Senin, 16 Juni 2025


PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU


Anakku...

Kau hadir seperti fajar yang kutunggu

Membelah malam panjang penuh tanya

Tangismu pertama kali

Adalah lagu paling indah

Yang pernah Ayah dengar di dunia


Kau adalah langkah pertama Ayah

Menjadi manusia seutuhnya

Belajar mencintai tanpa syarat

Menjaga tanpa keluh

Memberi tanpa menuntut kembali


Lalu waktu berjalan…

Dan kau tumbuh dalam diam

Menguatkan diri saat cinta terasa terbagi

Saat pelukan mulai lebih banyak untuk adikmu

Kau menunduk, menahan rindu

Yang tak pernah sempat kau ucapkan


Tapi, ketahuilah, Nak...

Kasih Ayah padamu

Bukan benda yang bisa habis dibagi

Ia adalah matahari

Yang bisa menyinari tiga hati

Tanpa mengurangi hangatnya


Maafkan Ayah,

Yang sering terlalu lelah

Yang kadang lupa memeluk

Terlalu sering bicara tanggung jawab

Tapi lupa menyebut cinta


Kau bukan sekadar anak pertama

Kau adalah awal dari segalanya

Langkah pertama

Doa pertama

Harapan pertama


Jangan bersedih, anakku

Kau kuat bukan karena tak pernah menangis

Tapi karena tak pernah berhenti mencintai

Ayah bangga padamu

Dengan segenap jiwa


Dan bila dunia terlalu berat untukmu

Pundak Ayah…

Selalu ada untukmu

Selamanya…


Kisaran, 15 Juni 2025

Kamis, 12 Juni 2025

BAYANG DI UJUNG SENJA

Senyumannya tak lagi sama. Hati beku, seolah telah padam. Namun, harapan tidak boleh hilang. Untuk dapat mencintai dirinya. Kesalahan telah diperbuat, semoga pintu maaf masih terbuka. Perasaan berkecamuk, antara kebencian dan cinta. Meski rasa itu telah pergi, harapan masih ada. 


Dulu, senyumnya adalah cahaya pagi yang menghangatkan hari-hari Damar. Kini, senyum itu telah redup, hilang entah ke mana, seakan tak pernah hadir untuknya. Rania, sang bidadari yang pernah mengisi relung hatinya, telah pergi. Bukan karena jarak, tapi karena luka yang Damar torehkan sendiri.

Kesalahannya bukan kecil, ia mengabaikan, menyakiti tanpa sadar, dan terlambat menyadari bahwa cinta tidak selalu menunggu. Kata-katanya tajam, tindakannya dingin, hingga saat itu tiba, Rania memilih pergi…tanpa menoleh lagi.

***

Damar dan Rania telah menjalin kasih tiga tahun lamanya. Rania, wanita yang penuh kesetiaan dan perhatian kepada Damar. Setelah menginjak tahun ketiga hubungan mereka, Damar mulai berubah. Bukan karena ia tak cinta, tapi karena terlalu fokus mengejar ambisi dan cita-citanya. Ia mulai menjauh, bersikap dingin, dan meremehkan perasaan Rania. Ia lupa bahwa cinta tak bisa dibiarkan tumbuh sendiri.

Puncaknya terjadi ketika Rania sedang mengalami masa sulit, ayahnya sakit keras, keluarganya mengalami masalah finansial, dan ia membutuhkan sandaran. Tapi Damar, sandaran hatinya, justru menghilang.

Bukan hanya itu. Dalam satu malam penuh emosi, Damar sempat menuduh Rania terlalu bergantung padanya. Ia mengucapkan kalimat yang tak pernah bisa dilupakan Rania:

"Kamu ini terlalu lemah. Semua masalah kamu lempar ke aku. Aku juga punya hidup sendiri!"

Rania tidak berkata apa-apa malam itu. Ia hanya menangis diam-diam, lalu pergi, dan tidak kembali.

Beberapa minggu setelahnya, Damar sadar, bukan Rania yang lemah, tapi ia yang gagal menjadi sandaran. Ia menghancurkan kepercayaan yang selama ini dibangun dengan cinta dan kesabaran.

***

Sudah berbulan-bulan Damar hidup dalam penyesalan. Ia mencoba menulis, memahat kenangan dalam puisi, menggali makna dari tiap air mata. Tapi semua itu tak cukup. Maaf belum datang, dan Rania pun tak pernah memberi tanda. Untuk memberi maaf kepada Damar.

Namun Damar tahu, harapan adalah teman yang tak pernah meninggalkannya. Maka, ia mulai menapak perlahan, berjalan menyusuri tempat-tempat kenangan yang dulu pernah mereka singgahi. Ia menanam bunga di taman kecil pinggir kota, tempat mereka pernah duduk bersama, sambil mendengarkan rintik hujan yang turun membasahi tanah taman kota.

Saat malam tiba, Ia menulis surat diheningnya malam, lalu membakarnya saat fajar menyingsing, bukan karena putus asa, tapi menebus kesalahan dengan kejujuran.

Hari demi hari dilalui, ia belajar menjadi pribadi yang baru. Bukan untuk menunjukkan perubahan, tapi untuk menjadi lebih baik, meski cinta itu tak pernah kembali.

***

Damar berdiri di bawah lampu kamar yang remang. Di tangannya selembar surat yang telah kusut. Ia menatap langit, lalu berbicara, seolah kepada Rania yang tak terlihat.

“Sudah berbulan-bulan aku berjalan, Ran...

Bukan ke tempat yang jauh-tapi ke dalam diriku sendiri. Setiap langkah di taman tempat kita dulu berbagi tawa, adalah langkah yang mengingatkanku pada hari-hari ketika aku lupa menjadi manusia, yang seharusnya ada untukmu. Menjadi sandaranmu.

Aku menanam bunga di sana. Satu per satu. Bukan karena aku ingin kau melihatnya, tapi karena aku butuh melihat sesuatu tumbuh…dari luka yang aku tanam sendiri.

Setiap malam, aku menulis surat. Bukan untukmu, tapi untuk hatiku sendiri. Lalu kubakar saat fajar. Bukan karena aku ingin melupakan, tapi karena aku ingin menebus kesalahan.

Dengan setiap huruf yang terbakar, aku hancurkan ego,

aku bakar angkuhku.

Kau tahu, Ran? Keheningan adalah guru yang tak pernah berbohong. Dan selama ini, aku mendengarnya.

Aku salah. Dan kesalahan itu bukan hanya menyakitimu.

Tapi membunuh bagian terbaik dalam diriku.

Tapi aku tak di sini untuk meminta maaf itu datang.

Tidak. Karena maaf…bukan hakku.

Aku hanya ingin kau tahu: Jika suatu hari langkahmu kembali melewati taman itu, dan kau melihat bunga yang mekar di bawah rinai hujan

Ketahuilah…itu tumbuh dari penyesalan yang jujur.

Dan dari cinta, yang tak pernah benar-benar pergi.”

***

Suatu senja, saat matahari menggantung rendah di ujung cakrawala, Damar berdiri di tepi danau. Tempat terakhir ia dan Rania bertemu, tempat di mana ia berjanji untuk berubah, namun tak kunjung terjadi. Kini ia kembali, bukan untuk meminta, tapi untuk menyerahkan seluruh harapannya kepada waktu.

Tak disangka, Rania datang menghampiri, tak disengaja, katanya. Matanya menatap Damar lama, dingin namun tak sekeras dulu.

“Kenapa dirimu masih di sini?” tanya Rania pelan kepada Damar.

Damar tersenyum, getir namun tulus. “Meski cintamu telah pergi, aku masih mencintaimu. Bukan untuk memaksamu kembali, hanya ingin kau tahu…aku tak pernah lari dari kesalahan.” Balas Damar dengan nada penuh penyesalan.

Rania tak menjawab. Tapi matanya, yang semula beku, mulai mencair. Entah karena angin senja atau karena kejujuran perasaan Damar yang sampai di relung hatinya.

Dan di tengah senyapnya senja, tak ada janji yang dibuat. Tak ada pelukan, tak ada kata cinta. Hanya dua manusia yang saling menatap, menyadari bahwa perjuangan tak selalu tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk menghadapinya.

***

Senja berganti malam. Danau masih tenang, seolah ikut menahan napas menyaksikan pertemuan yang tak terduga itu. Rania masih berdiri di tempatnya, diam, menatap lelaki yang dulu telah membuatnya menangis tanpa suara.

“Sudah berapa lama kamu menunggu di tempat ini?” tanyanya Rania lirih.

“Cukup lama untuk belajar menunggu tanpa mengeluh. Cukup lama untuk sadar bahwa kehilanganmu… mengajarkanku menjadi manusia yang lebih baik.” Jawab Damar kembali.

Jawaban itu membuat dada Rania sesak. Dulu, ia pergi karena merasa Damar tak lagi memperjuangkannya. Ia lelah menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Tapi kini, yang berdiri di hadapannya bukan Damar yang dulu. Mata itu penuh kejujuran, bukan lagi keangkuhan. Suaranya tenang, bukan lagi membungkam.

***

Rania menatap ke danau, lalu kembali menatap langit. Bintang pertama malam itu muncul perlahan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata,

“Aku tak pernah benar-benar berhenti mencintaimu, Damar. Tapi aku takut. Takut kamu akan menyakitiku lagi.” Ucap Rania dengan nada penuh kejujuran.

Damar mendekat, namun menjaga jarak. “Aku tak bisa menjanjikan dunia, Ran. Tapi aku bisa janjikan satu hal: kali ini aku akan berjalan bersamamu, bukan di depanmu, dan bukan pula meninggalkanmu.”

Air mata jatuh di pipi Rania. Bukan karena luka, tapi karena hatinya yang pelan-pelan luluh.

Lalu, dengan langkah perlahan, ia menghampiri Damar. Mereka berdiri berhadapan, hanya sejengkal jaraknya. Tak ada pelukan dramatis, hanya genggaman tangan yang sederhana, tapi hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rania tersenyum, senyum yang dulu hilang, kini kembali menghiasi wajahnya.

“Kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki semuanya,” katanya pelan,

“Maka mari kita mulai dari awal. Bukan sebagai kelanjutan dari masa lalu, tapi sebagai dua orang yang memilih untuk memulai lagi, dengan hati yang baru.”

Damar mengangguk. Malam pun terasa lebih terang dari biasanya.

Di tepi danau itu, dua hati yang dulu hancur perlahan disatukan kembali. Bukan oleh kata-kata manis, tapi oleh kejujuran, luka yang disembuhkan, dan cinta yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan senyuman itu…kini telah kembali. Bukan sekadar kenangan, tapi sebagai harapan yang menjadi nyata.

Senin, 09 Juni 2025

MATAHARI MASIH BERSINAR

Sore itu, di kamar kos sempitnya hanya diterangi lampu meja, Rian duduk menatap layar laptopnya. Tumpukan buku kuliah terbuka di sampingnya, menunggu untuk dipelajari. Matanya lelah, pikirannya penuh, tapi bukan hanya karena tugas kuliah. Ada beban lebih hebat lagi menghimpit pikirannya, rasa kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.


Jauh di kampung halaman, orang tuanya sibuk dengan kehidupan mereka. Orang tuanya selalu berbicara tentang perjuangan untuk keluarga, tentang bagaimana mereka bekerja keras demi menjaga kehormatan di mata sanak saudara. Tapi, Rian merasa dirinya hanyalah bayangan semata di balik semua itu.

Sedari kecil, ia tumbuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti, keluarganya akan berdiri di sampingnya, mendukung seluruh impiannya. Namun ternyata, kenyataan berkata lain. Setiap kali Rian bercerita tentang kesusahan hidupnya di perantauan, jawabannya selalu sama, “Kamu harus kuat. Jangan mengeluh. Kami juga sedang berjuang di sini.”

Di layar ponselnya, ramai percakapan di grup keluarga yang tak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Hanya tentang acara keluarga, tentang pencapaian saudara-saudaranya, tapi tidak pernah ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, “Rian, bagaimana kabarmu disana? Kapan kuliahmu akan selesai?”.

Ia menghela nafas, mematikan layar laptopnya. Tidak ada gunanya larut dalam kekecewaan. Ia telah sampai sejauh ini, bukan karena dukungan mereka, tapi karena tekad dan usahanya sendiri.

Suasana malam semakin larut, tapi Rian masih tetap terjaga. Dibalik kesunyian malam, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu saat nanti ia akan berhasil. Bukan untuk membuktikan diri pada keluarga yang tak pernah peduli, tapi untuk penghargaan terhadap dirinya sendiri. Karena pada akhirnya nanti, hanya dirinya yang benar-benar tahu seberapa berat perjuangan ini.

***

Aktivitas hari ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya, pagi kuliah, sore bekerja paruh waktu, dan malam harinya belajar sampai larut malam, kembali mengulanginya lagi esok hari. Rutinitas yang dijalani Rian hampir sepanjang tahun. Terkadang rasa jenuh dan bosan itu datang, tapi Rian tidak menghiraukannya. Selama matahari masih bersinar, ia tidak pernah lelah menggapai impiannya.

Sudah seminggu, sejak pesan itu sampai kepada orang tuanya di kampung halaman, meminta tambahan uang bulanan. Kemungkinan tidak direspon sudah pasti, sebab permintaan ini sudah pernah sampai dua bulan yang lalu kepada orang tuanya. Mereka melupakan begitu saja, tidak ada kabar dan kepedulian kepada dirinya. Ia sudah hafal pola ini, setelah pesan dikirim, dibaca, dan dilupakan begitu saja.

Rian tidak lagi berharap banyak. Ia sering kecewa. Sejak meninggalkan kampung halaman, mengejar mimpi menjadi seorang arsitek, ia tahu tantangannya, berjuang sendiri. Orang tuanya sibuk membantu keluarga besar di desa, membantu paman merintis usaha, membiayai sepupu menikah, dan ikut membiayai renovasi rumah nenek, sedang untuknya? Tidak ada.

Awalnya, ia sampaikan kebutuhan dan biaya hidupnya di perantauan, ia berharap ada perhatian, tapi seiring berjalannya waktu, ia berhenti menunggu jawabannya. Ia tahu, ia harus bertahan, sebab tidak ada pilihan lagi.

Karena itu, ia bekerja paruh waktu, mencuci piring di warteg, menjadi asisten dosen, bahkan mengerjakan tugas dari mahasiswa lain, untuk mendapatakan uang tambahan. Lelah? Sudah pasti, tapi ia bertahan dan tidak boleh menyerah.

Selama matahari masih bersinar, ia berdiri dan berjuang. Untuk dirinya, sebab di dunia ini, terkadang orang yang bisa diandalkan adalah diri sendiri.

***

Rian menatap jendela kamar kosnya, memikirkan jalan mana yang harus dipilih, saat angin malam berhembus pelan, membawa kegelisahan yang tak kunjung reda. Di satu sisi, ia tinggal selangkah lagi menuju kelulusan. Tapi di sisi lain, ia masih memiliki tunggakan uang kuliah yang segera dilunasi. 

Tak berselang lama, pesan Rian yang dikirim kepada sahabatnya, mengerjakan proyek dosen mereka di luar kota. Akhirnya, balasan pesan sahabatnya sampai ke ponselnya.

“Bro, ikut kami saja kerjakan proyek dosen. Enam bulan cukup untuk melunasi semua biaya kuliahmu yang masih terhutang. Nanti kamu bisa ikut wisuda tanpa beban lagi.”

Sebuah tawaran yang menggiurkan. Tapi, akan menunda kelulusannya, yang ia perjuangkan mati-matian selama ini. Di sisi lain, tetap bertahan di kota ini tanpa kepastian dana, membuatnya semakin terpuruk. Mencari pinjaman? tapi dari siapa, orang tuanya? Hanya berkata: “Tidak ada dana, sabarlah.”

Rian menutup matanya sejenak, ia terlalu lama bersabar. Untuk kali ini, ia harus membuat keputusan. Malam ini, ia bersujud, memohon petunjuk kepada Tuhannya. Semoga diberikan pilihan yang benar untuk masa depannya. Setelah ia bangkit dari sajadahnya, hatinya kembali tenang. Apa pun pilihannya, ia tahu perjuangan belum berakhir, melangkah atau bertahan sejenak, satu hal yang pasti, ia harus menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

***

Enam bulan berlalu, dan Rian kembali ke kota tempat semua perjuangannya bermula. Tak ada spanduk penyambutan, tak ada peluk haru dari keluarga, hanya dirinya dan sebuah koper yang mulai lusuh karena terlalu sering menemaninya berpindah-pindah tempat kos. Ia menginjakkan kaki kembali di kampusnya dengan hati yang lapang. Uang sudah terkumpul, tunggakan lunas, dan ia siap kembali mengejar mimpinya yang sempat tertunda.

Satu demi satu langkah kecil ia tempuh, menyelesaikan skripsi yang sempat terbengkalai, menyiapkan laporan KKN, hingga akhirnya tiba hari yang selama ini hanya berani ia impikan: hari wisuda.

***

Gedung auditorium dipenuhi wajah-wajah penuh senyum, orang tua memeluk anak-anak mereka dengan bangga. Rian berdiri sendirian, mengenakan toga yang disewa dari koperasi kampus. Ia tersenyum kecil, pahit manis hidup ini seolah terwakili oleh kain hitam di tubuhnya.

Namun ketika namanya dipanggil naik ke panggung, seluruh ruang seolah membeku sesaat. Ia melangkah kan kaki ke depan, suara riuh kecil terdengar di antara barisan belakang penonton.

"Rian!"

Ia menoleh. Di antara kerumunan, berdiri ibu dan ayahnya, berpakaian sederhana, wajah mereka menua, lelah, namun kali ini penuh penyesalan dan haru. Mereka datang. Terlambat, mungkin. Tapi tetap datang.

Setelah turun dari panggung, mereka menghampirinya. Ibunya memeluknya erat, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah.

“Maafkan kami, Nak... Kami terlalu sibuk menjaga harga diri di depan orang lain, sampai lupa kamu sedang berjuang sendiri.”

Rian diam sejenak. Hatinya berkecamuk. Ada luka, ada kecewa, tapi juga ada kelegaan. Ia mengangguk pelan.

“Aku tidak butuh maaf. Aku cuma butuh kalian tahu… aku sampai di sini bukan karena siapa-siapa. Tapi aku senang kalian datang.”

Hari itu, matahari bersinar terang. Bukan sekadar terang biasa, tapi hangat, menyinari lembar baru hidup Rian. Tak lama setelah wisuda, ia diterima di sebuah firma arsitektur ternama lewat proyek luar kota yang dulu ia kerjakan. Bukan karena koneksi, tapi karena kualitas karyanya yang luar biasa.

Ia menyewa apartemen kecil di tengah kota, mulai hidup mandiri dengan penghasilannya sendiri. Setiap kali ia membuka jendela dan melihat matahari pagi, ia tersenyum. Bukan lagi senyum getir, tapi senyum pemenang, karena ia tahu, semua luka, semua lelah, telah berubah menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depannya.

Dan saat ia menggambar rancangan rumah pertamanya untuk klien, bukan rumah megah, melainkan rumah kecil sederhana di desa, ia menulis di pojok bawah kertas itu:

Untuk semua pemuda yang berjuang sendirian: matahari masih bersinar, dan kita masih punya harapan.”

Minggu, 01 Juni 2025

CINTA DAN HARAPAN

Hidup tetap berlanjut, sebab waktu tidak menginginkan sang hujan datang di kala senja. Dan saat malam tiba, hujan pun turun deras di sudut kota Tokyo. Di balik jendela apartemen kecilnya, Natan duduk termenung. Secangkir kopi panas, tak lagi menarik untuk diseruput olehnya. Matanya masih terpaku pada sebuah photo usang, wajah seorang gadis desa yang tersenyum simpul, sambil mencium aroma bunga mawar di tangannya. Namanya Nia.


Lima tahun yang lalu, sebelum keberangkatannya ke Kota Tokyo, Jepang, Natan dan Nia saling berjanji satu sama lain. Natan menggenggam erat tangan sang gadis, bersumpah setia di hadapan langit senja.

“Tunggu aku, Nia. Aku akan kembali. Bukan sebagai laki-laki biasa, tetapi seseorang yang akan hidup bersamamu, membangun keluarga kita nantinya.” Ucap Natan kepada Nia.

***

Namun, takdir terkadang suka bermain-main dengan mereka yang terlalu yakin pada rencana. 

Di tengah euphoria menyusun proposal akhir proyek. Datanglah seorang pria tua, pemilik perusahaan besar di Kota Tokyo, Tuan Hamada. 

“Aku menyukai semangatmu, Natan. Kau seperti diriku saat muda dulu. Dan kau tahu? Aku punya seorang putri. Dia terlalu lama hidup dengan dunia yang terkadang tak mengerti akan dirinya. Aku ingin menjodohkanmu dengannya.” Ucap Tuan Hamada kepadanya.

Natan terdiam. Ia pikir itu hanya sekedar basa-basi. Tapi Tuan Hamada melanjutkannya dengan tatapan penuh makna, “Natan, anggap ini sebagai proyek jangka panjang dan bentuk kerjasama kita. Jika kau menjadi bagian dari keluargaku, proyek ini akan segera menjadi milikmu.”

***

Tokyo, 1 bulan sebelum cerita perjodohan.

Sore itu, di pasar tradisional distrik tua Kota Tokyo, riuh penjual dan pedagang seperti hari-hari biasanya. Seorang gadis muda, mengenakan jaket hitam dan syal orange, melangkah pelan di antara kios-kios sayur dan rempah-rempah. Wajahnya tertutup masker, namun sorot matanya terlihat gelisah, gadis itu adalah Ayumi. Ia sengaja keluar dari kehidupan yang glamor dan gedung tinggi tempat ia bersama teman-temannya bersenda gurau menghabiskan waktu bersama. Ia menepi sejenak, dan ingin hidup seperti orang-orang yang pernah diceritakan oleh ibunya yang telah wafat, saat ia masih duduk di sekolah dasar. Hidup dengan orang-orang yang selalu berjuang dengan kehidupan, tepatnya di pusat pasar tradisional di distrik tua Kota Tokyo.

Tiba-tiba seorang pria menyenggolnya dengan tidak sengaja, dalam hitungan detik, tas kecil yang di tentengnya lenyap seketika. Ayumi terdiam tanpa perlawanan, ia terpaku, seolah dunia hening seketika. Namun dari arah yang berlawanan, seorang pria dengan ransel tua sigap berlari menerobos kerumunan orang yang berlalu lalang. Mengejar pencopet yang berlari kencang menjauh dari keramaian.

“Berhenti, kau!” teriak sang pemuda.

Tanpa ragu, pria itu terus mengejar pencopet hingga ke lorong yang sempit. Setelah melihat dengan jelas si pencopet, seketika itu si pemuda berlari dan melompat ke arah pencopet, pemuda itu berhasil merebut kembali tas tersebut.

Nafasnya tersengal, dan menghampiri kembali sang gadis. Tas diserahkan kembali kepada Ayumi, tapi tangan sang pemuda sedikit berdarah akibat ulah dari pencopet tadi, saat mereka saling tarik menarik tas milik Ayumi di lorong sempit tadi. 

“Ini tas Anda, hati-hati dengan barang bawaan Anda kalau sedang di pusat keramaian seperti ini.” Ucap si pemuda sambil menyerahkan tas kepada sang gadis. Lalu tersenyum kecil, tanpa menyebutkan nama, tanpa meminta imbalan dan berlalu begitu saja.

“Terima kasih Tuan.” Ucap Ayumi kepada si pemuda. Ayumi hanya bisa terdiam membisu, masih belum percaya kejadian ini menimpanya. Ia genggam tas nya dengan erat, takut kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Jantungnya berdegup kencang, mata itu, senyum itu dan ketulusan si pemuda penyelamat tasnya terus membekas diingatan dan relung hatinya. 

***

1 bulan kemudian

Dunia masih sibuk dengan aktivitasnya, dan seketika menghukum jarak kewarasan sang gadis yang masih belum bisa melupakan kejadian itu.

Ayumi bergegas mengangkat ponselnya, sedari tadi berdering meminta untuk dijawab. 

“Yumi, segera datang ke ruangan kerja Ayah.” Ucap sang Ayah kepadanya.

“Iya, Ayah.” Balasnya kepada Ayahnya. Ayumi sudah menduga kejadian ini akan datang, ia harus menuruti permintaan Ayahnya, untuk diperkenalkan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya. 

Pria itu yang kini mengenakan jas rapi dan berbicara penuh keyakinan kepada Ayahnya, adalah pria yang telah menyelamatkan tasnya dari aksi pencopetan di distrik tua Kota Tokyo sebulan yang lalu. 

Ternyata Natan, yang dengan polosnya, tidak pernah mengenali dirinya. Wajahnya datar, sopan. Seperti tak pernah berbagi momen apa pun dengan sang gadis, Ayumi. 

“Perkenalkan ini anakku, Ayumi. Sosok yang sangat ku sayangi dalam hidupku, Natan.” Ucapan Tuan Hamada kepada Natan.

Sejak saat itu, Natan dan Ayumi telah berkenalan, walau Ayumi masih menyimpan cerita indah tentang kenangan di distrik tua Kota Tokyo.

***

Balkon gedung kantor, saat langit senja mulai menggantungkan kelabu, angin berdesir perlahan. Natan dan Ayumi berjanji untuk bertemu di tempat itu. Mereka berusaha saling jujur berbicara perasaan masing-masing.

Natan menemui Ayumi, sedari tadi telah menunggunya. Mereka diam sejenak. Lalu Natan memulai pembicaraan mereka.

“Aku…tahu kau tidak menginginkan cerita perjodohan ini terus berlanjut Ayumi.” Ucap Natan memulai pembicaraan.

Ayumi tidak menoleh, masih terus menatap langit. “Aku tahu hati kita berat untuk menerima ini. Aku bahkan tidak mengenalmu seutuhnya, Natan.” Balas Ayumi kembali.

Natan menarik nafas dengan berat. “Ada seseorang gadis yang sedang menunggu diriku di kampung halaman, Ayumi. Dia bukan siapa-siapa, dia gadis biasa. Sederhana dan bersahaja. Gadis yang pernah ku genggam tangannya untuk berjanji setia kepadanya.”

Ayumi pun terdiam sejenak, perlahan melanjutkan ucapannya. “Aku iri pada gadis itu, bukan karena kau memilihnya. Tapi karena dia punya seseorang yang memilihnya meski dunia menawarkan segalanya kepadanya.”

“Ayumi, kamu terlalu baik. Sangat baik kepada diriku, kalau hidup ini adil, seharusnya dirimu mendapatkan seseorang yang mencintaimu sepenuhnya. Bukan diriku, yang hatinya masih tertambat pada sosok gadis di sana, yang jauh sebelum pertemuan ini terjadi.” Balas Natan kepada Ayumi.

“Kalau nanti kita berpisah, dan dirimu memilih kembali ke gadis itu, bisakah kau sampaikan satu hal kepadanya?” Pinta Ayumi kepada Natan.

“Apa perihal itu, Ayumi.” Balas Natan dengan rasa penasaran.

“Bilang padanya…bahwa ada seorang gadis yang pernah hampir mencintaimu, tapi memilih untuk mundur….karena tahu cintamu telah penuh.” Ucap Ayumi, dengan suara bergetar, seolah ada beban berat dari dirinya, yang belum rela melepaskan Natan kepada gadis lain.

Air mata Ayumi jatuh, tak kuasa ditahannya, ia tersenyum bahagia. Tak semua cinta harus dimiliki. Tapi cinta yang jujur, layak untuk dihormati.

Sunyi, hanya suara angin berdesir pelan menyambut senja di balkon. Natan mendekat, bermohon maaf kepada Ayumi, menggenggam tangannya dan perlahan melepaskannya. Mereka pun berpisah di sore itu, tanpa ada hati yang memendam rasa amarah lagi.

***

Tuan Hamada marah besar kepada Natan. Setelah tahu putrinya tidak menjadi pilihan pendamping hidupnya. Seluruh proyek kerja sama yang telah mereka sepakati, diputus sepihak oleh Tuan Hamada. Natan kecewa. Hidupnya telah berakhir, sebab usaha yang telah dirintisnya mendapatkan murka dari kolega-kolega Tuan Hamada juga di Kota Tokyo. Ia pun pasrah, dan tidak mungkin meminta belas kasihan kepada Tuan Hamada dan para kolega bisnisnya.

Kegagalan proyek yang telah dirintis Natan yang bekerjama dengan perusahaan Tuan Hamada terdengar oleh Ayumi. Secara sengaja, staf di perusahaan ayahnya mengirimkan pesan kepadanya. Staf perempuan itu adalah teman kuliah Ayumi dulu di kampus yang sama.

Ayumi pun sedih dengan kondisi Natan, mengalami keterpurukan di bisnis properti yang telah dirintisnya. Ayumi tahu kalau sosok Ayahnya sangat kejam, pasti seluruh kolega ayahnya ikut terlibat menghancurkan bisnis Natan. Dan praduga Ayumi benar, semua telah dijelaskan oleh staf perusahaan yang merupakan teman Ayumi.

“Dugaan kamu benar, Ayumi. Seluruh kolega Tuan Hamada turut serta menghancurkan bisnis Pak Natan di Tokyo.” Jawab Haruka, teman Ayumi.

Setelah pertanyaan Ayumi meminta informasi tentang beberapa proyek kerja sama Natan dengan perusahaan Ayahnya dan para koleganya dijawab lugas oleh Haruka.

“Terima kasih informasinya, Haruka. Maaf kalo membuat mu menjadi merasa bersalah, karena membocorkan informasi penting kepadaku.” Balas Ayumi dengan perasaan bersalah kepada Haruka.

“Tidak apa-apa, Ayumi. Aku ingin membalas jasa-jasa baikmu dulu padaku. Semoga informasi ini dapat membantumu.” Ucap Haruka meyakinkan Ayumi, bahwa tidak ada yang harus disalahkan dengan kebenaran informasi ini.

***

Setelah mengumpulkan keberanian dan tekad yang kuat. Ayumi menelpon untuk bertemu langsung di tempat kerja Ayahnya, pertemuan antara Anak dengan Ayah tepatnya.

Ayumi datang menemui Ayahnya. Ia pun bersikap dewasa. Tidak ingin menghardik orang tuanya dengan perkataan kasar. Walau pun ia mencintai Natan, Ayumi tahu rasa cintanya tidak mungkin berbalas.

Di depan meja kerja ayahnya, Ia duduk berhadapan dengan sosok yang dikaguminya, sebab setelah kehilangan ibunya, sosok ayahnya yang telah menginspirasi hidupnya. Ia yakin, kemarahan Ayahnya kepada Natan, karena rasa cintanya kepada dirinya. Ayahnya tidak ingin melihat putrinya kecewa dan berlarut-larut dalam kesedihan.

“Ayah, maafkan Natan. Ia tidak bersalah atas sikap yang telah dipilihnya. Itu pilihan hidupnya, Ayah. Kumohon kepadamu.” Pinta Ayumi memulai pembicaraan, dengan nada memelas dan menahan rasa sedih yang teramat dalam. Ia tidak mau kehilangan, kelembutan hati Ayahnya yang selama ini ia rasakan, yang mencintai dan menyayanginya, bukan sosok yang sekarang, penuh amarah dan kebencian.

“Kenapa Yumi begitu tulus memohon maaf kepada Ayah atas kesalahan yang diperbuat Natan kepadamu. Dunia ini akan kuberikan untukmu, tanpa engkau bermohon kepadaku, putriku.” Balas Ayahnya kepada Ayumi dengan wajah penuh kasih sayang, yang sedari tadi wajahnya masih marah dan benci kepada Natan.

Mereka berdua saling tatap, Ayumi dengan sigap memeluk sang Ayah. Ia meneteskan air mata bahagia, dengan jawaban sang Ayah kepadanya, berarti permohonan maaf Natan melalui dirinya telah diterima.

“Terima kasih Ayah, kamu adalah sosok pria yang sangat ku sayangi dan ku cintai di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan sosok Ayah, penuh kasih sayang kepada Yumi.” Ucap Ayumi sambil memeluk erat Ayahnya dan balasan sang Ayah mendekap erat Ayumi juga dalam pelukannya, berusaha menenangkan kesedihan melanda hati putrinya.

***

Natan telah menduga, perubahan yang terjadi pada beberapa proyek kerja sama yang telah diputus secara sepihak dengan Perusahaan Tuan Hamada dan para koleganya begitu cepat membaik. Kembali berjalan normal, tanpa ada permasalahan yang pernah terjadi sebelumnya.

Pasti ada kebaikan dirinya yang masih tersimpan di dalam relung hati Ayumi. Sehingga kegagalan yang menimpa proyeknya kemarin, kini telah selesai dan berakhir sukses.

“Terima kasih Ayumi, maafkan diriku yang telah membuatmu susah.” Ucap Natan memulai pembicaraan melalui sambungan telepon kepada Ayumi.

“Aku tidak pernah takut kehilangan siapapun di dunia ini, kecuali sosok Ayahku, Natan. Kita sama-sama sedang memperjuangkan cinta dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.” Balas Ayumi kepada Natan.

Dan Ayumi merasa tidak pernah direpotkan oleh Natan, sebab ia memperjuangkan sebuah cinta yang telah lama tumbuh di dalam hati mereka masing-masing. Cinta Natan kepada gadis pujaan hatinya di kampung halaman. Begitu pula cinta Ayumi kepada Ayahnya, harus ia perjuangkan, sebab ia tidak ingin kehilangan sosok Ayahnya, karena rasa benci dan amarah kepada Natan yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian.

PELUKKU, UNTUK CAHAYA PERTAMAKU Anakku... Kau hadir seperti fajar yang kutunggu Membelah malam panjang penuh tanya Tangismu pertama kali Ada...