selama masih ada waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadaku. Tak kuasa aku menolak amanah ini. Aku pun mengiyakannya.

***

Aku mulai kerepotan mengurusi bidadari kecil ini. Tingkah lakunya memaksaku bekerja lebih keras lagi. Manja dan jenaka. Tiap jam lima pagi, setelah aku menunaikan ibadah sholat subuh. Ia pun terbangun. Menangis sejadi-jadinya. Memanggil ayah dan ibunya. Pelan-pelan kubujuk dan ku ninabobokkan hingga ia terlelap lagi dalam tidurnya. Aku pun membicarakan ini dengan ibuku, memohon untuk tinggal bersamaku. Turut serta menjaga cucunya, anak dari Kak Yayuk. Ibu pun merasa bertanggung jawab untuk ikut membantuku menjaga anak Kak Yayuk.

Sore harinya, bidadari kecil minta dimandikan oleh Opungnya dengan air hangat. Dan tiap minggu aku berusaha datang menjenguk Kak Yayuk. Tak lupa mengajak bidadari kecilnya. Melihat kondisi ibunya. Semuanya aku jalankan dengan ikhlas. Tanpa ada beban dan paksaan.

“Tulang Am, Papa anis kemana? Kok sudah lama tidak pernah datang kerumah Tulang.” Tanya anak itu padaku dengan polosnya.

Aku pun terhenyuh. Diam tak mampu berbicara. Sedang aku tak sanggup tuk berbohong padanya. Dan tak mungkin pula harus jujur, sebab dia belum tentu mampu dan faham mencerna masalah keluarganya. Mungkin dua atau tiga tahun lagi. Baru tepat waktunya untuk disampaikan kepadanya.

“Papa Anis lagi kerja. Cari uang buat beli susu untuk Anis dan besok juga akan datang ke rumah Tulang.” balasku dengan nada lirih pada Anis. Walau aku tau itu hanya sekedar janji manis. Entah kapan akan bisa terwujud.

Minggu depan aku akan mengajaknya kembali. Menjenguk ibunya yang lagi terbaring sakit di rumah sakit. Sehingga dapat mengobati kerinduan kepada ibunya.

***

Malam bertukar menjadi siang. Dan hari pun berganti menjadi bulan. Hampir setahun sudah Bang Ari meninggalkan keluarganya. Tanpa ada kabar berita yang datang kepada kami.

Alhamdulillah kondisi kak yayuk sudah mulai pulih, walau belum sepenuhnya sehat. Masih duduk dikursi roda. Dan butuh masa untuk kembali berjalan seperti sedia kala. Semua biaya perobatan aku yang menanggungnya. Seminggu lagi hari pertama Anis masuk sekolah Paud. Aku tak khawatir dengan jumlah nominalnya. Bahkan selama setahun ini, kebutuhan dan keperluan keluarga Bang Ari dan Kak Yayuk telah aku tanggungjawabi semuanya.

Sampai saat ini, yang masih jadi beban pikiranku adalah kabar dari bang Ari, bagaimana keadaannya saat ini? Itu yang belum terjawab sampai detik ini.

Kak Yayuk sesekali menyeka air matanya. Jatuh membasahi pipinya. Tak kuasa menahan kesedihan dan kerinduan yang mendalam atas kondisi suaminya. Yang sampai saat ini, entah dimana keberadaannya.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Sejauh ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Seluruh informasi telah aku kirimkan ke media-media yang ada di Kedutaan. Bertukar informasi dengan pihak travel penyelenggara TKI yang ke Malaysia. Dan sudah puluhan surat ku layangkan ke Kedutaan Besar Malaysia yang ada di Indonesia. Menanyakan perihal kabar kehilangan. Tapi semuanya nihil. Aku tegaskan sekali lagi. Tidak ada manfaatnya.

***

Dering telepon rumah berdentang keras. Aku pun tergopoh-gopoh berusaha mengangkat telepon. Berlari kecil dari ruang dapur. Setelah kuangkat, tak ada suara diujung sana. Kututup saja teleponnya kembali.

Berdering kembali. Aku mengurungkan niat untuk mengangkatnya. Karena sejenak kemudian, Kak Yayuk yang mengambil alih tugasku.

***

Sejak peristiwa telepon itu. Keadaan dan kondisi Kak Yayuk perlahan mulai berubah. Tak ada lagi kesedihan yang tersimpan diwajahnya. Ia telah berubah 180 derajat. Apa yang telah terjadi? Entahlah hanya dia dan Tuhan yang tahu. Setiap kali aku bertanya. Dia tak mau jawab. Diam seribu bahasa. Aku pun tak ingin memaksanya untuk berterus terang tentang apa yang sedang dialaminya. Tapi dengan perubahan hidupnya. Aku turut bahagia. Dan tak mau ambil pusing.

Tapi rasa penasaranku belum hilang. Aku masih mengisyaratkan tanya tentang peristiwa telepon kemarin. Suara siapa gerangan yang hadir diujung sana. Aku masih ingin mencari tau.

Tak berselang lama, malam harinya aku memeriksa seluruh nomor telepon yang masuk. Dengan sabar semua nomor telepon aku urutkan kembali dengan teliti satu demi satu. Dari mana dan siapa yang telah menghubungi kenomor telepon ini. Dan akhirnya aku tersenyum simpul. Aku sudah tahu jawabannya. Siapa gerangan yang ada diujung sana. Semoga dugaanku tidak salah.

***

“Bu, aku berangkat kerja. Kemungkinan malam hari nanti aku baru pulang dari kantor.” Ucapku sambil berpamitan dan memeluknya dengan erat. Seolah tak ingin berpisah dengannya barang sedetikpun. Sebab doanya masih aku harapkan untuk kebahagiaanku dan kakakku dirumah ini. Ia pun mengikhlaskan aku tuk berangkat kerja ke kantor. Firasatku sejak pagi tadi masih ada yang belum selesai dengan diriku. Tapi entah apa gerangan. Aku pun belum tau jawabannya apa. Dan aku tidak mau ambil pusing. Aku ikhlas menjalaninya.

***

Malam yang ditunggu telah datang. Sosok yang dinanti belum jua tiba. Makanan sudah terhidang di atas meja makan. Nasi mulai dingin. Ibu, Kak Yayuk dan Bidadari kecilnya sudah terlelap tidur di sofa ruang tamu. Terlalu lelah menanti kehadiran seseorang.

Dan malam telah berpamitan. Sang fajar pun mulai menyapa. Hukum alam kembali. Sebelum sampai ke rumah. Ternyata, diriku mengalami kecelakaan. Tubuhku terhempas keras ke aspal. Berguling tanpa arah. Darah mengalir deras dari kepalaku. Tanpa sadarkan diri. Aku hilang arah. Mataku berkunang-kunang. Hembusan nafasku mulai tak beraturan lagi. Aku melayang ke tempat tanpa batas. Setelah motor yang kukendarai ditabrak mobil silver dari belakang. Kemudian melaju cepat menjauhi diriku. Aku lenyap dari muka bumi ini.

***

Sang bidadari kecil berjalan kecil penuh jenaka dan manja. Dengan kedua tangannya dikepal oleh masing-masing kedua orang tuanya. Terasa hangat dan bersahabat. Berjalan pulang meninggalkan tanah pusara. Gerimis hujan pun turun dengan syahdunya. Membelai dan membasahi dedaunan ditanah pusara.

----- Selesai ----

Semarang, 08 Februari 2009.

Kamis, 09 Januari 2025

MASIH TERSENYUM

Tetesan embun pagi membasahi dedaunan. Perlahan sang fajar mulai menampakkan dirinya. Dan berusaha membelai lembut dengan cahayanya kepada setiap mahluk.


Hari ini aku berjanji. Untuk menemani isteri dan anak-anakku menikmati liburan ke pantai. Mereka telah libur sekolah. Memasuki minggu kedua tepatnya. Bahkan sudah seminggu ini, mereka merengek manja kepadaku. Meminta ditemani liburan ke pantai. Bersama kedua orang tuanya.

Untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, aku terpaksa menunda kembali janji ini. Sebab atasanku memberitahukan rapat dadakan pada malam hari tadi. Mengevaluasi kinerja bulanan kantor tepatnya.

“Ayo bangun semuanya. Kita kan mau liburan ke pantai.” Ucap isteriku dengan terus mengusap badanku yang belum juga terbangun. Masih terlelap tidur. Sedang isteriku telah lebih dulu bangun.

“Sudah jam berapa?” Tanyaku pada Sita, isteri pujaan hatiku. Yang sampai saat ini cinta dan sayangku masih belum sedikitpun luntur dan pudar kepadanya. Walau kami telah dikarunia dua orang putra, yang sulung bernama Yusuf dan yang bungsu bernama Ismail.

“Jam 06.00 pagi Mas. Kenapa? Ditunda lagi ya liburannya.” Balas isteriku kembali sambil tersenyum menghadapi kejadian ini.

Ternyata isteriku telah faham maksud pertanyaanku mengenai jam tadi. Aku tak bisa mengelak lagi. Tapi dengan begitu, tak usah bingung-bingung menjelaskan kepada isteriku lagi. Biar dia yang memberitahukan masalah ini pada anak-anak.

***

Suasana meja makan terasa sedikit berbeda. Sangat berbeda sekali. Yusuf dan Ismail yang biasanya bersuara gemuruh ketika makan. Tiba-tiba mendadak hening. Seolah-olah telah sepakat. Tak ada dari mereka berdua yang ingin bersuara, walau hanya bersenda gurau saja.

“Papa ndak boongkan, janji ya minggu depan kita liburan ke pantai.” tanya Ismail, anak bungsuku yang masih berusia empat tahun, dengan nada bicaranya yang sedikit cadel. Memulai diskusi kami berempat dimeja makan. Aku menggangguk tanda setuju atas kesepakatan yang dibuat mereka terlebih dahulu. Isteriku, Sita kembali tersenyum. Mungkin anakku, Yusuf dan Ismail telah diberitahu oleh Mamanya, kalau jadwal Sabtu ini belum bisa untuk liburan bersama kedua orangtuanya.

“Iya Papa InsyAlloh akan menepati janji. Papa dan Mama pasti bawa liburan Yusuf dan Ismail. Jadi Yusuf dan Mail harus patuh ya pada orang tua.” Ucap isteriku berusaha meyakinkan mereka berdua, Ismail dan Yusuf. Dan tersenyum menatap ke arah wajahku.

Sementara Yusuf, anak sulungku lebih memilih diam dan menyantap makanan yang ada dipiringnya. Seolah seperti ingin memaklumi kondisi papanya.

Hatiku masih resah. Setiap kali berjanji. Jarang untuk ditepati. Aku takut, ini kan berpengaruh terhadap perilaku mereka. Dan merasuk dibenak mereka masing-masing. Kalau papanya tak pernah bisa menepati janji-janjinya.

Tapi aku sedikit lega. Ketika isteriku berhasil membujuk dan meyakinkan pada anak-anak. Kalau minggu depan akan terpenuhi permintaan mereka. Apalagi kalau bukan berlibur, tapi tempatnya masih aku rahasiakan. Berniat ingin memberi kejutan nantinya.

Aku bangga pada isteriku. Setiap saat selalu bersabar dengan segala pola tingkah lakuku. Kadang diriku membosankan, kadang ingin diperlakukan layaknya seperti anak-anakku, dan kadang rela bersusah payah karena diriku. Tapi ia tetap masih tersenyum kepadaku.

***

Aku ingat ketika dahulu, tapi aku sudah lupa tanggalnya. Tapi tahunnya aku masih ingat. Tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat masa pacaran dahulu. Hubungan kami sangat bersahaja. Penuh keindahan dan lantunan kemesraan. Saling berjanji untuk setia selamanya.

Tapi kedua orang tuanya sangat menentang hubungan kami berdua.
Mereka beralasan, kalau Sita tak pantas bersanding denganku. Pandangan mereka sinis kepada kehidupanku. Secara ekonomi, aku memang tergolong kaum marginal. Dan keluarga Sita adalah orang yang serba berkecukupan. Rumah mewah. Mobil merk ternama. Dan masing-masing dari anaknya mendapatkan jatah mobil satu persatu, termasuk juga Sita.

Sita adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya telah menikah. Dan sekarang tinggal diluar kota. Ikut dengan suaminya masing-masing. Ternyata mereka juga sevisi dengan orang tuanya, ikut serta tak merestui hubungan kami berdua. Hati Sita pun sedih. Tak ada lagi tempat bernaung baginya. Seolah seisi keluarga telah memusuhi dan membencinya.

Tak ada kata pembelaan dibenaknya. Hanya keyakinan yang kuat untuk tetap tulus mencintaiku dengan segenap hati dan jiwanya. Tidak pudar dengan gejolak batinnya yang sedang didera oleh nestapa.

Ternyata orang tuanya tak tinggal diam. Untuk menjauhkan hubungan kami berdua. Orang tuanya berniat melanjutkan sekolahnya ke Malaysia. Untuk memperdalam ilmu apotekernya. Sita tak kuasa melawan kehendak kuat dari orang tuanya. Akhirnya, ia pun mengiyakan perintah mereka tanpa menghiraukan perasaannya sendiri.

Suatu malam, surat dari Sita kubaca. Setelah Andi, teman satu kontrakanku, memberikannya padaku. Tulisan tangan yang indah, tapi tak seindah melodi isinya. Aku merenungi dalam-dalam isi dari setiap untaian kalimat suratnya dan terakhir kalimat penutup, salam perpisahan tepatnya.
Aku hirup nafas dalam-dalam. Kugenggam erat tanganku. Berjanji, untuk ikhlas menerima semua kenyataan ini. Aku yakin ini yang terbaik untuk kami berdua. Dan juga untuk keluarga kami. Sejak malam itu, aku dan Sita tak pernah bertemu lagi. Segala kenangan yang indah bersamanya telah ku hapus. Dan kususut perlahan-lahan didalam imajinasi khayalku. Aku tahu ini sakit, tapi aku harus ikhlas berpisah untuk kebahagianmu dan orang tuamu. Untuk selamanya.

***

Tanpa terasa hari pun berlalu begitu cepat. Dan akhir pekan yang dinanti telah tiba.

“Akhirnya semua pekerjaan dikantor telah selesai semua.” gumamku dalam hati.

Tiket pesawat untu empat orang telah aku pesan. Sengaja aku merahasiakannya. Aku pun tak sabar ingin pulang kerumah secepatnya. Berlibur sekalian menepati janji pada mereka, anak-anak dan isteriku.

Aku menelepon kerumah. Ingin memberi kabar pada Sita segera mungkin. Lama nada tunggu diponselku berdering. Belum ada yang mau mengangkat teleponku dirumah. Aku pun menelepon balik kembali, berharap ada yang segera mengangkat teleponku. Kegelisahan hatiku mulai menyeruak. Entah apa gerangan yang sedang terjadi.

“Dimana isteriku? Ada apa dengan mereka?” terbesit dipikiranku. Tapi kuacuhkan, berharap baik-baik saja.

Pandanganku teralihkan, berita di stasiun televisi swasta sore ini terdengar serasa meresahkan jiwaku. Mataku tertuju pada berita disisi sebelah bawah yang menari-nari ingin segera kubaca. Terpampang tulisan yang meremukkan dadaku. Terjadi kebakaran dikompleks perumahan Megah Sentosa. Dua buah rumah hangus terbakar. Termasuk didalamnya rumahku. Yang lebih membuatku hilang arah. Korban jiwanya berjumlah empat orang. Mayatnya berusaha diidentifikasi secepatnya oleh pihak rumah sakit.

“Siapakah korban itu? Mungkinkah mereka keluargaku? Oh tidak mungkin!”

***

Aku tertunduk lemah. Seluruh tubuhku runtuh tak berdaya. Aku hilang akal. Aku linglung. Melihat rumahku hangus terbakar. Digilas oleh sipemangsa merah. Api melahap rumah kami dan rumah tetangga dengan cepat. Pihak pemadam kebakaran sudah berusaha. Dengan berbagai cara menyelamatkan para korban jiwa. Aku menjerit kuat. Meraung sejadi-jadinya. Warga kompleks memeluk erat tubuhku. Mereka ikut membopong tubuhku yang tak berdaya. Dan perlahan menenangkan diriku. Memberi minum walau seteguk, agar lelahku bisa sedikit terobati.

Ternyata tubuh korban telah dievakuasi ke Rumah Sakit Islam Insani, rumah sakit terdekat diperbatasan kompleks perumahan kami. Untuk segera dilakukan otopsi kepada para korban jiwa. Tak kuasa menahan sebah didadaku. Air mata ini mengalir deras membasahi pipi. Aku belum ikhlas. Aku belum menepati janjiku pada mereka. Isak tangisku memecah keheningan malam. Banyak orang bersimpati dan terus berusaha menenangkan diriku. Tapi aku tak peduli. Sama sekali tak memperdulikannya.

Letih telah menggelayut tubuhku. Aku terlelap tidur berdampingan dengan rumahku yang hangus terbakar. Aku masih disini dan tak mau dievakuasi kerumah tetangga terdekat, walau mereka terus menawarkan bantuan kebaikan untuk sementara tinggal dirumah mereka. Aku menolaknya.

***

Malam tak bergeming. Diam seribu bahasa. Belum menandakan perubahan yang berarti. Masih sama seperti dulu. Secara tak sengaja, lamunanku dibuyarkan oleh tetesan air hujan. Yang mulai berlomba-lomba turun membasahi bumi. Gerimis telah datang.

“Mereka belum tiba juga.” Gumamku dalam hati kembali.

Setelah hampir setengah jam aku menunggu teman-teman kantorku. Baiklah aku akan menelepon mereka. Untuk mnginformasikan tentang pertemuan ini. Ternyata belum sempat aku menelepon, dentingan suara pesan diponselku memanggilku agar segera dibaca.

Isinya pasti sudah bisa ditebak. Pasti pertemuan ini dibatalkan lagi. Memang benar begitu adanya.

Aku tak mau ambil pusing. Segera aku bergegas pulang meninggalkan kafe tempat kami ingin berjumpa tadi. Setelah sebelumnya, beberapa lembar uang lima puluh ribuan aku berikan pada pelayan.

Jam berdendang ke angka sembilan malam. Malam yang sedang gerimis perlahan mulai terang kembali. Setelah hujan reda. Aku pun tancap gas. Segera pulang ke rumah. Mata ini sudah lelah. Serasa ingin kupejamkan, walau sejenak saja. Sejurus kemudian, Suara ponselku menjerit kembali. Bunyi alarm tepatnya. Aku melupakan sesuatu lagi.

Kulirik isi tulisan dari alarm ponselku. “Jangan lupa beli obat untuk ibu.” aku tersentak kaget, aku hampir melupakan amanah dari ibu, sosok yang cinta dan kasihnya tak kan pernah pudar sepanjang masa kepadaku.

Aku pun diburu oleh sang waktu. Segera cepat kuarahkan mobil ini menuju apotek terdekat. Membeli obat untuk ibu. Hampir saja terlupakan. Padahal sejak sore tadi, aku telah diwanti-wanti oleh ibu untuk belikan obatnya setelah pulang dari kantor.

“Jangan lupa belikan obat untukku ya Ji. Pak Kosim masih sakit. Belum bisa disuruh ke apotek untuk beli obatku” begitu ucapnya padaku. Pak Kosim, supir pribadiku yang sejak kehilangan isterinya dikampung dan hidupnya sebatang kara, tidak ada anak. Dan kuanggap seperti abangku sendiri, tidak mau lagi untuk pulang ke kampung halamannya. Dan tinggal bersamaku di Jakarta.

Diujung perempatan jalan. Aku melihat ada apotek yang masih buka. Secepatnya aku menuju apotek itu. Lama aku memarkirkan mobil. Alasannya tempat parkir yang relatif sempit.

Aku pun masuk ke apotek itu. Langsung menanyakan obat yang kumaksud pada apotekernya. Lama kumenunggu, tapi mereka tak menemukan keberadaan obat yang kumaksud. Ternyata stok obatnya kosong. Akhirnya, aku mendapat anjuran. Mencari obat itu dialamat apotek yang mereka berikan.

Mereka beralasan bahwa obat itu tak dijual bebas.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa pikir panjang lagi. Aku langsung menuju alamat apotek yang dimaksud. Biasanya untuk membeli obat ini. Ibu yang langsung pergi bersama Pak Kosim, supir pribadiku. Baru kali ini aku kebagian jatah disuruh ibu untuk membeli obatnya. Sebab kondisi ibuku masih labil. Kelelahan, baru tiba dari Kota Medan. Tempat kampung halaman kami. Begitu juga Pak Kosim, supir pribadiku yang masih belum sembuh dari sakit demamnya.

Sesampai ditempat yang dianjurkan oleh petugas apotek tadi. Aku langsung memasuki ruangan yang lumayan luas, untuk ukuran sebuah apotek. Aku langsung menyerahkan resep obat pada apotekernya. Obat yang kupesan tak jua kunjung datang. Lama kududuk menanti di bangku panjang ruang tunggu apotek ini. Sendiri ditengah kebisingan lalu lintas diluar sana. Gerimis mulai tak menyapa lagi. Berhenti perlahan-lahan.

“Maaf Pak sudah menunggu lama. Ini obat yang Bapak minta.” Ucap sang apoteker wanita dengan nada mengusik masa laluku. Masih tersenyum menatapku.

Sejenak aku terhanyut. Mimpi-mimpi masa lalu terulang kembali. Sepasang insan saling beradu pandang. Tak berkedip barang sedetikpun. Lekat termakan oleh sang primadona malam. Mengharu biru. Sungguh malam yang panjang untuk sang pemabuk jalanan. Dan serasa malam yang pendek untuk insan yang termabuk asmara.

----- Selesai ----

Semarang, 15 Februari 2009.

Rabu, 08 Januari 2025

HATIMU ADALAH MILIKMU

Semilir angin menyempurnakan kebahagiaan. Dikala sang mentari masih tersenyum simpul. Dan perlahan mulai mengitari gunung ungaran. Memberi harapan dan semangat pagi ini. Kulangkahkan kaki, menatap ke depan dengan penuh keyakinan. Pagi ini, tak terbesit kegagalan yang kemarin menyelimuti kondisiku. Hancur dan berantakan tepatnya. Judul skripsi yang kuajukan ditolak dengan halusnya bahasa dan budaya mereka. Tak bermakna bagi mereka. Gagal adalah gagal. Tak memiliki belas kasihan. Walaupun sebenarnya aku tak ingin dikasihani oleh mahluk seperti mereka.


“Pagi Mas Ardi.” sapa induk semang kami padaku. Aku tersenyum dan langsung membalas sapaannya. “Pagi juga Pak.”

“Maaf Pak, untuk uang kontrakan bulan ini, kami minta waktu seminggu lagi ya Pak. InsyAlloh kami akan melunasi secepatnya Pak.” kumulai pembicaraan dengan mimik wajah yang memelas.

“Iya, ndak apa-apa Mas Ardi. Bapak ndak memaksa kok. Kalau memang belum ada, ya jangan dipaksakan dulu.” balasnya padaku.

Dengan penuh keramah-tamahan Pak Bono menerima alasanku. Tapi aku tahu dengan hatinya, tidak senyaman itu menerima argumentasiku. Semoga.

Sudah hampir tiga bulan uang kontrakan kami belum dibayar. Sementara gajiku mengajar, belum cukup untuk melunasi tunggakan kontrakan kami. Terpaksa harus kais kiri dan kanan. Itupun belum cukup untuk melunasinya.

***

Suasana awan sore menyelimuti kampusku. Belum sempat tetesan peluh ini ku usap. Sosok wanita itu datang mendekat. Perlahan merapat dibangku panjang taman kampus, persis disampingku. Aku beku. Sel-sel darahku serasa berhenti mengalir. Hanya degup jantung yang saat ini mampu tuk berdetak. Dan tak bisa kuajak berkompromi. Diam untuk sejenak.

Sepasang insan yang berdampingan. Hanya berdiam diri. Dan malu untuk meperkenalkan diri. Perlahan sosok itu menoleh padaku. Bertanya sesuatu. Tak mampu ku membalas tanya nya. Hanya beku. Dia mengulangi lagi tanya nya padaku.

“Maaf, anda kenal dengan Mas Ardi. Mahasiswa Jurusan Akuntansi.” ucapnya dengan nada melumpuhkan kewarasanku. Aku menderita amnesia. Tak mengenal siapa namaku sendiri.

“Ya. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu mbak?” balasku dengan nada terbata-bata.

Kondisi pembicaraan yang tak seimbang. Bergaya defensif yang klasik. Tak waras kalau aku masih berkutat dengan basa-basi yang tak bermakna ini. Hanya bergaya bunglon. Tak mampu bersikap apa adanya.

Semua telah dia bicarakan padaku. Hanya butuh kepastian dariku. Bisa fix dengan jadwalku sendiri. Agar maksud dan keinginannya terpenuhi. Menyusun laporan keuangan untuk kantor perangkat desa tepatnya. Dimana ia melakukan penelitiannya sekarang.

“Maaf Ai, aku harus permisi dulu. Janji dengan Dosen pembimbingku telah tiba.” sergahku memotong pembicaraan kami berdua. Wajahnya mengisyaratkan tanda setuju untuk menyudahi pembicaraan ini. Perpisahan disore ini menghancurkan hegemoni hidupku. Aku tak rela dia menjauh dariku. Tapi janji untuk bertemu dengan nya, seakan menginspirasiku untuk bertahan hidup. Walau aku harus menderita dengan lamanya sang waktu akan bergulir. Perlahan, aku beranjak meningggalkan sosoknya. Sendiri, duduk dibangku panjang taman kampus.

***

Bersama sahabat, menyeruput kopi hangat tanpa gula. Diteras depan kontrakan kami. Berbicara mengenai kehidupan sepanjang hari ini. Berbagai aktivitas telah dilakukan. Gagal dan sukses mewarnai. Hanya kesabaran tempat bernaung.

“Di, besok aku akan pulang. Menjumpai kedua orang tuaku.” ucap Ian, sahabat berambut ikal, memulai pembicaraan sore ini. Lalu meneguk kopinya. Aku tak menghiraukan keberadaanya. Diam dengan tatapan kosong. Dan berlogika yang menginspirasi berbagai tanya yang rancu. Menelusuri dalam labirin kehidupan. Yang tak tahu akan ujungnya. Hanya berproses ke arah yang lebih baik.

Lamunanku buyar oleh tepukan Ian dipundakku.

“Eh, iya sampai dimana tadi Ian?” tanyaku dengan nada meyakinkan.

Curahan hati seorang sahabat yang tulus menyayangi seorang wanita. Yang ingin segera dinikahinya. Dan memintaku untuk membantunya. Sebab wanita itu adalah sahabat terdekatku. Dan sumber inspirasi hidupku. Tak lain adalah Ai.

Aku diam dan terhenyak. Dada ini terasa sesak. Pandanganku nanar dan hilang arah. Belum sempat aku berbicara banyak. Suara dentingan teleponku mengusik pembicaraan diantara kami.

Akhirnya, aku menyudahi pembicaraan diantara kami. Dan aku berjanji untuk membantu dan memberikannya solusi mengenai pergulatan batinnya.

***

Keterpaksaan ini membawa duka untukku. Kuberanikan diri untuk mengajak Ai bertemu. Ingin membicarakan perihal harapan yang suci dari sahabatku, Ian. Yang hendak mempersunting dirinya. Tak seperti hari-hari biasanya. Bersemangat dan termotivasi bila hendak berjumpa dengan Ai. Tapi kali ini, langkahku terasa berat dan gontai. Serasa bertumpu pada kemalasan. Perasaan ini perlahan aku redam. Kusimpan dalam bingkai hati. Dan menempatkan sosoknya di singgasana hatiku yang teristimewa.

Lama sosoknya kunantikan. Sendiri hanya sendiri aku menunggunya. Di rumah kepala desa, tempat ia melakukan penelitian. Minuman tersaji hangat. Khas budaya penduduk desa. Berselang sepuluh menit aku menanti. Datanglah sosok itu. Dia tak sendiri. Ditemani oleh sahabatnya. Dan aku mengenalinya, Rahmi, mahasiswa psikologi semester akhir. Aku mempersilahkan mereka duduk, tak sungkan aku berbasa-basi, walau ini perlahan mulai menggrogoti jantungku untuk sekedar berdetak.

“Kalau boleh tau. Mas Ardi ada keperluan apa ya datang kemari? Kok tiba-tiba ingin bertemu dengan saya.” lantun Ai penuh tanya. Kumulai perlahan penjelasan harap dan niatku.

“Begini Ai, rasanya suatu keistimewaan bisa mengenal Ai. Dan tiada salah bila sosoknya banyak dikagumi oleh kaum Adam.” jelasku dengan perumpaan.

“Maksudnya Mas? Kaum Adam.” kejar Ai dengan rentetan pertanyaan yang membingungkannya padaku.

Ternyata Rahmi sudah faham maksud dan tujuanku kesini. Ia memotong pembicaraan kami berdua.

“Mas Ardi, maaf mungkin masalah ini sebaiknya kita berdua yang berbicara. Setelah itu, biar aku yang menjelaskannya pada Ai.” jelas Rahmi padaku.

Aku mengiyakan permintaanya Rahmi. Berbeda dengan raut wajahnya Ai. Seolah kehadiran sosoknya tak mampu meyakinkan kami untuk ikut berlogika dengan permasalahan ini.

Dihalaman depan rumah, tanpa ditemani oleh Ai. Aku dan Rahmi berbicara. Panjang lebar ku jelaskan alasan kedatanganku ke desa ini. Untuk menemui Ai. Dan sampai pada titik kesimpulannya, menyampaikan pesan sahabatku Ian kepada Ai untuk niat mempersuntingnya.

Gemericik tetes air mulai menerpa tubuh kami berdua. Perlahan suara desiran angin mulai menyapa kami. Dingin dan berhawa sejuk udara ini. Sore yang tak kunjung lelah. Ditemani sang hujan melepas kepenatan siang. Akhirnya, kami menyudahi perbincangan ini. Tentang masa depan sahabatku, Ian yang ingin mempersunting Ai.

Gerimis mulai deras. Menghujam jatuh kebumi. Sang mentari mulai enggan bernostalgia dengan senja. Ia lelah dan melepas hari ini. Dan berganti dengan datangnya sang malam. Rahmi telah faham. Dan berjanji padaku untuk secepatnya menyampaikan perihal ini pada Ai.

Aku pun beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah sebelumnya berpamitan dengan Ai dan Rahmi. Aku berpaling ke depan. Berjalan dan menatap penuh kejenakaan. Mengenai perasaan yang menggelikan. Dipermainkan oleh hidup tepatnya.

Aku menangis. Ini diluar akal sehatku. Aku sabar dan ikhlas. Pasti Sang Pemilik Hati menyimpan hikmah untuk kami berdua. Dan kepergianku ditemani sang gerimis senja. Yang membasahi seluruh tubuhku. Tak kuhiraukan.

***

“Berkata jujurlah pada sahabatmu ini Ai. Sudah sejauh mana hatimu terbelenggu dengan goresan-goresan cahaya kasih sayang pada sosok Mas Ardi.” ungkap Rahmi kepada Ai.

Ai hanya terdiam. Air matanya mulai menetes. Membasahi seka pipinya. Isak tangis memberikan jawaban, bahwa hatinya tak dapat dibohongi nya lagi. Yang selama ini mampu dipenjarakannya. Perasaannya terhadap diri Mas Ardi.

Sudah sejauh inikah dirimu menyayangi sosok Mas Ardi. Sambil tangan Rahmi menyeka air mata di pipi Ai. Ia juga merasa bersalah. Kenapa engkau malu untuk mengatakannya padaku Ai. Aku ini adalah sahabatmu. Susah dan senang saling melengkapi. Maafkan aku wahai sahabatku. Tak pernah engkau terluka sedalam ini. Kalian berdua egois Ai. Keterlaluan tepatnya. Saling benci tapi hati mencintai. Saling sayang tapi membiarkan hati masing-masing terluka.

Rahmi menegaskan kembali pada Ai. Bahwa ini bukan nafsu wahai sahabatku. Ini adalah kejujuran hatimu. Ini adalah cinta yang bernuansa kasih dan sayang.

Akhirnya Ai berbicara terbata-bata. Ucapan-ucapan Ai yang terlantun mengenai sosok Mas Ardi, menggetarkan relung hati Rahmi. Dan Rahmi pun terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa.

Setelah ia menceritakan kedatangan Mas Ardi kepada Ai. Untuk memperkenalkan sosok sahabatnya yaitu Mas Ian kepada Ai. Dan selanjutnya, tanpa perasaan bersalah. Rahmi mengajukan pernyataan bahwa Mas Ian berniat untuk memperisteri Ai.

Sosok Mas Ian, sangat dikenal oleh Ai. Kabar mengenai Mas Ardi selalu ia dapat dari Mas Ian. Begitu polosnya perasaan Mas Ian. Sampai ia tak dapat membedakannya. Mengenai sosok Ai, yang menganggap hubungan ini hanya sebatas persahabatan kepada Mas Ian, tak lebih dan tak kurang.

***

Malam semakin larut. Tapi tak mampu melemahkan saraf-saraf dimataku. Untuk terpejam dan terlelap dengan lamunan sang penggoda malam. Hanya dinding yang tertawa. Tak beretika menghargai.

Besok aku akan kembali pulang ke kampung halaman. Meninggalkan berjuta kenangan di kota ini. Setelah lamaranku diterima disalah satu bank syariah dikota kelahiranku, Medan. Tiket pesawat yang kupesan telah kugenggam. Dan tak akan kubiarkan lepas lagi. Biarlah semua kenangan ini, ku kubur dengan minyak kasturi. Walau aku tak kuasa menggalinya lagi. Tapi harumnya masih dapat tercium olehku.

***

Pagi yang bernuansa semangat. Dan tak mampu memberi inspirasi lagi. Sosok yang terlintas dibenakku belum juga mau menghampiriku. Padahal kehadirannya sangat kunantikan. Aku risau. Pesawatku akan segera berangkat. Dan aku akan melepas sore ini dengan memaki masa depanku kelak.

Aku berpamitan dengan seluruh sahabat-sahabatku. Bandara ini seolah mengajariku tak ada yang harus ditunggu. Sebab semua adalah titipan. Ada yang datang dan akhirnya pergi. Walau tanpa permisi kepadanya. Dan ia ikhlas menerimanya.

“Terima kasih untuk persahabatan ini. Aku pamit wahai sahabat-sahabatku.” ucapku dengan nada penuh kesedihan. Seolah bandara ini ikut menderaikan air mata perpisahan untukku pula.

“Selamat jalan Ardi. Kami pasti merindukan sosokmu.” ucap sahabat berambut ikal padaku. Ia telah beristeri, pilihan orang tuanya di kampung halaman.

Ternyata sosok yang kunantikan kehadirannya, tak kunjung datang. Kutegaskan kembali, ia tak akan datang. Sudahlah buat apa menantikan dirinya. Maafkan kelemahanku. Sebab aku adalah manusia. Tempatnya salah dan lupa.

Perjalanan ke kota Medan kurang lebih ditempuh selama tiga jam. Sesampainya di bandara Polonia Kota Medan. Suara rengekan ponselku meminta untuk segera kubaca isi pesannya. Hanya pesan singkat tepatnya. Tapi memberikan jawaban untuk tanya sepanjang perjalanan pulangku.

“Aku ikhlas menunggumu wahai calon imamku, Mas Ardi. Aku siap untuk kau jadikan belahan hatimu, Dari Aisyah.”

----- Selesai ----

Semarang, 26 Juni 2009.

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...