Gerimis tipis mulai reda. Langit yang hitam pekat dan tidak bersahabat, mulai menampakkan keceriaannya. Sang awan berkejar-kejaran. Membuka cakrawala langit biru.
“Belakangan ini cuaca sukar ditebak. Kadang bersahabat, malahan kadang ingin berdebat.” Gumamku dalam relung hati.
Hari ini aku cuti. Kemarin surat izin cutiku telah kutitipkan pada teman kantor. Sebab keluarga Bang Ari akan datang berkunjung. Kemarin sore ia telah mengabari kedatangannya. Ini kesempatan langka. Sudah lama keluarga mereka tak pernah berkunjung lagi ke tempatku, padahal kami dikota yang sama walau jaraknya memang cukup berjauhan.
Hampir dua tahun lamanya, mereka belum pernah datang kekontrakanku. Aku rindu dengan bidadari kecilnya, anak semata wayang dari Bang Ari. Manja dan jenaka. Tawa kecilnya membuatku terkagum dengan syahdu parasnya. Lesung pipinya serasa menambah kelengkapan manis diwajahnya.
***
Dari kejauhan terlihat sosok bidadari kecil itu, berlari kecil nan lincah. Parasnya sudah tak asing lagi. Wajahnya oval. Rambutnya ikal. Matanya yang bulat serta bulu matanya nan lentik menyempurnakan keindahan paras wajahnya. Tersenyum kecil ke arahku, lalu melompat dengan sigapnya. Ia langsung memelukku. Kupeluk tubuhnya, meluapkan kerinduan yang sangat lama dalam dekapanku. Menyapaku dengan ramah dan syahdu suaranya.
“Tulang Am, Anis datang berkunjung.” Ucap gadis kecil itu lugu kepadaku.
Siapa lagi kalau bukan keluarga Bang Ari datang ke kontrakanku. Tak ketinggalan bidadari kecilnya yang sangat menggemaskan. Tak terasa air mata ini menetes perlahan. Dan dengan secepat kilat aku menyekanya dari pinggir mataku. Aku bahagia mereka datang.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Terlihat dari raut wajah Bang Ari yang kusam. Ia terlihat menyimpan banyak masalah. Tapi sungkan untuk ku utarakan tanya ini kepadanya.
“Apa kabar Bang Ari?” Tanyaku dengan nada ramah kepadanya. Kemudian mempersilahkan mereka masuk.
“Alhamdulillah, baik-baik saja kok.” Jawabnya dengan langkah yang gontai, berjalan pelan menelusuri ruang tamu. Lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa.
***
Jam tua di samping meja belajarku berdentang sebanyak sepuluh kali lamanya. Berarti sang pagi mulai ingin melepas kehangatannya. Berganti dengan sang siang, walau enggan menyapa dengan lembut akan hangat sinarnya.
Setelah Bang Ari duduk di sofa ruang tamu, seketika itu pula sang bidadari kecil berhamburan mendekatiku kembali. Kupeluk erat tubuh keponakanku. Ia berceloteh manja dan penuh jenaka padaku. Sampai matanya yang berbinar indah tak mampu lagi dilawannya. Ia tertidur pulas dalam pangkuanku.
Suara serak Bang Ari memecah kebisuan kami sedari tadi.
“Gimana Kabarmu Am. Sudah lama kami tidak datang ke kontrakanmu. Mohon maaf ya.”
Belum sempat aku membalas tanya dari Bang Ari, sejurus kemudian Bang Ari lanjut cerita. Bercerita tentang musibah yang sedang menimpa keluarganya dan belum siap untuk dihadapinya seorang diri.
“Bagini Am, keluarga kami lagi tertimpa musibah.”
Dugaanku benar, sebab Kak Yayuk, Kakak kandungku tidak ikut datang bersama mereka. Hanya berdua saja datang pagi ini ke kontrakanku.
“Ada apa dengan keluarga mereka.” Gumamku dalam hati.
Bidadari kecil yang sedang dipangkuanku tiba-tiba mengigau. Memanggil-manggil ibunya. Aku pun terhenyuh dengan peristiwa ini. Dan sejenak memutuskan pembicaraan kami berdua. Setelah sang bidadari kecil ku gendong dan kubobokkan kembali dengan lembut. Ia pun tertidur pulas kembali dipangkuanku.
Setelah panjang lebar diceritakan oleh Bang Ari. Membuat hatiku menjadi sedih. Ternyata, Kak Yayuk mengalami musibah. Masih terbaring sakit di Rumah Sakit. Sudah tiga hari ia belum sadarkan diri. Ia jadi korban tabrak lari. Ketika sedang berbelanja di pasar. Bukan itu saja, Bang Ari juga mendapatkan musibah ditempat kerjanya. Ia ikut terkena PHK oleh kantornya. Dengan alasan kondisi perusahaannya mengalami kerugian dan sudah dinyatakan pailit oleh putusan dari Pengadilan Niaga Semarang. Mobil silver milik mereka telah ikut andil menyelamatkan perekonomian keluarganya. Dijual ke tetangga mereka. Untuk membiayai pengobatan Kak Yayuk. Dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Aku iba mendengar beritanya. Miris hatiku. Aku mengutuk orang yang tidak bertanggung jawab itu. Yang menyebabkan kemalangan pada Kak Yayuk. Tapi kenapa berita duka ini, Bang Ari tidak mengabari aku secepatnya. Apakah lupa kepadaku. Semoga dugaanku salah. Mungkin kemarin masih panik atas musibah yang sedang menimpa keluarganya.
Setelah lama kami berbincang-bincang. Bang Ari berpamitan pulang. Ia akan berangkat besok ke Negeri seberang. Malaysia tepatnya. Bekerja disana. Dan kedatangannya kali ini, bermaksud menitipkan bidadari kecilnya. Serta bermohon untuk menjaga Isterinya, tak lain adalah kakakku sendiri. Yang sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Dia berjanji. Seluruh kebutuhan hidup keluarganya, pengobatan isterinya dan biaya sekolah putri semata wayangnya akan dikirim setelah nanti dia sampai dan mendapatkan pekerjaan disana.
Sejujurnya, aku tidak terlalu mengharapkan uang yang nanti diberikan oleh Bang Ari. Semasa kuliah dahulu, seluruh biaya kuliahku mereka yang telah bersusah payah membantuku. Aku masih berhutang budi pada keluarga mereka. Maka, sudah seyogyanya aku harus membantu dan membalas kebaikan mereka. Selama masih ada waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadaku. Tak kuasa aku menolak amanah ini. Aku pun mengiyakannya.
***
Aku mulai kerepotan mengurusi bidadari kecil ini. Tingkah lakunya memaksaku bekerja lebih keras lagi. Manja dan jenaka. Tiap jam lima pagi, setelah aku menunaikan ibadah sholat subuh. Ia pun terbangun. Menangis sejadi-jadinya. Memanggil ayah dan ibunya. Pelan-pelan kubujuk dan ku ninabobokkan hingga ia terlelap lagi dalam tidurnya. Aku pun membicarakan ini dengan ibuku, memohon untuk tinggal bersamaku. Turut serta menjaga cucunya, anak dari Kak Yayuk. Ibu pun merasa bertanggung jawab untuk ikut membantuku menjaga anak Kak Yayuk.
Sore harinya, bidadari kecil minta dimandikan oleh Opungnya dengan air hangat. Dan tiap minggu aku berusaha datang menjenguk Kak Yayuk. Tak lupa mengajak bidadari kecilnya. Melihat kondisi ibunya. Semuanya aku jalankan dengan ikhlas. Tanpa ada beban dan paksaan.
“Tulang Am, Papa anis kemana? Kok sudah lama tidak pernah datang kerumah Tulang.” Tanya anak itu padaku dengan polosnya.
Aku pun terhenyuh. Diam tak mampu berbicara. Sedang aku tak sanggup tuk berbohong padanya. Dan tak mungkin pula harus jujur, sebab dia belum tentu mampu dan faham mencerna masalah keluarganya. Mungkin dua atau tiga tahun lagi. Baru tepat waktunya untuk disampaikan kepadanya.
“Papa Anis lagi kerja. Cari uang buat beli susu untuk Anis dan besok juga akan datang ke rumah Tulang.” balasku dengan nada lirih pada Anis. Walau aku tau itu hanya sekedar janji manis. Entah kapan akan bisa terwujud.
Minggu depan aku akan mengajaknya kembali. Menjenguk ibunya yang lagi terbaring sakit di rumah sakit. Sehingga dapat mengobati kerinduan kepada ibunya.
***
Malam bertukar menjadi siang. Dan hari pun berganti menjadi bulan. Hampir setahun sudah Bang Ari meninggalkan keluarganya. Tanpa ada kabar berita yang datang kepada kami.
Alhamdulillah kondisi kak yayuk sudah mulai pulih, walau belum sepenuhnya sehat. Masih duduk dikursi roda. Dan butuh masa untuk kembali berjalan seperti sedia kala. Semua biaya perobatan aku yang menanggungnya. Seminggu lagi hari pertama Anis masuk sekolah Paud. Aku tak khawatir dengan jumlah nominalnya. Bahkan selama setahun ini, kebutuhan dan keperluan keluarga Bang Ari dan Kak Yayuk telah aku tanggungjawabi semuanya.
Sampai saat ini, yang masih jadi beban pikiranku adalah kabar dari bang Ari, bagaimana keadaannya saat ini? Itu yang belum terjawab sampai detik ini.
Kak Yayuk sesekali menyeka air matanya. Jatuh membasahi pipinya. Tak kuasa menahan kesedihan dan kerinduan yang mendalam atas kondisi suaminya. Yang sampai saat ini, entah dimana keberadaannya.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Sejauh ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Seluruh informasi telah aku kirimkan ke media-media yang ada di Kedutaan. Bertukar informasi dengan pihak travel penyelenggara TKI yang ke Malaysia. Dan sudah puluhan surat ku layangkan ke Kedutaan Besar Malaysia yang ada di Indonesia. Menanyakan perihal kabar kehilangan. Tapi semuanya nihil. Aku tegaskan sekali lagi. Tidak ada manfaatnya.
***
Dering telepon rumah berdentang keras. Aku pun tergopoh-gopoh berusaha mengangkat telepon. Berlari kecil dari ruang dapur. Setelah kuangkat, tak ada suara diujung sana. Kututup saja teleponnya kembali.
Berdering kembali. Aku mengurungkan niat untuk mengangkatnya. Karena sejenak kemudian, Kak Yayuk yang mengambil alih tugasku.
***
Sejak peristiwa telepon itu. Keadaan dan kondisi Kak Yayuk perlahan mulai berubah. Tak ada lagi kesedihan yang tersimpan diwajahnya. Ia telah berubah 180 derajat. Apa yang telah terjadi? Entahlah hanya dia dan Tuhan yang tahu. Setiap kali aku bertanya. Dia tak mau jawab. Diam seribu bahasa. Aku pun tak ingin memaksanya untuk berterus terang tentang apa yang sedang dialaminya. Tapi dengan perubahan hidupnya. Aku turut bahagia. Dan tak mau ambil pusing.
Tapi rasa penasaranku belum hilang. Aku masih mengisyaratkan tanya tentang peristiwa telepon kemarin. Suara siapa gerangan yang hadir diujung sana. Aku masih ingin mencari tau.
Tak berselang lama, malam harinya aku memeriksa seluruh nomor telepon yang masuk. Dengan sabar semua nomor telepon aku urutkan kembali dengan teliti satu demi satu. Dari mana dan siapa yang telah menghubungi kenomor telepon ini. Dan akhirnya aku tersenyum simpul. Aku sudah tahu jawabannya. Siapa gerangan yang ada diujung sana. Semoga dugaanku tidak salah.
***
“Bu, aku berangkat kerja. Kemungkinan malam hari nanti aku baru pulang dari kantor.” Ucapku sambil berpamitan dan memeluknya dengan erat. Seolah tak ingin berpisah dengannya barang sedetikpun. Sebab doanya masih aku harapkan untuk kebahagiaanku dan kakakku dirumah ini. Ia pun mengikhlaskan aku tuk berangkat kerja ke kantor. Firasatku sejak pagi tadi masih ada yang belum selesai dengan diriku. Tapi entah apa gerangan. Aku pun belum tau jawabannya apa. Dan aku tidak mau ambil pusing. Aku ikhlas menjalaninya.
***
Malam yang ditunggu telah datang. Sosok yang dinanti belum jua tiba. Makanan sudah terhidang di atas meja makan. Nasi mulai dingin. Ibu, Kak Yayuk dan Bidadari kecilnya sudah terlelap tidur di sofa ruang tamu. Terlalu lelah menanti kehadiran seseorang.
Dan malam telah berpamitan. Sang fajar pun mulai menyapa. Hukum alam kembali. Sebelum sampai ke rumah. Ternyata, diriku mengalami kecelakaan. Tubuhku terhempas keras ke aspal. Berguling tanpa arah. Darah mengalir deras dari kepalaku. Tanpa sadarkan diri. Aku hilang arah. Mataku berkunang-kunang. Hembusan nafasku mulai tak beraturan lagi. Aku melayang ke tempat tanpa batas. Setelah motor yang kukendarai ditabrak mobil silver dari belakang. Kemudian melaju cepat menjauhi diriku. Aku lenyap dari muka bumi ini.
***
Sang bidadari kecil berjalan kecil penuh jenaka dan manja. Dengan kedua tangannya dikepal oleh masing-masing kedua orang tuanya. Terasa hangat dan bersahabat. Berjalan pulang meninggalkan tanah pusara. Gerimis hujan pun turun dengan syahdunya. Membelai dan membasahi dedaunan ditanah pusara.
----- Selesai ----
Semarang, 08 Februari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar