Rabu, 23 Juli 2025

SHRINKFLATION : STRATEGI TERSEMBUNYI DI BALIK INFLASI


Pengertian Shrinkflation

    Shrinkflation adalah gabungan dari dua kata: shrink (menyusut) dan inflation (inflasi). Istilah ini merujuk pada strategi produsen mengurangi ukuran, isi, atau kualitas produk tanpa menurunkan harga, bahkan sering kali harga tetap atau naik. Ini adalah bentuk inflasi terselubung yang tidak langsung terlihat oleh konsumen. Istilah ini pertama kali populer digunakan oleh ekonom asal Inggris, Dr. Pippa Malmgren, sekitar tahun 2009.

    Shrinkflation merupakan bentuk respons pasar yang kompleks terhadap tekanan inflasi yang tidak hanya berdampak pada harga jual, tetapi juga pada struktur produk, strategi pemasaran, dan persepsi konsumen. Fenomena ini mencerminkan adaptasi strategis oleh pelaku usaha untuk mempertahankan margin keuntungan di tengah meningkatnya biaya produksi, tanpa menimbulkan resistensi langsung dari pasar akibat kenaikan harga eksplisit.

Mengapa Shrinkflation Terjadi?

    Dari sudut pandang ekonomi mikro, shrinkflation menunjukkan bagaimana produsen beroperasi dalam kerangka harga psikologis. Konsumen sangat sensitif terhadap harga nominal, tetapi kurang awas terhadap ukuran atau kuantitas, sehingga pengurangan isi menjadi opsi atau pilihan yang secara ekonomi lebih efektif daripada menaikkan harga produk atau jasa.

    Namun dari sisi ekonomi makro, shrinkflation menyembunyikan dampak inflasi aktual di pasar konsumen. Karena harga tetap secara nominal, indikator seperti indeks harga konsumen (IHK) bisa menggambarkan inflasi yang lebih rendah dari kenyataan, sehingga bisa menimbulkan distorsi dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. 

    Shrinkflation biasanya muncul ketika: Biaya bahan baku meningkat, akibat inflasi global, perang, atau kelangkaan. Biaya produksi naik (energi, transportasi dan gaji). Perusahaan ingin menghindari kenaikan harga produk dan jasa karena takut kehilangan konsumen. Tujuannya adalah menjaga margin keuntungan agar tetap stabil.

Bentuk-Bentuk Shrinkflation

    Mengurangi ukuran isi produk, contoh: Cokelat dari 100 gram menjadi 85 gram. Mengurangi kualitas bahan, contoh: Minuman soda yang lebih encer atau mie instan dengan bumbu lebih sedikit. Menghilangkan fitur atau layanan (terutama pada jasa), contoh: Tidak ada lagi sarapan gratis di hotel.

Data dan Kasus Aktual Shrinkflation

Berikut beberapa kasus shrinkflation nyata yang terpantau secara global maupun di Indonesia:

Kasus Internasional (sumber: BBC, Guardian, Reuters)

NestlĂ© – KitKat (UK), dulu: 41,5 gram → Sekarang: 37 gram dan Harga tetap £1;

Doritos (AS), dulu: 283 gram → Sekarang: 269 gram. Perusahaan menyatakan pengurangan dilakukan karena “kenaikan biaya transportasi dan bahan mentah”.

Cereal Kellogg’s (AS), beberapa kotak cereal berkurang dari 500 gram ke 450 gram.

Contoh di Indonesia (sumber: CNBC Indonesia, Kompas, Detik Finance)

Mie Instan, beberapa merek diketahui mengecilkan porsi mi dan jumlah bumbu. Net weight turun 2–5 gram, namun harga tetap.

Produk susu UHT, dulu: 1 liter → Sekarang: 900 ml. Pengurangan terjadi setelah harga susu bubuk impor naik karena pelemahan rupiah.

Minyak goreng kemasan, beberapa merek besar mengurangi isi botol dari 1.000 ml menjadi 900 ml atau bahkan 800 ml, tetapi kemasan tetap besar agar tak mencolok.

Sabun mandi batang dan cair, ukuran 90 gram kini hanya 75 gram pada beberapa merek, namun dikemas seolah tak berubah.

Bagaimana Dampaknya Bagi Konsumen?

        Dari sudut pandang perilaku konsumen, shrinkflation mengeksploitasi kognisi irasional konsumen, yang lebih cepat bereaksi terhadap harga dibandingkan isi. Konsumen merasa harga tidak berubah, padahal nilai yang didapat lebih sedikit. Maka, konsumen harus meningkatkan literasi produk dan harga, serta mulai membiasakan diri mengamati unit cost (harga per gram/ ml/ unit), bukan hanya harga kemasan. Konsumen harus lebih jeli membaca berat bersih, volume, dan komposisi.

Tips Menghadapi Shrinkflation

       Selalu periksa label ukuran, isi, dan berat sebelum membeli produk. Bandingkan harga per gram/ml antar merek untuk mengetahui mana yang lebih ekonomis. Gunakan aplikasi pembanding harga atau forum konsumen untuk update info. Perhatikan tanda-tanda seperti: kemasan baru, ukuran lebih ramping, atau “resep baru”.

Perhitungan Singkat: Harga yang Sebenarnya Naik

Contoh: Produk A: 100 gram seharga Rp10.000 → Rp100/gram. Produk A versi baru: 85 gram, tetap Rp10.000 → Rp117/gram. Artinya, konsumen membayar 17% lebih mahal per gram, tanpa sadar.

Kesimpulan

    Shrinkflation adalah strategi perusahaan dalam merespons inflasi tanpa secara terang-terangan menaikkan harga. Meskipun legal, praktik ini bisa menyesatkan konsumen, sehingga penting bagi kita untuk lebih kritis dan teliti dalam mengevaluasi produk sehari-hari, baik makanan dan minuman maupun jasa.

       Secara etika bisnis, shrinkflation menimbulkan dilema. Di satu sisi, ini adalah strategi legal dan sah dalam pasar bebas. Di sisi lain, ia mendekati garis abu-abu antara efisiensi dan manipulasi, terutama jika perusahaan tidak transparan kepada konsumen tentang perubahan isi produk. Ketika kepercayaan konsumen terganggu, reputasi jangka panjang bisa menjadi taruhannya. 

      Ke depan, shrinkflation kemungkinan akan terus berkembang menjadi inflasi “bertopeng” yang tidak hanya menyusutkan ukuran fisik, tetapi juga mengurangi nilai dalam bentuk pengurangan layanan, simplifikasi formula, atau modifikasi resep yang kurang terlihat secara langsung.

   Shrinkflation bukan sekadar strategi harga, melainkan mekanisme adaptif ekonomi yang menunjukkan hubungan dinamis antara produsen, konsumen, dan inflasi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, fenomena ini menjadi cerminan dari bagaimana pasar mengatur keseimbangan antara profitabilitas dan persepsi nilai, sering kali dengan mengorbankan keterbukaan informasi yang seharusnya dimiliki oleh konsumen.

PULAU KAMAYA : DARAH TERAKHIR DI BAWAH LANGIT MERAH

Pulau Kamaya berguncang hebat. Langitnya bukan lagi biru, melainkan berwarna merah berkilat: warna darah para pendiri negeri terdahulu seola...