Koper itu diam di sudut kamar, seperti perasaan yang tak pernah benar-benar pergi, menunggu untuk dibereskan, ditinggalkan. Sandi menatap kopernya lama, seolah berharap sesuatu yang berat di dadanya ikut terlipat di antara pakaian dan kenangan yang telah disusun rapi di dalamnya. Esok hari, ia akan meninggalkan kota ini. Kota yang mengajarinya cara bertahan hidup, mencintai sang pujaan hati dalam diam dan terluka tanpa suara.
Di kota inilah ia menapaki tahun-tahun panjang sebagai mahasiswa perantauan. Menyusun impian dengan hari-hari tanpa mengenal lelah, membangun harapan dari hari-hari yang sering kelabu. Dan di antara perjuangan itu, ada Reina, nama yang tertinggal di relung hatinya yang paling sunyi.
Ia tidak pernah benar-benar menyatakan cinta. Waktu terlalu sempit, dan keberanian selalu datang terlambat. Tapi ia berharap, sebelum beranjak pergi, akan ada kesempatan untuk berpamitan, bukan sebagai kekasih yang gagal, melainkan sebagai dua orang yang pernah saling peduli.
Ia pikir, sebelum melangkahkan kaki pulang ke kampung halaman, ia akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu Reina. Setidaknya untuk bermohon maaf dengan tulus, untuk menutup kisah ini tanpa ada yang menggantung perasaan hati Sandi kepada Reina.
Sandi bahkan telah menitip salam melalui Wiwin sahabat kampus Reina, yang juga berteman baik dengan Sandi, berharap sosok gadis itu mau memberikan kesempatan terakhir kepadanya, berbicara langsung dari hati ke hati kepadanya.
Tapi jawabannya yang datang kepadanya, telah menghancurkan harapan dan perasaan Sandi kembali.
“Reina bilang….dia belum siap untuk bertemu denganmu, Sandi.” Ujar Wiwin dengan hati-hati kepadanya.
Sandi terdiam pasrah. Hatinya terasa sedikit perih dan perlahan mulai hancur, meski ia sudah mempersiapkan kemungkinan ini terjadi padanya.
“Masihkan hatinya belum luluh, Win? Apakah luka itu masih terlalu dalam untuk dimaafkan?” balas Sandi kepada Wiwin, seraya tersenyum walau hatinya sebenarnya terluka.
Wiwin mengangguk tanda setuju. “Reina mungkin butuh waktu lebih lama, bukan berarti dia membencimu.”
Sandi menghela nafas panjang, sepertinya, memang tiada lagi harapan yang bisa ia lakukan.
***
Malam terkahir di kota itu, sebelum keberangkatan esok pagi ke bandara, ia sempatkan menyusuri jalan sunyi sepanjang jalanan kampus, sendiri hanya sendiri. Jalanan mulai sepi, langkahnya membawa kenangan yang lalu, tempat di mana ia pernah tertawa bersama sahabat-sahabatnya, belajar dan merenungi sepanjang hidupnya di sekitar taman kampus tepatnya.
Di salah satu sudut taman kampus, ia berhenti dan menatap langit malam yang mulai menua. Tak seperti malam-malam biasanya. Berkabut dan gelap.
“Mungkin ini memang jalan yang dipilih Reina. Aku sudah memaafkan diriku sendiri, dan aku berharap suatu hari nanti, dirimu juga akan memaafkan kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu, Reina.” Gumam Sandi di dalam hatinya yang dilanda kegelisahan akan hari esok, masihkah bisa berjumpa kembali dengan sang gadis atau malah hanya angan-angan saja. Sebab, ia ingin melangkahkan kaki, berpisah dengan kota ini dalam keadaan hati yang lebih tenang.
Entah takdir akan berkata lain, tapi satu hal yang pasti, hidup harus tetap berjalan. Sebab esok akan datang dan tidak pernah menunggu hati yang sedang terluka atau hati yang sedang merindu.
***
Kembali kenangan itu mengingatkan Sandi. Saat hujan turun tipis. Mereka berdua berteduh di bawah atap halte kampus, hanya berdua, dikelilingi riuh suara air yang jatuh dan lampu jalan yang temaram. Reina duduk sambil memeluk lututnya, bajunya sedikit basah karena gerimis yang datang mengejutkan.
“Kau percaya cinta diam-diam bisa membuat seseorang bertahan hidup?” tanya Reina tiba-tiba kepada Sandi, sambil menatap ke arah jalan yang kosong.
Sandi tersenyum kecil. Ia tak tahu harus menjawab apa, sebab hatinya sendiri adalah saksi dari cinta yang ia simpan dalam diam.
“Mungkin bukan bertahan hidup. Tapi, cukup untuk membuat seseorang berani bangun setiap pagi dan menghadapi hari” jawabnya pelan,
Reina menoleh. Tatapannya dalam. Dan dalam gelap malam dan suara hujan itu, mata mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata.
“Kalau nanti aku pergi jauh… dan kita nggak sempat pamit, kamu bakal ingat aku seperti apa?” bisik Reina kepada Sandi, seolah angin pun tak perlu tahu.
Sandi menatapnya lama, lalu menjawab:
“Sebagai satu-satunya hujan… yang pernah membuat aku betah kehujanan.”
Mereka tidak pernah berpegangan tangan. Tidak pernah saling menyatakan cinta. Tapi dalam keheningan yang mereka bagi, dalam keakraban yang tumbuh tanpa nama, cinta itu pernah hidup, meski hanya sebentar, meski hanya diam.
Dan itulah kenangan yang Sandi simpan hingga hari ini, bukan tentang kepemilikan, tapi tentang kebersamaan yang pernah cukup.
***
Waktu berlalu dalam diam, seperti daun yang gugur satu persatu tanpa suara. Sandi kini telah menapaki kesuksesan dengan usahanya di kota kelahirannya. Namun, ada satu hal yang masih belum berubah dalam hidupnya, dan masih tetap sama, ada ruang kecil di hatinya yang tetap tertingggal di masa lalu, bersama nama itu, ia masih mengikuti kabar perjalanan hidup gadis pujaan hatinya, sosok yang tak lain adalah Reina.
Reina, sekarang dikenal sebagai sosok sukses dan terkenal dengan klinik kesehatan ibu dan anak yang dimilikinya. Ia mendirikan sebuah klinik kesehatan yang tidak hanya memberikan layanan medis, tetapi juga menjadi tempat bagi para ibu untuk berbagi cerita dan dukungan kesehatan mental yang sedang berjuang memberikan asi eksklusif kepada bayi mereka.
Sandi sering membaca tentang Reina dari media sosial, melihat video dan foto-fotonya, saat ia berbicara menjadi narasumber dalam seminar dengan senyum hangatnya. Dan setiap kali melihatnya, ada rasa bangga yang tumbuh dalam dirinya, meskipun mereka masih belum pernah bertemu kembali satu sama lainnya.
Namun sebaliknya, dalam setiap kebanggaan itu, ada satu harapan yang tidak pernah pudar, kesempatan untuk bertemu, dan untuk terakhir kalinya mengucapkan maaf yang dulu belum bisa disampaikan secara langsung.
***
Takdir terkadang datang dengan cara diam-diam, perjalanan Sandi untuk bertemu dengan teman bisnisnya di kota Reina ternyata tanpa diduga olehnya. Setelah pertemuan dengan rekan bisnisnya selesai, ia sempatkan untuk melewati sebuah gedung klinik kesehatan yang namanya sudah tidak asing lagi baginya. Klinik milik Reina.
Setelah sampai di lokasi klinik Reina, jantungnya berdebar, Ia berhenti sejenak di depan klinik itu, menatap ke arah pintu kaca yang memperlihatkan aktivitas di dalamnya. Ia bisa saja masuk, atau sekedar menyapa dari kejauhan dan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Ia merasa ragu, apakah Reina masih mengingatnya? Apakah luka yang dulu masih disimpannya?
Ia menghela nafas panjang. “Mungkin inilah saatnya.” Bisik Sandi berusaha meyakinkan hatinya.
Namun, sebelum ia melangkah masuk ke dalam klinik itu, seorang ibu dengan bayinya keluar dari klinik itu, tersenyum bahagia, kemungkinan setelah berkonsultasi dengan sosok perempuan yang di dalam kilinik itu. Dan seolah ia tahu, Reina berada di balik senyum itu.
Sandi tersenyum bahagia, “Dia sudah bahagia dengan hidupnya sekarang, mungkin aku tak perlu menjumpainya lagi.” Gumamnya kembali di dalam hati.
Ia pun memilih mundur, dengan kemungkinan jika takdir menghendaki, perjumpaan mereka akan terjadi dengan sendirinya, tanpa perlu dipaksakan.
***
Sang waktu terus berputar dengan cepatnya. Sandi dan Reina telah menjalani kehidupannya masing-masing. Mengejar impian yang dulu mereka perjuangkan saat menimba ilmu di kampus.
Hingga suatu hari, takdir masih merestui perjumpaan mereka kembali.
Bukan dalam situasi yang mereka bayangkan, bukan pula dalam momen dramatis penuh emosi yang mereka harapkan. Tapi justru dalam suatu momen dan suasan yang lebih tenang, di sebuah acara kesehatan yang mempertemukan para tenaga medis dan konsultas kesehatan serta stake holder yang terlibat.
Sandi yang telah bermitra bisnis dengan koleganya untuk alat-alat medis, yang ternyata adalah suami dari Reina. Mereka dipertemukan oleh pasangan masing-masing.
“Sandi, kenalkan ini istriku, Reina.” Ujar suami Reina, yang tak lain kolega dari Sandi dalam sebuah proyek kesehatan di daerah terpencil di kota Sandi.
Dan sejenak waktu terdiam, dunia seolah serentak berhenti berputar. Nama itu, wajah itu, semuanya masih sama, namun kini berdiri dengan jarak yang tak lagi bisa didekati. Detak jantungnya yang pelan-pelan mempercepat ritmenya.
Reina masih sama. Bahkan mungkin lebih dewasa, lebih teduh. Namun matanya masih sama, membawa sinar yang dulu pernah ia kenal: hangat dan penuh makna. Dan sekarang tidak mungkin bisa digapai kembali.
Reina menatap Sandi dengan mata yang seolah ragu, inikah pertemuan mereka untuk pertama kali, setelah sekian lama kenangan itu telah tersimpan rapat-rapat dari sanubarinya, seakan menyisir kembali tahun-tahun yang telah mereka lewati di ruang yang berbeda. Sandi, meski telah bersiap dengan keadaan ini, pertemuan mereka bersama dengan pasangan masing-masing, pertemuan yang sudah lama dinantinya, ternyata perasaan itu masih mengganjal di hatinya.
Setelah suaminya pamit sejenak untuk berbicara dengan rekan bisnisnya lain, mereka berdiri berdua. Ada jeda. Lalu, Sandi membuka suara.
"Kupikir kita tidak akan pernah bertemu lagi, Reina."
Suara itu dalam, tapi tak memaksa. Ia hanya ingin hadir sebagai laki-laki yang pernah mencintai, bukan yang memohon untuk dicintai kembali.
Reina tersenyum samar, menunduk sejenak, lalu menatapnya.
"Aku pun berpikir hal yang sama. Tapi hidup selalu punya cara mengejutkan kita, bukan?"
Hening kembali menyela, tapi bukan canggung. Ada damai yang merambat perlahan ke dada mereka. Lalu Reina melanjutkan pembicaraan.
"Waktu itu… aku belum siap. Terlalu banyak luka yang belum bisa kubedakan, apakah dari kecewa… atau kah dari rindu."
Sandi mengangguk, seperti menerima sesuatu yang sejak lama ingin ia dengar dari Reina.
"Dan sekarang?" tanya Sandi pelan kepada Reina.
Reina menatapnya. Dengan lirih ia menjawab.
"Sekarang… aku sudah bisa melihatmu tanpa menyimpan perih. Tapi aku juga tahu, hidup kita tak lagi berseberangan, melainkan berjalan di arah yang berbeda."
Sandi tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya bukan untuk menutupi luka. Ia benar-benar tenang.
"Aku hanya ingin kau tahu, aku tak pernah menyalahkanmu. Bahkan saat kau tak datang waktu itu… aku mengerti." ucap Sandi dengan penuh ikhlas.
Reina menghela napas. "Aku tahu. Dan aku bersyukur, kau tidak menunggu selamanya." balas Reina dengan nada lembut.
"Takdir terlalu baik untuk membiarkan kita terus menggantung masa lalu," lanjut Reina.
"Kita butuh berpisah… agar bisa menemukan arah pulang kita masing-masing."
Sandi menatapnya lama, lalu berkata dengan suara nyaris bergetar:
"Satu hal yang belum sempat kukatakan saat itu: aku sungguh minta maaf… untuk segalanya."
Reina menggeleng lembut, menahan haru.
"Maafmu sudah sampai, bahkan sebelum kau mengucapkannya. Mungkin tidak pada hari itu… tapi hari ini cukup."
Mereka saling tersenyum kecil. Seolah mata mereka telah tertaut dan sedang berbicara, dan menggambarkan suasana yang berbeda. Tanpa disadari, ketegangan yang sempat hadir sesaat diantara mereka, kembali mencair. Mereka terus berbicara satu sama lain, berbagi cerita.
Sementara itu, di dalam hati Sandi yang terdalam, masih menyisakan sebuah pertanyaan yang ingin ia utarakan kepada Reina.
“Apakah dirimu sudah memaafkanku, Reina?” bisik Sandi dalam hatinya.
Dan di dalam lubuk hati Reina juga, ada satu pertanyaan yang ia ingin ungkapkan.
“Apakah masih perlu kata maaf itu, ketika hidup telah berjalan sejauh ini.”
Mungkin maaf itu tidak pernah benar-benar terucap. Mungkin, ada luka yang memang dibiarkan sembuh dengan sendirinya. Tanpa ada permohonan maaf yang terucap.
Dan mereka dipertemukan kembali bukan untuk memperbaiki masa lalu, tetapi untuk menyadari bahwa hidup telah membawa mereka kembali ke tempat seharusnya mereka berada.
Ketika pertemuan diantara mereka berakhir, mereka berpisah dengan senyum penuh arti. Bukan lagi sebagai seseorang yang masih memiliki urusan hati yang belum selesai, melainkan sebagai jiwa-jiwa yang telah berdamai dengan takdirnya. Mungkin luka itu tak perlu diobati dengan kata, cukup dibiarkan sembuh oleh waktu, dan diceritakan hanya dalam senyuman yang saling memahami.
Tak ada genggaman tangan. Tak ada pelukan. Hanya sebuah kalimat penutup yang Reina bisikkan pelan, nyaris seperti doa.
"Jaga dirimu, Sand. Bahagialah… sepenuhnya."
Dan Sandi menjawab dengan mata yang teduh:
"Begitu juga kamu, Reina. Terima kasih… untuk pernah menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidupku."
Mereka berjalan ke arah yang berbeda, namun kali ini tanpa beban. Karena mereka telah berdamai. Dengan luka, dengan waktu, dengan takdir dan dengan cinta yang tak harus dimiliki.