Rania berdiri di depan cermin. Gaun modern berwarna biru langit terpasang anggun di tubuhnya. Ia tersenyum kecil, meski ada keraguan di matanya. Dari luar kamar, suara ibunya memanggil pelan.
Rania menarik napas panjang.
“Bu, baju kurung itu……sudah ketinggalan zaman. Aku malu kalau nanti dilihat teman-teman.” Ucap Rania kepada ibunya dari dalam kamar.
Pintu kamar terbuka. Ibunya berdiri dengan wajah teduh, matanya berkaca-kaca.
“Nak, nenekmu menenun kain itu dengan tangannya sendiri. Setiap helai benang, ada doa yang ia panjatkan kepada Tuhannya untuk cucunya. Kau satu-satunya yang bisa mewarisinya.” Ucap ibunya dengan nada memelas penuh harap.
Rania menunduk, hatinya tertusuk. Tetapi gengsi telah menutupi rasa bersalahnya.
“Aku tetap pakai gaun ini saja, Bu.” Balas Rania kepada ibunya.
***
Malam kenduri tiba. Rania melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Semua orang melihat kepadanya. Sanak saudara tampil anggun dengan baju kurung warna merah, hijau dan kuning. Sementara ia berdiri canggung dengan gaun modern yang mencolok. Bisik-bisik terdengar.
“Cucu Mak Mun itu…..tak hormat betul, tak mau pakai baju kurung.” Lirih salah seorang tetua adat di kampung itu.
Rania pura-pura tidak mendengar. Ia tahu telah membuat kesalahan dimalam kenduri arwah neneknya. Hatinya perih dan terluka. Terlintas dipikirannya kembali, seolah ingin membenarkan logika dan perasaannya yang salah,
“Baju kurung hanyalah simbol masa lalu yang tidak cocok dengan zaman sekarang.” gumamnya dalam hati.
Selesai acara kenduri berkirim doa arwah nenek Rania, ibunya kembali mendekat kepadanya. Kali ini dengan memberikan sebuah bungkusan tua, di dalamnya berisi sepaket kain tenun halus dari neneknya.
“Ini peninggalan terakhir dari nenekmu. Ambillah Rania. Dan di dalamnya ada secarik surat tulisan tangan dari nenekmu juga.” Ucap Ibunya kepada Rania.
Sambil tangan bergetar hebat. Rania membuka bingkisan itu. Kain tenun halus terbentang. Warnanya memang mulai memudar, tetapi indah. Bersama secarik kertas tulisan tangan neneknya dengan pesan:
“Rania, cucu kesayanganku. Baju kurung bukan sekedar pakaian. Ia adalah marwah kita. Jangan malu mengenakannya, sebab ia adalah saksi siapa engkau sebenarnya. Jika engkau meninggalkannya, engkau seperti pohon tanpa akar. Bawalah ia ke masa depan, agar engkau tak hilang dalam arus zaman.”
Air mata Rania jatuh tak terbendung. Dadanya sesak oleh rasa bersalah. Ia baru sadar betapa jauhnya ia terseret arus modernitas hingga hampir melupakan jati dirinya. Ia pun menggenggam kain tenun itu erat-erat.
“Nenek, maafkan Rania………” tanpa terasa air mata Rania membasahi kain tenun itu.
***
Beberapa bulan kemudian, di acara pameran pekan budaya yang diselenggarakan oleh kampusnya, ia ikut mengenakan baju kurung motif bunga tabur khas melayu dengan penuh kebanggaan dan rasa percaya diri. Teman-temannya tertegun.
“Wah indah sekali bajumu, Ran. Dari mana?” Tanya seorang teman kepadanya.
“Ini baju kurung, kain tenunnya warisan dari nenekku. Di balik setiap tenunnya ada cerita dan doa.” Jawab Rania dengan senyum hangat.
Seorang dosen perempuan mendekat. Sangat mengagumi pakaian yang dikenakan Rania. Dan meminta ia menjelaskan sejarah di balik pakaian itu.
Dengan suara mantap ia berkata,
“Inilah warisan nenekku. Baju kurung adalah kebanggaan kami, suku melayu. Kain tenun ini bukan sekedar kain, tapi ia adalah identitas kami yang mengikat hati dengan leluhur kami.”
“Rania, kamu tak hanya mengenakan pakaian budaya, tapi kamu sedang membawa sejarah. Teruslah banggakan warisanmu.” Ucapa Dosen itu kepada Rania.
Tepuk tangan teman-temannya menggema. Rania berdiri tegak, ia penuh percaya diri dan mengucap penuh rasa syukur. Ia merasa neneknya hadir di sisinya. Tersenyum bahagia kepadanya.
Ia mengerti: modernitas boleh digenggam, tetapi tanpa budaya, hidup hanyalah kosong.
***
Beberapa hari setelah pameran pekan budaya itu, Rania menerima sebuah surat resmi dari pihak universitas. Tangannya bergetar saat membuka surat itu,
“Selamat, Anda terpilih sebagai Duta Budaya untuk mewakili kampus dalam pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Karya anda tentang baju kurung sebagai identitas Melayu telah menginspirasi banyak orang.”
Rania tertegun. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena penyesalan, melainkan kebahagiaan yang sulit digambarkan. Ia teringat kembali pesan neneknya:
“Bawalah ia ke masa depan, agar engkau tak hilang dalam arus zaman.”
***
Di hari keberangkatannya, Rania mengenakan baju kurung warisan sang nenek. Bandara ramai, dan di antara kerumunan ia melihat sosok seorang perempuan tua berkerudung putih, tersenyum lembut menatapnya. Wajah itu……begitu mirip dengan neneknya.
“Bu, itu……” Rania menoleh dengan mata berkaca-kaca kepada ibunya.
Ibunya tersenyum, menepuk bahunya.
“Nenekmu memang sudah tiada, Nak. Tapi cinta dan doanya tidak pernah pergi. Barangkali dengan izin Allah, engkau merasakannya sekali lagi.” Ucap ibunya sembari memeluk Rania dengan penuh kehangatan, menguatkan hati Rania yang rindu sosok neneknya.
Rania terisak, tetapi hatinya penuh kehangatan. Ia merasa benar-benar ditemani.
***
Di negeri seberang, saat acara pekan budaya dunia berlangsung, masing-masing delegasi dari berbagai negara menampilkan pakaian budayanya. Penampilan ini yang paling ditunggu oleh tamu undangan setiap tahunnya, karena setiap delegasi menceritakan filosopi pakaian yang dikenakan mereka nantinya.
Semua mata tamu undangan dan panitia penyelenggara tertuju pada penampilan Rania. Ada nuansa keindahan pada pakaian yang dikenakannya. Tanpa rasa takut dan gentar, Rania berdiri di atas panggung besar, memperkenalkan baju kurung budaya Melayu dari Indonesia kepada ratusan orang dari berbagai negara. Dengan suara bergetar namun mantap, Rania berkata:
“Baju kurung bukan sekedar pakaian. Ia adalah kisah tentang cinta, doa, dan identitas. Ia mengikat kita dengan leluhur, sekaligus menuntun kita menatap masa depan. Hari ini saya berdiri di sini, bukan hanya sebagai Rania, tapi sebagai cucu yang membawa warisan neneknya ke mata dunia.”
Suasana hening. Lalu tepuk tangan tamu dan panitia membahana, sebahagian orang bahkan ada yang meneteskan air mata bahagia.
Rania tersenyum sambil menggenggam kain baju kurung itu. Dalam hatinya ia berbisik,
“Nek, Rania tidak malu lagi. Aku akan menjaga warisanmu sampai akhir hayatku.”
***
Malam itu, setelah pergelaran pekan budaya dunia selesai, Rania kembali masuk ke dalam kamar hotelnya. Tak berselang lama karena penat dan letih yang dirasakannya, ia tak kuasa melawan rasa ngantuk dimatanya yang mulai terpejam dan terlelap tidur. Di dalam tidurnya Rania bermimpi, ia melihat neneknya duduk di beranda rumah nenek di kampung halaman, sedang menenun kain songket motif bunga tabur sambil tersenyum kepadanya.
“Terima kasih cucuku, Rania.” Suara nenek terdengar lembut.
“Engkau adalah jawaban doa-doaku yang telah Tuhan wujudkan dan menjadi nyata.”
Rania seketika terbangun dari tidurnya, tanpa disadari, matanya basah. Namun kali ini, air matanya bukan karena sedih, melainkan karena bahagia yang tak terlukiskan. Ia tahu, cinta neneknya abadi, mengikat mereka dalam pelukan yang tak pernah hilang.
