Hidup tetap berlanjut, sebab waktu tidak menginginkan sang hujan datang di kala senja. Dan saat malam tiba, hujan pun turun deras di sudut kota Tokyo. Di balik jendela apartemen kecilnya, Natan duduk termenung. Secangkir kopi panas, tak lagi menarik untuk diseruput olehnya. Matanya masih terpaku pada sebuah photo usang, wajah seorang gadis desa yang tersenyum simpul, sambil mencium aroma bunga mawar di tangannya. Namanya Nia.
Lima tahun yang lalu, sebelum keberangkatannya ke Kota Tokyo, Jepang, Natan dan Nia saling berjanji satu sama lain. Natan menggenggam erat tangan sang gadis, bersumpah setia di hadapan langit senja.
“Tunggu aku, Nia. Aku akan kembali. Bukan sebagai laki-laki biasa, tetapi seseorang yang akan hidup bersamamu, membangun keluarga kita nantinya.” Ucap Natan kepada Nia.
***
Namun, takdir terkadang suka bermain-main dengan mereka yang terlalu yakin pada rencana.
Di tengah euphoria menyusun proposal akhir proyek. Datanglah seorang pria tua, pemilik perusahaan besar di Kota Tokyo, Tuan Hamada.
“Aku menyukai semangatmu, Natan. Kau seperti diriku saat muda dulu. Dan kau tahu? Aku punya seorang putri. Dia terlalu lama hidup dengan dunia yang terkadang tak mengerti akan dirinya. Aku ingin menjodohkanmu dengannya.” Ucap Tuan Hamada kepadanya.
Natan terdiam. Ia pikir itu hanya sekedar basa-basi. Tapi Tuan Hamada melanjutkannya dengan tatapan penuh makna, “Natan, anggap ini sebagai proyek jangka panjang dan bentuk kerjasama kita. Jika kau menjadi bagian dari keluargaku, proyek ini akan segera menjadi milikmu.”
***
Tokyo, 1 bulan sebelum cerita perjodohan.
Sore itu, di pasar tradisional distrik tua Kota Tokyo, riuh penjual dan pedagang seperti hari-hari biasanya. Seorang gadis muda, mengenakan jaket hitam dan syal orange, melangkah pelan di antara kios-kios sayur dan rempah-rempah. Wajahnya tertutup masker, namun sorot matanya terlihat gelisah, gadis itu adalah Ayumi. Ia sengaja keluar dari kehidupan yang glamor dan gedung tinggi tempat ia bersama teman-temannya bersenda gurau menghabiskan waktu bersama. Ia menepi sejenak, dan ingin hidup seperti orang-orang yang pernah diceritakan oleh ibunya yang telah wafat, saat ia masih duduk di sekolah dasar. Hidup dengan orang-orang yang selalu berjuang dengan kehidupan, tepatnya di pusat pasar tradisional di distrik tua Kota Tokyo.
Tiba-tiba seorang pria menyenggolnya dengan tidak sengaja, dalam hitungan detik, tas kecil yang di tentengnya lenyap seketika. Ayumi terdiam tanpa perlawanan, ia terpaku, seolah dunia hening seketika. Namun dari arah yang berlawanan, seorang pria dengan ransel tua sigap berlari menerobos kerumunan orang yang berlalu lalang. Mengejar pencopet yang berlari kencang menjauh dari keramaian.
“Berhenti, kau!” teriak sang pemuda.
Tanpa ragu, pria itu terus mengejar pencopet hingga ke lorong yang sempit. Setelah melihat dengan jelas si pencopet, seketika itu si pemuda berlari dan melompat ke arah pencopet, pemuda itu berhasil merebut kembali tas tersebut.
Nafasnya tersengal, dan menghampiri kembali sang gadis. Tas diserahkan kembali kepada Ayumi, tapi tangan sang pemuda sedikit berdarah akibat ulah dari pencopet tadi, saat mereka saling tarik menarik tas milik Ayumi di lorong sempit tadi.
“Ini tas Anda, hati-hati dengan barang bawaan Anda kalau sedang di pusat keramaian seperti ini.” Ucap si pemuda sambil menyerahkan tas kepada sang gadis. Lalu tersenyum kecil, tanpa menyebutkan nama, tanpa meminta imbalan dan berlalu begitu saja.
“Terima kasih Tuan.” Ucap Ayumi kepada si pemuda. Ayumi hanya bisa terdiam membisu, masih belum percaya kejadian ini menimpanya. Ia genggam tas nya dengan erat, takut kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Jantungnya berdegup kencang, mata itu, senyum itu dan ketulusan si pemuda penyelamat tasnya terus membekas diingatan dan relung hatinya.
***
1 bulan kemudian
Dunia masih sibuk dengan aktivitasnya, dan seketika menghukum jarak kewarasan sang gadis yang masih belum bisa melupakan kejadian itu.
Ayumi bergegas mengangkat ponselnya, sedari tadi berdering meminta untuk dijawab.
“Yumi, segera datang ke ruangan kerja Ayah.” Ucap sang Ayah kepadanya.
“Iya, Ayah.” Balasnya kepada Ayahnya. Ayumi sudah menduga kejadian ini akan datang, ia harus menuruti permintaan Ayahnya, untuk diperkenalkan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya.
Pria itu yang kini mengenakan jas rapi dan berbicara penuh keyakinan kepada Ayahnya, adalah pria yang telah menyelamatkan tasnya dari aksi pencopetan di distrik tua Kota Tokyo sebulan yang lalu.
Ternyata Natan, yang dengan polosnya, tidak pernah mengenali dirinya. Wajahnya datar, sopan. Seperti tak pernah berbagi momen apa pun dengan sang gadis, Ayumi.
“Perkenalkan ini anakku, Ayumi. Sosok yang sangat ku sayangi dalam hidupku, Natan.” Ucapan Tuan Hamada kepada Natan.
Sejak saat itu, Natan dan Ayumi telah berkenalan, walau Ayumi masih menyimpan cerita indah tentang kenangan di distrik tua Kota Tokyo.
***
Balkon gedung kantor, saat langit senja mulai menggantungkan kelabu, angin berdesir perlahan. Natan dan Ayumi berjanji untuk bertemu di tempat itu. Mereka berusaha saling jujur berbicara perasaan masing-masing.
Natan menemui Ayumi, sedari tadi telah menunggunya. Mereka diam sejenak. Lalu Natan memulai pembicaraan mereka.
“Aku…tahu kau tidak menginginkan cerita perjodohan ini terus berlanjut Ayumi.” Ucap Natan memulai pembicaraan.
Ayumi tidak menoleh, masih terus menatap langit. “Aku tahu hati kita berat untuk menerima ini. Aku bahkan tidak mengenalmu seutuhnya, Natan.” Balas Ayumi kembali.
Natan menarik nafas dengan berat. “Ada seseorang gadis yang sedang menunggu diriku di kampung halaman, Ayumi. Dia bukan siapa-siapa, dia gadis biasa. Sederhana dan bersahaja. Gadis yang pernah ku genggam tangannya untuk berjanji setia kepadanya.”
Ayumi pun terdiam sejenak, perlahan melanjutkan ucapannya. “Aku iri pada gadis itu, bukan karena kau memilihnya. Tapi karena dia punya seseorang yang memilihnya meski dunia menawarkan segalanya kepadanya.”
“Ayumi, kamu terlalu baik. Sangat baik kepada diriku, kalau hidup ini adil, seharusnya dirimu mendapatkan seseorang yang mencintaimu sepenuhnya. Bukan diriku, yang hatinya masih tertambat pada sosok gadis di sana, yang jauh sebelum pertemuan ini terjadi.” Balas Natan kepada Ayumi.
“Kalau nanti kita berpisah, dan dirimu memilih kembali ke gadis itu, bisakah kau sampaikan satu hal kepadanya?” Pinta Ayumi kepada Natan.
“Apa perihal itu, Ayumi.” Balas Natan dengan rasa penasaran.
“Bilang padanya…bahwa ada seorang gadis yang pernah hampir mencintaimu, tapi memilih untuk mundur….karena tahu cintamu telah penuh.” Ucap Ayumi, dengan suara bergetar, seolah ada beban berat dari dirinya, yang belum rela melepaskan Natan kepada gadis lain.
Air mata Ayumi jatuh, tak kuasa ditahannya, ia tersenyum bahagia. Tak semua cinta harus dimiliki. Tapi cinta yang jujur, layak untuk dihormati.
Sunyi, hanya suara angin berdesir pelan menyambut senja di balkon. Natan mendekat, bermohon maaf kepada Ayumi, menggenggam tangannya dan perlahan melepaskannya. Mereka pun berpisah di sore itu, tanpa ada hati yang memendam rasa amarah lagi.
***
Tuan Hamada marah besar kepada Natan. Setelah tahu putrinya tidak menjadi pilihan pendamping hidupnya. Seluruh proyek kerja sama yang telah mereka sepakati, diputus sepihak oleh Tuan Hamada. Natan kecewa. Hidupnya telah berakhir, sebab usaha yang telah dirintisnya mendapatkan murka dari kolega-kolega Tuan Hamada juga di Kota Tokyo. Ia pun pasrah, dan tidak mungkin meminta belas kasihan kepada Tuan Hamada dan para kolega bisnisnya.
Kegagalan proyek yang telah dirintis Natan yang bekerjama dengan perusahaan Tuan Hamada terdengar oleh Ayumi. Secara sengaja, staf di perusahaan ayahnya mengirimkan pesan kepadanya. Staf perempuan itu adalah teman kuliah Ayumi dulu di kampus yang sama.
Ayumi pun sedih dengan kondisi Natan, mengalami keterpurukan di bisnis properti yang telah dirintisnya. Ayumi tahu kalau sosok Ayahnya sangat kejam, pasti seluruh kolega ayahnya ikut terlibat menghancurkan bisnis Natan. Dan praduga Ayumi benar, semua telah dijelaskan oleh staf perusahaan yang merupakan teman Ayumi.
“Dugaan kamu benar, Ayumi. Seluruh kolega Tuan Hamada turut serta menghancurkan bisnis Pak Natan di Tokyo.” Jawab Haruka, teman Ayumi.
Setelah pertanyaan Ayumi meminta informasi tentang beberapa proyek kerja sama Natan dengan perusahaan Ayahnya dan para koleganya dijawab lugas oleh Haruka.
“Terima kasih informasinya, Haruka. Maaf kalo membuat mu menjadi merasa bersalah, karena membocorkan informasi penting kepadaku.” Balas Ayumi dengan perasaan bersalah kepada Haruka.
“Tidak apa-apa, Ayumi. Aku ingin membalas jasa-jasa baikmu dulu padaku. Semoga informasi ini dapat membantumu.” Ucap Haruka meyakinkan Ayumi, bahwa tidak ada yang harus disalahkan dengan kebenaran informasi ini.
***
Setelah mengumpulkan keberanian dan tekad yang kuat. Ayumi menelpon untuk bertemu langsung di tempat kerja Ayahnya, pertemuan antara Anak dengan Ayah tepatnya.
Ayumi datang menemui Ayahnya. Ia pun bersikap dewasa. Tidak ingin menghardik orang tuanya dengan perkataan kasar. Walau pun ia mencintai Natan, Ayumi tahu rasa cintanya tidak mungkin berbalas.
Di depan meja kerja ayahnya, Ia duduk berhadapan dengan sosok yang dikaguminya, sebab setelah kehilangan ibunya, sosok ayahnya yang telah menginspirasi hidupnya. Ia yakin, kemarahan Ayahnya kepada Natan, karena rasa cintanya kepada dirinya. Ayahnya tidak ingin melihat putrinya kecewa dan berlarut-larut dalam kesedihan.
“Ayah, maafkan Natan. Ia tidak bersalah atas sikap yang telah dipilihnya. Itu pilihan hidupnya, Ayah. Kumohon kepadamu.” Pinta Ayumi memulai pembicaraan, dengan nada memelas dan menahan rasa sedih yang teramat dalam. Ia tidak mau kehilangan, kelembutan hati Ayahnya yang selama ini ia rasakan, yang mencintai dan menyayanginya, bukan sosok yang sekarang, penuh amarah dan kebencian.
“Kenapa Yumi begitu tulus memohon maaf kepada Ayah atas kesalahan yang diperbuat Natan kepadamu. Dunia ini akan kuberikan untukmu, tanpa engkau bermohon kepadaku, putriku.” Balas Ayahnya kepada Ayumi dengan wajah penuh kasih sayang, yang sedari tadi wajahnya masih marah dan benci kepada Natan.
Mereka berdua saling tatap, Ayumi dengan sigap memeluk sang Ayah. Ia meneteskan air mata bahagia, dengan jawaban sang Ayah kepadanya, berarti permohonan maaf Natan melalui dirinya telah diterima.
“Terima kasih Ayah, kamu adalah sosok pria yang sangat ku sayangi dan ku cintai di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan sosok Ayah, penuh kasih sayang kepada Yumi.” Ucap Ayumi sambil memeluk erat Ayahnya dan balasan sang Ayah mendekap erat Ayumi juga dalam pelukannya, berusaha menenangkan kesedihan melanda hati putrinya.
***
Natan telah menduga, perubahan yang terjadi pada beberapa proyek kerja sama yang telah diputus secara sepihak dengan Perusahaan Tuan Hamada dan para koleganya begitu cepat membaik. Kembali berjalan normal, tanpa ada permasalahan yang pernah terjadi sebelumnya.
Pasti ada kebaikan dirinya yang masih tersimpan di dalam relung hati Ayumi. Sehingga kegagalan yang menimpa proyeknya kemarin, kini telah selesai dan berakhir sukses.
“Terima kasih Ayumi, maafkan diriku yang telah membuatmu susah.” Ucap Natan memulai pembicaraan melalui sambungan telepon kepada Ayumi.
“Aku tidak pernah takut kehilangan siapapun di dunia ini, kecuali sosok Ayahku, Natan. Kita sama-sama sedang memperjuangkan cinta dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.” Balas Ayumi kepada Natan.
Dan Ayumi merasa tidak pernah direpotkan oleh Natan, sebab ia memperjuangkan sebuah cinta yang telah lama tumbuh di dalam hati mereka masing-masing. Cinta Natan kepada gadis pujaan hatinya di kampung halaman. Begitu pula cinta Ayumi kepada Ayahnya, harus ia perjuangkan, sebab ia tidak ingin kehilangan sosok Ayahnya, karena rasa benci dan amarah kepada Natan yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian.