Minggu, 24 Agustus 2025

RINDU YANG TAK PERNAH SELESAI


Sering kali Arda menatap ke luar jendela kamar kosnya, tatapan membelah malam, melihat bintang di langit kota yang tak pernah seindah langit di kampungnya. Dan setiap itu pula, ia teringat ibu. Senyumnya, suaranya dan kata-katanya masih terus melekat dan terngiang:

“Arda, sudah sore. Jangan main jauh-jauh, waktunya sholat maghrib. Ayo pulang, bergegas ke masjid. Ibu sudah masak makanan pergedel kesukaanmu untuk makan malam nanti.”

Aku rindu, Tuhan, betapa ku rindukan suasana itu. Tapi aku selalu menahan diri, dan berkata pada diriku sendiri,

“Aku belum pantas pulang. Aku harus bawa sesuatu. Aku harus membuat ibu bangga.” 

Padahal ibunya selalu menjadi rumah. Senyum dan doanya, dimana Arda kecil selalu pulang ke dalam pelukan itu. Tak peduli sejauh mana ia bermain.

Dan kini, ketika ia dewasa, mengapa pulang justru menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Selama tujuh tahun lamanya ia merantau mencoba peruntungan di kota besar yang konon katanya penuh peluang hidup sukses. Tapi kenyataannya, yang ia dapatkan hanya serpihan mimpi yang hancur satu per satu. Dan tujuh tahun pula ia menunda kepulangan, menunda memenuhi janji sederhana kepada ibunya: pulang dihari lebaran, meski sebentar saja.

Namun, ia selalu berkata dalam hati, “Aku belum pantas pulang. Aku harus pulang dengan sesuatu. Aku harus membuat ibu bangga.”

Hatinya berperang. Pulang adalah obat rindu. Tapi juga luka bagi harga diri yang hancur. Ia takut dicap gagal. Takut membuat ibunya kecewa, sebab dia hanya memiliki seorang ibu dimana sosok ayahnya telah lama meninggal sebelum ia beranjak masuk ke Sekolah Dasar.

***

Kesuksesan itu tak pernah datang. Usahanya selalu gagal, setelah berhenti dari pekerjaan rutinitasnya menjadi supir pribadi, semakin lama pekerjaannya yang dilakoninya semakin berat, hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Ia memutuskan untuk memulai membangun usaha warung kecil di pinggiran kota, hasil pinjaman dari sana-sini. Arda berpikir, usaha ini adalah awal dari kesuksesan, tapi ternyata ia ditusuk dari belakang, rekan yang dipercaya, membawa kabur modal usahanya yang masih berjalan setahun. Semua barang dagangannya raib, dan Arda terjerat hutang.

Ia mencoba bangkit, pekerjaan serabutan dilakukannya semata-mata untuk bertahan hidup. Siang dan malam bekerja, menutupi hutang usahanya yang gagal dimasa lalu, jika tidak dilunasi, maka bunga hutangnya semakin menumpuk. Semakin lama ia bertahan, semakin jauh ia dari kemenangan. 

Itulah alasan kenapa Arda bertahan di kota ini, berharap esok lebih baik, meski hidupnya semakin sengsara. Tubuhnya semakin kurus, dan wajahnya semakin menua. Ia menelan pahit sendiri, berharap esok akan datang keajaiban.

***

Suatu malam, saat tubuhnya letih setelah bekerja mengangkut karung beras di pasar, teleponnya bergetar, nomor dari kampung. Suara adiknya terdengar serak, tercekat tangis.

“Bang…pulanglah. Ibu sakit keras, ibu selalu memanggil namamu.”

Seolah dunia berhenti berputar. Arda duduk termangu, tangan dan kakinya seolah lunglai tak bertenaga. Ia tak peduli lagi dengan pekerjaan, pada hutang dan pada rasa malu telah dianggap gagal. 

Malam itu tanpa berpikir panjang, ia mengemasi semua barang-barangnya. Lanjut ia memesan tiket bus pulang menuju kampung halamannya. Dengan uang terakhir yang tersisa di dompetnya.

Sepanjang perjalanan, ia menangis dalam diam dan berdoa kepada Tuhannya, sambil menahan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Setiap goncangan roda bus, seolah mengoyak hatinya. Ia selalu berdoa:

“Ya Tuhan, izinkan aku bertemu dengan ibuku. Biarlah aku pulang meski telah gagal diperantauan, asal aku sempat menggenggam tangannya sekali lagi. Mohon Engkau mengabulkan doa dan pinta hamba-Mu ya Tuhan.”

***

Di kampung, seorang ibu yang renta terbaring lemah di ranjang kayu. Nafasnya sudah semakin susah dan tubuhnya kian rapuh. Namun, matanya masih mencari-cari sosok yang belum juga datang, sosok yang sangat dirindukan kehadirannya.

Setiap orang yang datang ke rumahnya, ia panggil dengan nama yang sama,

“Arda, kamu sudah pulang, nak?”

Air mata adik-adik Arda, jatuh setiap kali peristiwa itu terjadi. Mereka tahu, ibu mereka menunggu satu hal sebelum pergi: kepulangan anak sulungnya.

Dalam doa ibunya yang terakhir, ia berbisik lirih kepada Tuhannya :

“Ya Tuhan, kalau memang Engkau tak izinkan aku melihat Arda, anak lelaki ku pulang. Maka titipkan rindu ini pada hatinya. Biarlah rindu ini, menjadi jalan dia kembali pada-Mu.”

***

Bus berhenti di dalam terminal kecil tak jauh dari kampungnya. Udara senja dan awan gelap mulai datang menyambutnya, pertanda hujan ikut mengiringi langkahnya. Arda turun dari bus dengan tergesa-gesa, berlari menembus jalan tanah yang mulai basah dengan rintik hujan yang turun. Langkahnya terseret antara rindu dan cemas. Dadanya berdebar, hatinya penuh doa untuk ibunya.

Setelah sampai di depan rumah, ia melihat suasana yang berbeda. Orang-orang ramai berkumpul di dalam dan halaman rumahnya. Suara isak tangis terdengar jelas olehnya.

“Ibu…Ibu….”

Langkahnya goyah, tubuhnya bergetar hebat saat menaiki satu demi satu anak tangga rumahnya. Ia masuk ke dalam rumahnya, di sana, di atas tikar, tubuh ibunya-diam, terbujur kaku, berselimut kain putih.

Arda terhuyung sembari berlutut, meraih tangan ibunya yang sudah dingin. Kesadaran itu menikam: semua tahun yang ia habiskan menunda pulang, semua alasan demi gengsi dan rasa takut dianggap gagal, justru merampas hal paling berharga dalam hidupnya-waktu bersama ibunya.

“Bu…Arda pulang, Bu. Maaf….maafkan Arda. Arda telah gagal, Bu. Sampai saat ini, belum sempat buktikan apa-apa kepada ibu.”

Tangisnya pecah, memecah sunyi di senja yang mencekik dada. Semua alasan untuk menunda pulang kini terasa hina.

***

Sore itu, setelah pemakaman ibunya, ia berdiri memandangi gundukan tanah basah. Air hujan menyatu dengan air matanya. Walau belum ikhlas mendapatkan takdir ini, Arda dengan ikhlas menerimanya.

Sesampainya di rumah, tak berselang berapa lama, adik bungsunya datang menghampiri, menyerahkan sebuah amplop kusam dari ibunya, dan Arda menatap lama amplop kusam itu.

“Bang Arda, ini surat dari Ibu, dulu dititipkannya kepadaku untukmu sebelum kau pergi merantau. Tapi ibu bilang, bacalah ketika kau benar-benar butuh.” Ucap Adik bungsunya kepada Arda.

“Terima kasih, telah menjaga surat dari Ibu untukku Dik.”Jawab Arda dengan nafas yang tersengal penuh kesedihan.

Dengan tangan bergetar, Arda mulai membuka surat kusam dari Ibunya, tulisan tangan dengan goresan tinta sederhana,

“Arda, jangan takut dianggap gagal. Ibu tidak butuh emas, tidak butuh rumah besar. Ibu hanya butuh kau pulang, meski kau datang dengan baju lusuh dan tangan kosong dari perantauan. Rumah ini akan selalu menunggumu. Jangan pernah menunda, Nak. Terkadang waktu tidak selalu menunggu kita.”

Arda menggenggam surat tulisan tangan dari Ibunya dengan erat, dadanya terasa remuk dan nafasnya seakan berhenti sejenak menahan sebah di relung jiwanya. Rindu yang selama ini ia simpan, telah berubah jadi penyesalan yang tak akan pernah sembuh. Tanpa ia sadarai, air matanya kembali menetes, membasahi pipinya.

***

Namun, kini semua telah berbeda. Tak ada lagi suara ibu yang memanggil dari dapur. Tak ada lagi tangan hangat yang siap menyambutnya pulang.

Sekarang Arda baru mengerti: kadang, pulang bukan tentang membawa keberhasilan. Pulang adalah tentang kehadiran, tentang mengisi rindu yang sederhana. Dan ia telah kehilangan kesempatan itu untuk selamanya.

Kini Arda hanya punya rindu, rindu yang tak akan pernah selesai, rindu yang hanya bisa dipeluk dalam doa dan air mata.

Dan rindu itu, kini abadi. Rindu yang tak akan pernah terjawab. Rindu yang tak pernah selesai. Ia berubah menjadi luka yang akan menemaninya sepanjang hidupnya, mengintai di setiap sudut hati manusia yang pernah menunda pulang karena takut dianggap gagal.

PULAU KAMAYA : DARAH TERAKHIR DI BAWAH LANGIT MERAH

Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seola...